Mie Instan + Sinetron = Bhinneka Tunggal Ika
Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011
Seandainya anda ikut cerdas cermat dan ada pertanyaan, apakah yang mempersatukan Indonesia, apa kira-kira jawabannya? Pancasila mungkin benar, bahasa Indonesia juga, atau yang lebih berat itu adalah ‘perasaan senasib sebagai orang yang sama-sama terjajah dll’. 83 tahun setelah Kongres Pemuda II, di desa terpencil di perairan Aru ini saya punya teori sendiri dari hasil pengamatan. Ternyata dua benda yang jadi judul di atas adalah jawabannya.
Beberapa tahun lalu, Indomie terkenal dengan jinglenya ‘Dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud, Indomie seleraku’, yang lalu nadanya digubah oleh tim kampanye SBY lanjutkan! Itu untuk menjadi iklan kampanye. Dua-duanya sukses, si Indomie dan Pak SBY kita. Saya bukan mengampanyekan Indomie atau lebih tepatnya mie instan lainnya, tapi saya ingin mengatakan bahwa iklan itu memang benar adanya. Mie instan, ternyata bisa menyebar begitu luas dan dalamnya ke pelosok-pelosok negeri. Kalau jaman dulu kita belajar bahwa sebagian saudara-saudari kita di Indonesia Timur mengonsumsi sagu atau umbi-umbian sebagai makanan pokok mereka, sekarang buku-buku pelajaran CBSA kita perlu direvisi sedikit. Mie instan bolehlah ditambahkan ke jadwal makanan pokok atau yang di buku cetak sering disebut hidrat arang itu. Di desa-desa Molu Maru ini, makanan sehari-hari tidak jauh dari nasi dan mie instan, padahal bayangan saya pertama kali sebelum datang ke sini, mungkin saya akan makan berbagai macam makanan yang belum pernah kuicipi sebelumnya, atau tiap hari berkelimpahan dengan ikan. Kenyataannya di desa-desa ini, ikan memang melimpah, tapi di Adodo Molu misalnya, orang sebagian besar malas mencari ikan. Pada saat angin sedang kencang para warga juga kesulitan untuk melaut mencari ikan. Begitu juga dengan sayur. Di desa-desa ini hanya segelintir orang yang menanam sayur, karena secara alami sayur yang tumbuh di hutan hanyalah daun pepaya, jantung pisang, dan berbagai macam daun umbi-umbian. Jadinya kalau sedang tidak ada sayur, yang dijadikan sebagai lauk selain ikan alias pengganti sayur adalah mie instan kuah. Begitu juga kalau sedang tidak ada lauk. Kadang-kadang saat sedang lagi apes, ikan tidak ada, RW ayam dan babi biasanya hanya dipotong saat ada acara khusus saja, yah mie instan gorenglah yang menjadi favorit bersama.
Satu hal yang mungkin membedakan daerah satu dengan yang lain adalah jenis mie instan yang ada. Di Maluku sini, Indomie susah didapatkan, sehingga saat menyebut mie instan, berbeda dengan orang di Jawa yang menyebutnya dengan ‘indomie’, di sini disebut dengan supermi. Walau kenyataannya yang lebih banyak terlihat di warung-warung adalah sarimi dan mie sedap. Oh yah, di desa-desa selalu saja ada warung-warung kecil yang harganya tiga kali lipat dari harga di Jawa. Di warung itu dagangan utama adalah mie instan, yang selalu menjadi penyelamat perut-perut kepepet di sekujur tanah air, di kota maupun di desa. Menurut cerita seorang pelaut yang kebetulan singgah di Adodo, ia pernah berlabuh ke desa Marsela di Kepulauan Babar, Maluku Barat Daya, yang gersang tiada tara. Di situ tidak ada air sehingga harus mengambil dari desa sebelah, ikan juga tidak banyak, begitu pula tanaman-tanamannya. Orang-orang malah lebih sering minum sopi daripada air putih. Si pelaut mencari warung di desa, ternyata yang disebut dengan warung adalah sebuah rumah yang di dalamnya menjual rokok dan tentu saja supermie!
Mie instan ternyata memang begitu merasuk di hati para warga. Saya menemui anak-anak kecil sampai SMA hobi mengemil bumbu mie instan. Walau tanpa mienya, mereka cukup mengemut saja bumbu yang isinya sebagian besar MSG itu. Saya bertanya sambil menggeleng kepala, apa sih yang kalian makan itu? Jawabannya sambil malu-malu, “ini makan rampah...”. Maksudnya rempah-rempah. Kalau jaman dulu seluruh dunia mengenal Maluku sebagai tanah rempah, tempat di mana lada pala dan kawan-kawannya tumbuh subur, di jaman modern ini anak-anak Maluku menyebut rempah adalah bumbu Mie Instan yang sama sekali tidak ada unsur kerempah-rempahannya sama sekali. Saking cintanya sama mie instan, kalau saya sedang memasak mie, anak-anak berebutan bungkus mienya yang masih menyisakan remah-remah mie, juga minyak dan kecap untuk dikulum. Jadi kalau kata Koes Plus walau tongkat batu dan kayu jadi tanaman di tanah kita, tetap saja yang dipilih adalah mie sedap dan kawan-kawan. Sebenarnya tanpa makanan-makanan lain, orang Maluku cukup berlimpah dengan makanan tanah, alias segala macam umbi-umbian, mulai dari kasbi, patatas, ubi, sampai keladi. Tapi mungkin karena modernitas membawa distribusi mie instan sampai ke pelosok, mereka lebih memilih si mie yang memang lebih sedap ini.
Selain mie instan, satu lagi yang menjadi pemersatu semua warga adalah tayangan sinetron stripping di layar kaca kita. Di desa, listrik hanya nyala di beberapa rumah yang mempunyai genset pada malam hari. Pada jam seperti itu, bisa dipastikan orang-orang akan menyemut di rumah-rumah bertv, dengan gambar di layar kaca tidak jauh dari wajah Nikita Willy, Atalarik Syah, Nabiela Sakieb, dan bintang-bintang lain yang saya tidak tahu namanya, lengkap dengan dialog standar dan music score deng deng deng deng yang khas sinetron kita. Di rumah saya di Wadankou, setiap malam anak-anak berkumpul untuk belajar. Jadi anak-anak berkerumun di ruang tamu, sementara mama-mama, bapak-bapak, dan nyong-nyong nona-nona di ruang tengah sibuk memakukan diri di depan sinetron. Tanpa perlu menonton saya sampai tahu ceritanya karena mendengarkan dari ruang tamu. Sudah seminggu lebih dialognya setiap hari diisi dengan pertengkaran seputar apakah si A adalah betul anak dari si B atau tidak, dengan dialog yang berputar-putar sekitar itu.
Saya juga tidak tahu mengapa sinetron menjadi magnet yang begitu kencang, padahal ceritanya begitu jauh dari keseharian mereka. Di desa yang sepeda motor pun tidak ada, saya tidak bisa membayangkan apa yang mereka pikirkan ketika melihat mobil-mobil mewah berseliweran, anak-anak yang menggunakan bahasa slang Jakarta dan nongkrong di mal-mal, dan sederet setting ibukota lainnya. Masalah yang diangkat pun sebenarnya hampir tidak pernah mereka temui: orang yang ketabrak mobil lalu lupa ingatan (ini mah di kehidupan kotapun hampir tidak pernah ada), ibu tiri yang jahat, anak yang tertukar di rumah sakit (ruang tamu dan dukun beranak adalah rumah sakit bersalin mereka), apalagi tes-tes DNA yang menurut sinetron hanya selesai 1-2 hari (sudah serupa dengan tes golongan darah saja rupanya tes DNA ini).
Kalau banyak yang bilang bahwa sinetron kita kualitasnya seadanya, orang-orang di sini mengeluarkan modal besar untuk menonton tayangan yang ‘seadanya’ itu. Antena UHF tidak bisa menangkap siaran di sini, sehingga orang-orang di seluruh MTB, bahkan di kota pun, harus membeli parabola dan digital receivernya. Harga perangkat itu, yang memang sudah mahal, akan membengkak jadi dua kali lipat di Larat, kota yang paling dekat dengan Molu Maru ini. Pengetahuan mereka tentang Indonesia, tentang dunia luar, tentang pengetahuan, hanya didapatkan lewat tayangan TV, karena koran ataupun buku belum menyentuh daerah ini. Jadi kalau yang ditonton adalah Amirah, Nada, dan kawan-kawannya, berarti pengetahuan mereka pun tentang dunia adalah tentang amnesia, ibu tiri menantu dan kawan-kawannya itu. Hanya satu tayangan yang bisa menyaingi sinetron, yaitu pertandingan Timnas Indonesia. Kalau AC Nielsen mau melakukan perhitungan rating di sini, tayangan Metro TV dan Tvone sudah bisa dipastikan menyentuh angka 0.
Saya sebenarnya berusaha agar orang-orang tidak melulu nonton sinetron. Sekali waktu ada beberapa anak SMA yang tinggal di rumah Pak Camat, yang gelisah karena di rumah Pak Camat listrik menyala, si empunya rumah sedang tidak ada, TV dan parabola ada, tapi sayang sedang terjadi gangguan sehingga sinyal TV tidak bisa tertangkap. Saya pun menawarkan mereka untuk nonton film yang ada di laptopku. Hari pertama saya memutar Kungfu Panda, yang menurutku gampang dipahami, apalagi ada teks Indonesianya. Ternyata tidak berhasil, mereka tidak tertarik dengan film itu, apalagi mungkin karena jarang membaca, mereka kesulitan membaca subtitle yang muncul terus menerus. Keesokan harinya, saya mencoba dengan film India, Three Idiots. Pikirku film India lebih mudah dicerna karena ceritanya kan mengaduk-ngaduk emosi penonton. Ternyata baru 20menit sudah tidak ada yang duduk lagi di depan laptopku. Saya belum menyerah, saya coba lagi dengan film James Bond, yang logikanya diisi dengan adegan tembak-tembakan sehingga mestinya tidak perlu tahu teksnya. Ternyata nasib di Agen 007 sama saja, ditinggal oleh penontonnya untuk main dam. Padahal saya sudah menyambung dengan speaker dan menyetel volume kencang-kencang, agar sesuai dengan selera warga yang suka volume suara tinggi.
Mungkin ini sebabnya beberapa produser film kita berdalih bahwa mereka hanya memenuhi kebutuhan pasar, yang lalu menghasilkan film arwah yang bisa bergoyang, hantu di berbagai macam jembatan dan rumah dan terowongan, dan sinetron-sinetron yang settingnya dibuat seadanya. Sudah akrab dengan kita seorang koma yang di sinetron cukup digambarkan dengan memakai masker oksigen dan diperiksa dokter dengan stetoskop, atau adegan pencurian yang digambarkan cukup dengan membuka jendela yang pendek, masuk, dan langsung mengambil barang, disertai teriakan maling maling untuk meramaikan suasana. Warga-warga di desa terpencil memang lebih suka mengunyah cerita yang sederhana, yang tidak membuat mereka berpikir. Cerita yang terlalu banyak detail hanya akan membuat mereka mengantuk. Itu pula sebabnya mereka lebih suka menonton film silat yang didubbing ke bahasa, bukan yang memasukkan subtitle. Keriuhan Nazarudin beserta dialog-dialog yang menyertainya, rasanya cukup milik orang kota saja.
Menjelang hari jadi negara kita yang ke-66 ini saya jadi berpikir, apa yang terjadi seandainya di waktu-waktu prime time yang diputar adalah film-film edukatif, bagaimana seandainya di semua siaran TV tidak ada siaran lain selain acara sejenis laptop si Unyil, atau macam Anak Seribu Pulau dulu misalnya. Bagaimana seandainya ada waktu tertentu di mana acara discovery channel atau National geographic saja yang ditayangkan? Mungkin orang-orang akan terpaksa mengunyah ‘makanan’ yang berat, sehingga lama kelamaan ‘giginya’ pun terlatih, dan selera pemirsa pun bergeser. Tapi sudahlah, rasanya pembicaraan saya sudah terlaluberat. Lebih baik kita santai saja, menikmati sinetron sambil nyemil mie kering. J
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda