Pesparawi Molu Maru: Merajut Mimpi

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

 

Molu Maru, tempat saya tinggal sekarang, adalah pulau di mana mimpi-mimpi dirajut.  Salah satunya adalah keikutsertaan mereka di Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi) tahun ini. Pesparawi sendiri adalah acara lomba paduan suara dengan menyanyikan lagu-lagu Kristiani yang diadakan tiap tahunnya oleh Departemen Agama secara dalam skala nasional. Dalam lomba tingkat nasional, yang bertanding adalah propinsi-propinsi. Tim dari propinsi, diseleksi dari para tim dari kabupaten dna kotamadya yang ada di dalamnya. Dan mulai tahun ini, ?Kabupaten Maluku Tenggara Barat akan mengadakan lomba Pesparawi tingkat kabupaten, dengan tujuan menjaring bakat-bakat yang akan mewakili kabupaten ini dalam lomba tingkat propinsi. Event ini adalah salah satu event terbesar di kabupaten ini, dengan peserta dari 10 kecamatan yang ada di kabupaten.

Karena jaringan telekomunikasi yang belum merata di sekujur kabupaten, informasi tentang akan diadakannya lomba ini butuh waktu beberapa lama untuk sampai ke kecamatan yang jauh. Dan kecamatan tempat tinggalku, Molu Maru, adalah yang paling jauh dan paling susah dihubungi. Molu Maru adala kecmaatan yang terdiri dari duap ulau yang terisolasi dari daratan Pulau Yamdena, Pulau besar tempat ibukota kabupaten, Saumlaki, berada. Molu Maru baru saja dimekarkan menjdi kecamatan mandiri sejak setahun lalu, dengan harapan agar daerah yang tertinggal dalam segala hal ini bisa merangkak maju.

Dan kembali ke pesparawi, kabar bahwa akan diadakannya pesparawi sampai juga ke kecamatan kami, 2 bulan sebelum perlombaan dimulai. Sebagai kecamatan baru, yang belum punya pengalaman, apalagi ditambah dengan keadaan masyarakat yang tertinggal secara ekonomi plus transportasi yang sulit, Molu Maru sebenarnya dimaklumi saja kalau tidak mengikuti event ini. Apalagi ditmabah denga n kenyataan bahwa kecamatan lain yang sudah lebih maju sudah mengetahui kebar diadakannya acara ini sejak beberapa bulan sebelumnyadan sudah lebih dulu menyiapkan diri.  Tapi seperti yang sering saya ceritakan, pejuang kecamatan ini, camat pertama di Molu Maru, menolak menyerah. Ia memutuskan bahwa apapun yang terjadi, Molu Maru harus mengikuti perlombaan ini.

Pak Camat pun memulai langkahnya dari nol. Tak ada pelatih, tak ada dana, tak ada paduan suara yang siap pakai, tak ada fotokopi untuk menggandakan partitur, dan seterusnya.  Langkah pertama dilakukan beliau dengan mengajak seorang pelatih paduan suara untuk datang memberikan pelatihan ke Molu Maru. Sang pelatih, Bung Roy, setuju untuk datang namun hanya dalam waktu satu minggu. Dengan menggunakan ferry yang berlayar ke Molu dua kali dalam sebulan, sang pelatih pun berangkat. Sampai di Adodo Molu, ibukota kecamatan, terpaksa Pak Camat memanggil saja semua anak usia 19-23 taun untuk datang dan mengikuti audisi masuk paduan suara. Karena jarak antar desa di kecamatna ini yang jauh, sehingga terpaksa hanya mengambil peserta apa adanya dari Adodo Molu, desa yang merupakan ibukota kecamatan. Teman saya sesama Pengajar Muda, Bagus,  yang usianya masih masuk kategori remaja, juga diikutkan audisi untuk lomba ini. Akhirnya dengan susah payah terbentuklah satu tim paduan suara dari kategori remaja, dengan pengetahuan paduan suara nol. Mereka tidak tahu not, mereka tidak pernah tampil sebelumnya dalam paduan suara, bahkan di awal-awal latihan nyanyian mereka tidak merdu sama sekali. Bung Roy yang hanya punya waktu seminggu untuk melakukan pelatihan awal pun mengatakan, mengajar anak-anak ini untuk menyanyi ibarat memecah batu. Dan itulah yang terjadi.

Dalam usaha pecah batu, Pak Camat turun langsung menjadi pelatih selepas Bung roy pulang kembali ke Saumlaki. Beliau dibantu oleh Pendeta Petoki yang bertugas di Adodo Molu, dan seorang bapak asli Molu Maru yang pernah menjadi anggota paduan suara tingkat propinsi, hampir 20 tahun lalu. Dengan keroyokan, mereka mulai melatih anak-anak buta not ini, hanya dua bulan sebelum lomba dimulai. Sembari di sisi teknis para pelatih sedang keroyokan melatih, masih ada beberapa persiapan lainnya yang menjadi PR besar. Yang paling besar adalah baju apa yang akan dipakai di perlombaan nanti, lalu dari mana dana untuk membeirkan konsumsi bagi kontingen yang nantinya berangkat ke Saumlaki ini, dan seterusnya. Bu Camat mengambil alih persiapan-persiapan operasional ini, dengan dana juga dimulai dari nol.

Beranjak dari ketiadaan, seperti saya katakan di awal, mimpi-mimpi dirajut dengan ketat. Pak Camat selalu berkata, para pemuda-pemudi desa ini harus mengikuti lomba paduan suara ini, karena semangat untuk maju baru bisa terbakar jika masyarakat dibiasakan mengikuti kompetisi. Dan orang-orang pedalaman ini pasti akan memiliki keyakinan diri jika mereka bisa melakukan sesuatu yang juga dilakukan oleh orang-orang di daerah yang lebih maju dari mereka. Tapi langkah memang lebih berat dari angan, tantangan dalam mempersiapkan acara ini begitu besar. Yang pertama adalah dari anak-anaknya sendiri. Di awal-awal banyak yang frustrasi dengan proses latihan, karena bagi para pemuda-pemudi yang tidak dibiasakan bekerja keras ini, usaha belajar menanyi ini sangat melelahkan. Beberapa mengundurkan diri, beberapa pura-pura sakit dan tidak datang latihan karena tidak kunjung bisa menyanyi. Kedisiplinan para peserta ini sangat parah, latihan yang sudah dijadwalkan jam 7 baru bisa dimulai jam 9, padahal di desa yang kecil ini dari rumah ke gereja, tempat latihan, hanya membutuhkan waktu kurang dari 5 menit berjalan kaki saja.  Di sisi operasional, Bu Camat dan tim staf kecamatan akhirnya berangkat dari satu desa ke desa yang lain, meminta sumbangan dari tiap warga seikhlasnya, bahkan ada yang tidak mempunyai uang sehingga memberikan sumbangan ala kadarnya seperti ikan asin, sia-sia (cacing laut), bahkan sopi (minuman keras tradisional). Bu Camat akhirnya ke Saumlaki, berekeliling dari kantor ke kantor menjual segala hasil alam yang disumbangkan warga itu, untuk mencari tambahan uang.

Di gedung gereja, latihan terus berlangsung walau dengan peserta yang keluar masuk. Untuk meningkatkan disiplin akhirnya Pak Agus Narantery, staf kecamatan yang adalah lulusan IPDN, menegakkan disiplin ala almamaternya untuk menangani anak-anak batu ini. Setiap subuh mereka diminta berkumpul untuk jogging, lalu latihan didrill tiga kali sehari. Anak yang tidak disiplin dikeluarkan, diganti dengan beberapa orang baru yang punya semangat lebih tinggi. Saya tidak ikut dalam tim, namun sebagai orang yang melihat potongan demi potongan latihan mereka, saya seperti melihat adegan-adegan dalam film Hollywood yang bertemakan perjuangan sekelompok orang untuk mengikuti perlombaan. Film-film semacam Facing The Giants, The Fighting Temptation, dan sebagainya.  Kenapa demikian, karena akhirnya saya melihat ada perubahan dari mereka. Semakin hari peserta jogging semakin banyak, anak-anak bas yan sebelumnya hanya main-main saja raut mukanya menjadi lebih serius pada saat latihan, mereka mulai tune in dengan lagu, dan orang-orang sedesa mulai hafal dengan lagu-lagu yang dinyanyikan, saking seringnya latihan nyanyi ini didengar warga dari gereja.  Tim Pesparawi ini telah tampil beberapa kali di gereja pada ibadat minggu, hal yang membangkitkan kepercayaan diri mereka.

Di sisi pendanaan, dengna segala keterbatasan akhirnya semua orang bahu membahu membantu pembiayaan. Gereja membantu, sekolah-sekolah di kecamatan membantu, para pegawai juga. Dengan dana yang pas-pasan itu, servis istimewa tetap diberikan kecamatan kepada para peserta. Di minggu-minggu terakhirl atihan,  setiap hari tim Pesparawi selalu dibuatkan makanan oleh Bu Camat, suatu strategi yang membuat tim ini menjadi lebih solid karena selalu makan malam bersama.

Dua hari lalu, tim Pesparawi kecamatan Molu Maru sudah tiba di Saumlaki. Mereka berlayar dengan menggunakan ferry Pemerintah MTB yang khusus menjemput kontingen di Adodo Molu. Di atas kapal, Bu Camat beserta tim membuatkan dapur umum, karena penduduk desa kami tidak seperti kontingen lain yang mampu membeli jajan dan makanan di kapal. Beberapa warga sebelumnya sudah menjaring ikan, lalu digoreng untuk menjadi bekal para anak-anak yang beberapa di antaranya belum sekalipun menginjak Saumlaki ini. Mereka begitu bersemangat, beberapa sudah saling membicarakan bagaimana kota Saumlaki yang banyak mobilnya dan ada gedung-gedung yang besar. Sampai di Saumlaki, berbeda dengan peserta lain yang tidur di berbagai rumah yang sudah disediakan panitia, seluruh peserta dari Kecamatan Molu Maru tidur di rumah Pak Camat sendiri. Beliau menampung 40 orang ini di rumahnya, menyulap ruang makan dan ruang tamu menjadi kamar tidur, menyewa orang-orang untuk membuat dapur umum di rumah. Sore ini mereka akan bertanding, dan pagi ini kostum yang akandigunakan nanti sudah siap. Kostum mereka begitu mewah untuk ukuran warga desa ini, dan kostumnya oleh Pak Camat dihibahkan kepada tiap peserta selepas lomba. Mereka begitu senang, mendapatkan gaun dan kemeja baru ini.

Saya sungguh kagum dengan kecintaan Pak Camat kepada rakyatnya, dan tersentuh dengan semangat besar dari para penduduk desa terpencil ini. Mereka tidak pernah sekalipun bermimpi mendapatkan juara, karena tampilnya mereka di ajang nanti malam, di gedung serbaguna, dengan baju bagus dan panggung megah, sudah merupakan puncak dari menara mimpi-mimpi mereka. Dari sudut pandang orang kota, lomba nanti malam hanyalah lomba tingkat kabupaten belaka. Tapi sungguh, mimpi-mimpi yang digantungkan tidak kalah penting dengan lomba pencarian bakat di layar kaca. Saya jadi semakin terteguhkan, bahwa mimpi memang wajib dirajut, dan dikenakan. Semoga Tuhan memberkati kami nanti malam...:)

Video latihan awal pesparawi bisa dilihat di: http://www.youtube.com/watch?v=8u6uB5sYz4g

Saumlaki, 5 September 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua