Perjalanan ‘Kurang Kerjaan’?

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

 

Sekujur tubuh saya seperti dialiri dengan cairan beracun yang membuat sekujur tubuh saya gatal tidak karuan. Malam, pagi, saat tidur maupun saat mengajar beberapa hari ini tubuhku dipenuhi bentol-bentol yang gatalnya bukan main. Darah pun seperti mengalir ke ubun-ubun, membuatku lebih sensitif. Semuanya dimulai dari hari kamis minggu lalu.

Hari kamis, saya dan kepala sekolah beserta seorang guru dan pak pendeta memutuskan untuk berjalan kaki ke Adodo Molu. Pak Pendeta punya keperluan mengeprint laporan pertanggungjawabannya (ia akan dimutasikan mulai besok hari), pak guru mau minta ijin ke Pak Camat untuk pergi menikah di Ambon, sementara saya dan Pak kepala sekolah pergi untuk berkoordinasi terkait acara Kelompok Kerja Guru yang pelaksanaannya dipercayakan Pak Camat ke saya dan kepala sekolahku. Sebenarnya sudah sejak hari selasa kami berencana pergi, tapi entah apa yang membuat pak kepala sekolah menunda terus keberangkatan kami.

Sebenarnya perjalanan kami ke Adodo terlihat akan lancar. Pak kepala desa mengatakan bahwa kebetulan dia akan pergi ke kebun, karena itu ia akan mengantar kami sampai ke teluk untuk kemudian kami melanjutkan perjalanan kaki sekitar 15 menit saja (bandingkan dengan berjalan kaki yang memakan waktu sekitar 1,5 jam masuk keluar hutan). Saya pun bangun pagi-pagi benar, dan jam 6 sudah siap dengan semua barang untuk dibawa ke Adodo. Tidak kunjung ada pergerakan, Pak Kades masih duduk di depan rumah sambil mengisap tembakaunya. Jam 7, mulai kelihatan anak-anak sekolah berjalan ke sekolah, saya mulai merasa bersalah karena hari ini tidak masuk sekolah. Jam 8, barulah saya pergi ke rumah kepala sekolah. Akhirnya kami pun berangkat jam 9, bersama rombongan Pak Kades, Ipus –anaknya- dan beberapa mama-mama yang ingin pergi ke kebun. Tiba-tiba mesin motor di tengah jalan macet. Pak Kades yang saat itu memegang kemudi coba menstarter, mungkin hampir 50 kali ia mencoba dan akhirnya menyerah. Kami pun menepi, kebetulan ada gubuk warga di situ –di daerah laut sekitar desa banyak warga yang membangun gubuk tempat mereka bisa menginap sambil memantau penanaman rumput laut mereka-, sehingga kami pun singgah sembari menunggu Ipus pulang dengan sampan warga pemilik gubuk dan mengambil kunci busi. Menunggu hampir dua jam, katanya kapal motor sudah baik dan kami dapat naik lagi. Saya yang sebelumnya bercerita panjang lebar dengan Pak Pendeta pun naik lagi ke motor, sudah dengan celana jeans yang basah di semua bagiannya. Duduk di atas, ternyata si motor  bisa distarter, namun baru jalan sedikit ia mati lagi. Dan ritual menstarter diulang lagi oleh Pak Kades, kali ini diselingi dengan membersihkan busi. Ternyata motor tidak kunjung membaik. Matahari sudah di atas kepala, terik menerpa. Kepala sekolah dan pak pendeta berdiskusi, apakah akan kembali ke desa kami atau tetap berjalan kaki menuju Adodo. Karena hari sudah siang, mereka memutuskan untuk kembali ke desa, dengan berjalan kaki. Saya sudah mengutarakan keinginan untuk tetap ke Adodo, namun rupanya saya kalah suara.Ternyata jalan yang ditempuh luar biasa ekstravagannya. Karena motor kami terdampar di daerah yang bukan merupakan jalur untuk jalan, kami harus berjalan di atas karang-karang tajam. Seorang bapak yang ada di situ menunjukkan jalannya, dia berjalan lincah di atas karang itu dengan bertelanjang kaki. Saya pikir pijat refleksi di kota-kota besar pasti sudah tidak akan mampu menstimulasi saraf kakinya lagi. Dengan sandal swallow hijau yang kupakai karena mengasumsikan kaki akan basah karena naik kapal motor, saya pun melewati karang-karang itu. Terpeleset sedikit kaki pasti berdarah, sehingga saya berjalan sambil setengah berjongkok agar tidak kehilangan keseimbangan. Lepas dari deretan karang, kami pun menempuh perjalanan kembali ke desa, naik turun dataran selama hampir satu setengah jam. Sampai ke desa lagi, waktu sudah menunjukkan jam 2 siang lebih. Saya merasa perjalanan ini benar-benar menguras energi . Kata Pak kepala sekolah, kami akan berangkat lagi keesokan paginya.

Keesokan paginya, saya lagi-lagi menyaksikan pemandangan yang sama. Sampai anak sekolah sudah beramai-ramai menuju sekolah, saya masih duduk di ruang tamu menunggu munculnya bapak kepala sekolah. Mama piara saya datang dan berkata: “eh,,katanya bapak kepala sekolah seng jadi ke Adodo, capek dia katanya”.  Saya pun lalu pergi ke Pak Pendeta yang punya kepentingan untuk mengeprint data sehingga dia harus berangkat, dan lalu ke kepala sekolah, dan setelah berbincang, kami pun berangkat. Saya, pak kepala sekolah, si bapak guru, dan seorang pengurus gereja. Saya sudah siap dengan perlengkapan perang: topi, botol air minum, dan ransel yang di dalamnya sudah terdapat dry bag melapisi laptopku, dan tentu saja sepatu. Perjalanan ke Adodo cukup menyenangkan, jauh tetapi lancar. Kembali, sekilas saya merasa semua akan lancar kali ini. Saya senang juga ke Adodo karena itu berarti bisa bertemu dengan teman saya, Bagus, saya pun sudah mulai tersenyum. Medan yang ditempuh dalam perjalanan ke Adodo ini cukup bervariasi, mulai dari kawanan pohon-pohon pisang, alang-alang tinggi, lalu turun di hutan bakau (untungnya saat itu sedang surut sehingga tidak becek), keluar ke pantai, lalu masuk lagi ke dalam hutan kayu putih, sampai akhirnya tiba di Adodo setelah 1,5 jam. Ternyata ada kejutan lagi, Pak Camat yang dicari sedang pergi ke Saumlaki, menumpang kapal barang yang kebetulan datang di Adodo. Ketiadaan sinyal memang membuat antar desa tidak bisa saling mengecek kabar, anda harus datang dan mengetahui sendiri kabar yang ada. Akhirnya, saya memutuskan untuk menginap di Adodo, sambil menunggu Pak Camat yang katanya akan pulang hari senin. Sebenarnya ada perpisahan pendeta, tapi karena katanya acara perpisahannya diadakan hari senin, saya berharap semoga Pak Camat sudah datang dan kami bisa bersama-sama ke desaku untuk menghadiri perpisahan itu (kalau ada Pak Camat kami bisa menumpang speedboat).

Saya pun menginap di Adodo, sambil mendiskusikan acara KKG dengan Bagus. Salah satu alasan untuk menginap juga adalah karena kakiku perlu diistirahatkan, terlebih lagi sekujur tanganku dipenuhi dengan bentol kemerahan yang gatal, mungkin karena terkena kusu-kusu (sejenis alang-alang) di perjalanan tadi. Di Adodo keadaan lebih tenang dari di desaku, sehingga saya bisa lebih banyak berleha-leha. Di desaku, banyak faktor yang membuat saya selalu dipenuhi orang-orang. Saya tinggal dengan kepala desa, yang dalam rumahnya diisi dengan 9 orang ditambah saya. Ditambah lagi dengan anak-anak yang selalu datang bermain, anak-anak muda yang selalu ngumpul dan main domino di ruang tamu, dan bapak-bapak ibu-ibu yang di malam hari kalau listrik menyala selalu berkumpul untuk nonton Amirah.  Di Adodo, saya pun bermalam mingguan dengan menonton dvd di laptop, makan di rumah kepala sekolahnya Bagus, dan mengerjakan materi KKG di rumah Pak Camat yang karena ada solar cell listriknya tersedia di siang hari. Di minggu sore, tiba-tiba ada beberapa orang yang lewat depan rumah Camat, katanya mereka akan berjalan kaki ke Wadankou, desaku. Katanya pesta perpisahan Pak Pendeta akan diadakan minggu malam. Mereka sangat buru-buru, jadi saya tidak sempat mempertimbangkan matang-matang, apakah akan ikut berjalan ke desa lagi atau tetap tinggal di Adodo. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut dengan mereka.

Entah apakah keputusanku benar atau tidak, yang pasti saya menemui sensasi perjalanan baru, yaitu berjalan malam. Kami baru jalan jam 6 sore, sehingga baru setengah jam perjalanan hari sudah mulai gelap. Saya berjalan bertiga, dengan dua orang yang datang dari Nurkat, sebuah desa lain di Pulau Molu ini. Seorang bapak berusia 50an, dan seorang anak muda.  Untunglah saya ikut, karena senter milik dua orang tadi baterenya habis. Kalau tidak ada saya dengan headlamp, tidak tahu bagaimana nasib mereka di tengah hutan belantara tak berpenghuni itu.

Si anak muda itu berjalan cepat sekali. Berkali-kali tali sepatuku lepas karena pacuan sepatu yang berkelit di antara akar, batang, dan tanah becek. Salah satu fitur terbaik dari perjalanan melintasi hutan di Petuanan Wadankou adalah jembatan bambu yang benar-benar hanya terdiri dari sebilah bambu, tanpa pegangan. Karena menjinjing laptop, saya jeri membayangkan apa yang terjadi kalau saya terjatuh dari jembatan itu. Tingginya memang tidak seberapa, tapi karena di bawahnya sungai sudah dipastikan komputer jinjing saya akan tamat di tempat kalau saya jatuh. Dengan lutut gemetaran dan dipegangin si abang tadi itu saya pun melintasi si jembatan bambu dalam gelapnya malam. Berkali-kali pak Ulis, bapak tua di belakangku sudah bertanya, meragukan jalan yang diambil si abang. Namun dengan yakinnya ia menjawab: “ini beta seng bisa salah lagi, su pasti betul ini jalan”.  Yah sudahlah, saya ikut saja. Dalam gelap malam dan dengan jalan berkecepatan tinggi, berkali-kali saya menabrak batang pohon, atau menjejakkan kaki di atas kubangan lumpur. Sepatuku sudah berbunyi kecepak kecepik saat dilangkahkan karena dipenuhi air, namun si abang yang nyeker itu tetap berjalan kencang. Kulit pahanya pasti tidak akan mengalami biduran seperti kulit kotaku ini, karena tanpa pelapis pun ia tabrak-tabrakkan saja kakinya.  Sampai di daerah kebun pisang, tiba-tiba saya merasa sesuatu yang tidak beres. Tumbuhan semakin lebat di kanan kiriku, ini sama sekali bukan jalan! Dan kami pun tersesat. Si abang meracau dan mengakui bahwa ia tersesat. Ia pun memimpin jalan masuk ke dalam semak-semak yang ranting-rantingnya berduri tajam. Karena rimbunnya, sepatuku sampai terlepas dan harus disenteri bolak balik untuk ditemukan keberadaannya. Saya sudah merasakan goresan di tangan-tanganku. Setelah berputar-putar dan jatuh dua kali di belukar berduri itu, akhirnya kami menemukan jalan yang benar lagi. Bapak Ulis menemukan pohon pisang yang sudah ditebang, tanda bahwa itu adalah jalan yang dilalui orang.  Kami pun melanjutkan perjalanan, diterangi temaram senter, langit mendung tak berbintang, menyusuri rimbunnya tanaman yang memenuhi hutan. Tak terkira girangku setelah akhirnya kami sampai di pantai lagi. Di kejauhan sudah tampak desa kami yang ditandai dengan titik sinar kecil. Sampai di desa, ada kejutan lagi: ternyata pesta Pak Pendeta baru diadakan hari selasa! Genaplah sudah tiga hari perjalanan keluar masuk hutanku yang seperti orang kurang kerjaan ini. Saat itu sedang dilakukan acara serah terima jabatan di gereja, dan ternyata kehadiranku bermanfaat juga. Setelah mandi, walau lelah luar bisa saya tetap ke gereja dan mendokumentasikan acara serah terima itu dengan kameraku. Ternyata everything happens for a reason yah, kalau tidak ada saya mungkin acara serah terima pendeta Pameo yang sudah 5 tahun bertugas di desaku itu tak terdokumentasikan.

Saat ini, saya duduk di bangku sekolah, di sore hari, mengisi waktu dengan mengetik kisah ini sebagai kompensasi dari ketidakjadian memberi les karena anak-anak tidak kunjung datang. Kegatalan hebat ini masih menerpaku, dan sejak kemarin sedikit membuat moodku tidak sempurna. Semoga pesta perpisahan pak pendeta nanti malam bisa mendatangkan gelombang positif yang baru, karena konon katanya pesta perpisahan warga selalu super meriah, pesta semalam suntuk katanya. Lapangan voli di depan gereja konon akan berubah menjadi lantai dansa, botol-botol sopi akan dikuras dan makanan akan memenuhi piring-piring. Besok pasti akan kuceritakan tentang pesta ini, apakah benar semeriah ceritanya. Salam untuk anda semua, dari meja guru kelas IV.

Wadankou, 2 Agustus 2011

17:41


Cerita Lainnya

Lihat Semua