Mencari 17 Agustusan

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

 

Bagaimana 17 Agustusan anda? Ramaikah? Megahkah? Berkesankah? Semua orang pasti punya cerita, tentang perayaan 17 Agustusan di kampungnya, di desanya, di sekolahnya, atau di manapun dia berada. Semoga anda sungguh bisa merasakan 17 Agustusan yang terbaik, seperti yang selama ini selalu saya cari.

Saya orang yang besar sebagai anak rumahan di kota, yang tinggal tanpa bergaul dengan tetangga-tetangga. Sejak TK sampai kuliah saya bersekolah di sekolah swasta, dan berteman dengan teman-teman yang kebanyakan dari kalangan menengah ke atas. Dan perayaan 17 Agustusan di lingkungan yang ada di sekitarku, bagiku datar-datar saja. Di Makassar, di kalangan orang Tionghoa 17 Agustusan itu dianggap sebagai momen untuk pergi ke Malino, Puncaknya orang Makassar. Sewaktu saya SMA saya selalu ingat, setiap 17 Agustus para anak SMAku hanya sibuk bercerita kalau dia sedang pergi ke Malino, dan di sana ada banyak sekali orang (lalu dikabarkan bahwa ada si A, si B, si C yang ke sana), pokoknya asik dan meriah sekali lah keadaan di sana. Saya sendiri baru pernah sekali ke Malino pas 17 Agustusan, dan memang di sana ramai sekali dengan para keluarga-keluarga pengusaha yang berpelesir  di hari kemerdekaan, merayakan kebebasan dari rutinitas sekolah dan keharusan membuka toko atau bekerja di pagi hari. Para orang tua banyak yang mengobrol dengan keluarga dan juga dengan teman-teman yang kebetulan ketemu di sana, bapak-bapak ada yang bermain kartu dengan taruhan uang (alias judi), ibu-ibu mengurus anak-anak kecil sambil ngerumpi dan memasak. Anak-anak ada yang bermain bola, playstation, atau naik kuda. Anak-anak muda yang sudah diberikan mobil oleh orang tuanya biasanya memamerkan bakat balapnya dengan kebut-kebutan di dataran tinggi sambil menyetel volume sound system yang sudah penuh variasi keras-keras. Saat malam, kebanyakan akan berkumpul di hutan pinus untuk makan jagung bakar, dan saat siang kebanyakan muda-mudi akan pergi ke kebun teh yang sejuk untuk berfoto atau sekadar menikmati suasana romantis yang ada di sana. Itu salah satu potret 17 Agustusan yang ada di sekitarku.

Berbeda dengan orang-orang lain di sekitarku, saya selalu bermimpi ingin punya perayaan 17 Agustusan yang sungguh punya makna nasionalisme. Yah, kelihatan gagah-gagahan tapi inilah saya, anak gedongan yang punya mimpi merakyat. Anak-anak sekolah seringkali terlibat dalam perayaan 17 Agustusan lewat dua cara: aubade dan paskibra. Sayangnya, saya juga tidak berjodoh dengan keduanya itu. WR Supratman mungkin akan menangis kalau melihat bagaimana cara saya menyanyi Indonesia Raya –suaraku mirip biola si Wage Rudolf yang mbleyot ke sana kemari- dan walauupun berpostur tinggi, saya tidak pernah dipercaya untuk menjadi paskibra. Mungkin karena kalau berjalan bahu saya terlalu kaku –salah seorang guru pernah mengatakan demikian saat saya akhirnya bisa ikut paskibra menjadi anggota paskibra kelas saya yang ikut lomba antar kelas-. Jadinya saya paling banter ikut upacara bendera di dalam sekolah saja, setelah itu langsung pulang ke rumah, dilanjutkan dengan melihat perayaan detik-detik proklamasi di televisi. Tapi walaupun tidak pernah jadi pemimpin upacara, paskibra, protokol, apalagi dirigen di upacara 17 Agustusan, saya tergolong anak yang rajin datang dan tidak pernah ribut saat upacara lho. Saat anak-anak lain gelisah seperti cacing kesiram air panas, saya tetap berdiri tegak, berusaha menghayati nasionalisme usang di hari prokalamasi itu. Tahun lalu, sebagai peserta tetap upacara bendera 17 Agustus, saya nekad pergi ke Istana Merdeka untuk merasakan nuansa upacara di sana. Kebetulan saya bertemu dengan beberapa teman Couchsurfing yang juga sedang main di sana. Saya menyaksikan upacara dari luar pagar Istana dan dari sela-sela pagar betis polisi. Setidaknya saya mendengar dentuman meriam langsung lah, karena suara lainnya sayup-sayup saja terdengar saking jauhnya. Saya bertahan sampai sore wkatu itu di Monas, menunggu upacara penurunan bendera yang katanya biasanya mempersilakan para tamu luar untuk masuk menonton. Betul saja, saat acara sudah dimulai kami dipersilakan masuk untuk duduk di tribun yang paginya dipakai oleh peserta aubade. Lumayan, saya bisa menyaksikan pertunjukan marching band dan beberapa tarian daerah. Juga bisa menyaksika presiden SBY dari jarak jauh sekali.  Walaupun hanya dari jauh, setidaknya masih lebih baik daripada yang dulu-dulu di mana saya hanya bisa mengikuti upacara di sekolah atau di kampus saja (upacara di kampus pun hanya anak-anak mahasiswa baru dan para penerima beasiswa yang mau datang, bersama satu dua dosen).

Itu mengenai upacara. Satu hal lain yang tentunya tidak pernah ketinggalan dari acara 17 Agustusan adalah acara lomba-lombanya. Di televisi sering saya melihat ramainya desa-desa dan kampung-kampung menyambut 17 Agustusan dengan berbagai macam lomba, mulai dari panjat pinang, balap karung, gebuk bantal, ambil koin, makan kerupuk, dan sejenisnya. Sebagai anak rumahan, sekali lagi, semua hal itu tidak ada dalam kamus saya. Pengalaman lomba-lomba yan pernah ada hanyalah pada saat di sekolah saja. Itupun kadang ada, kadang tidak ada. Sewaktu SD dulu saya ingat sekolah saya pernah mengadakan serangkaian lomba 17 Agustusan, di mana saya mengisi lomba itu dengan membaca puisi. Sewaktu SMA memori yang paling melekat tentang lomba-lomba adalah waktu saya menjadi ketua OSIS, dan saya berusaha mengadakan lomba 17 Agustusan di dalam sekolah serame mungkin. Saya mengadakan lomba memasak untuk guru-guru, lomba balap karung, terompa, baris berbaris, dan yang paling menarik adalah lomba makan. Ini adalah ide saya, memodifikasi lomba makan kerupuk. Jadi pesertanya harus berlalri ke beberapa perhentian dan di setiap perhentian ada makanan yang harus dihabiskan. Pesertanya sendiri tangannya diikat ke belakang. Saya pun menyediakan makanannya, yang karena dibuat dengan budget pas-pasan akhirnya dibuat seadanya. Saya membeli black forest termurah sekota, yang harganya hanya 25 ribu seloyang, dengan rasa mentega yang entah sudah berapa lama umurnya. Saya membuat sayur kangkung, nasi goreng dengan bumbu sesuka hati, juga kerupuk kaleng yang melempem. Sibuk mentertawai para peserta yang akan ikut, ternyata karma terjadi ketika entah kenapa saya dipaksa untuk ikut, sehingga harus memakan semua makanan aneh yang sudah saya sediakan tadi!

Dua hal itu, upacara dan perlombaan, sering menjadi jantung dari perayaan 17 Agustusan. Kemerdekaan, rasanya, terwujudkan dengan kekhidmatan dan kebahagiaan bersama. Seperti di Amerika Serikat yang 4th July-nya selalu penuh dengan kemeriahan, kemerdekaan sesungguhnya memang haruslah sebuah perayaan kebebasan. Semoga anda semua sungguh merasakan itu. Tahun ini, saya sungguh berterima kasih karena Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk sungguh merasakan perayaan kemerdekaan yang hakiki, di sebuah kecamatan paling terpencil di kabupaten terpencil Maluku Tenggara Barat, Kecamatan Molu Maru.

Seperti sering saya ceritakan di tulisan-tulisan lainnya, Molu Maru adalah dua pulau yang secara historis punya latar belakang budaya yang sama. Selama bertahun-tahun Molu Maru adalah Boeven Digoel bagi orang-orang di Kepulauan Tanimbar. Gelombang hebat yang melingkupi dua pulau ini sepanjang tahun, terbatasnya transportasi, dan tidak adanya komunikasi membuat Molu Maru selalu membawa kegentaran pada orang-orang di kabupaten ini. Setahun lalu, dua pulau nan indah ini dimekarkan menjadi sebuah kecamatan baru yang bernama Kecamatan Molu Maru. Sebagai informasi tambahan, sebelum dimekarkan Molu Maru bergabung dengna kecamatan Wuar Labobar, yang jaraknya kurang lebih 12 jam perjalanan dari pulau ini. Sehingga para pegawai yang ingin mengikuti acara atau mengambil gaji di pusat kecamatan dulu harus mencarter kapal motor seharga 3 juta rupiah hanya untuk sampai di Wunlah, pusat kecamatan yang lama. Jadi perayaan 17 Agustusan kali ini, adalah perayaan 17 Agustusan pertama di kecamatan ini, dan yang pertama juga bagi hampir semua warga. Sebagai pusat kecamatan, Desa Adodo Molu menjadi pusat kegiatan.

Persiapan 17 Agustusan di kecamatan ini juga lumayan ‘berdarah-darah’. Sebagai kecamatan terpencil yang ekonomi penduduknya juga pas-pasan, panitia perayaan kesulitan mencari dana. Ibu Camat dan timnya smapai harus mengumpulkan ikan asin, sia sia (ulat laut), dan hasil alam lainnya untuk dijual ke Saumlaki, ibukota kabupaten. Ibu camat dan tim masuk dari kantor ke kantor, menawarkan jualan untuk memenuhi kebutuhan acara. Setiap kepala keluarga di seluruh kecamatan diminta mengumpulkan lima ribu rupiah, dan sekolah-sekolah menyumbang semampunya. Tapi Pak Camat tidak mau menyerah dengan kegiatan ini, ia ingin kecamatan baru ini bisa mengadakan kegiatan dengan semeriah mungkin, karena katanya, simbol kemerdekaan adalah kemampuan untuk bisa secara mandiri berbuat yang terbaik. 24 set piala pun disediakan, dibeli dari Ambon dan dibawa dengan kapal laut oleh seorang guru yang kebetulan sedang di Ambon dan sebagian lain oleh saya yang kebetulan waktu itu sedang di Ambon. Bu Camat sudah membawa banyak sekali bahan makanan dari Saumlaki untuk dimasak di Adodo Molu. Berbeda dengan di kota yang jasa catering menjamur di mana-mana, di Adodo orang-orang selalu kesulitan makanan sehingga walaupun uangnya ada, tapi tidak mudah mendapat makanan.

Karena kebetulan sedang berada di Adodo Molu, saya menyaksikan bagaimana persiapan desa ini menyambut para tamu dari desa-desa lain sekecamatan yang akan sama-sama mengikuti perlombaan dan menjadi peserta upacara. Lapangan yang akan dipakai adalah lapangan di SMP Adodo Molu yang penuh debu dan gersang. Untuk mempercantiknya, panitia sudah menambal lapangan voli yang bolong-bolong dengan semen seadanya. Tiang bendera yang terlalu pendek pun akhirnya disambung dengan menggunakan tiang radio yang sudah tidak terpakai. Panggung untuk tribun kehormatan pun sudah dibuat dengan menggunakan kayu-kayu dari hutan yang merupakan hasil gotong royong warga, dengan papan-papan yang dipotong oleh bapak-bapak dan hiasan janur yang dijalin oleh ibu-ibu. Anak-anak dengan ember-ember kecil mengumpulkan pasir, anak-anak muda menebang pohon-pohon kelapa yang terlalu lebat agar desa bisa kelihatan lebih indah. Kepala desa pun sudah memasang speaker TOA di pucuk bambu yang dipasang di atas rumahnya –mirip speaker mesjid- untuk mempermudah pengumuman. Sebelumnya pengumuman selalu dilakukan dengan cara superkonvensional, kepala desa menyuruh seorang anggotanya untuk berkeliling desa berteriak-teriak dalam bahasa daerah setempat. Entah kenapa dengan adanya TOA ini bapak kades sudah menggunakan bahasa Indonesia untuk memberikan pengumuman.

Di pagi hari tanggal 12 Agustus, semua kontingen dari desa tetangga sudah berdatangan. Kecamatan Molu Maru terdiri dari lima desa, yaitu Adodo Molu, Wulmasa, Tutunametal, Wadankou, dan Nurkat. Satu-satunya desa di pulau Maru adalah Nurkat, sisanya di Pulau Molu. Walau bersampingan, bukan hal mudah untuk bepergian antar desa. Tidak ada jalan darat, sehingga semuanya harus melalui jalan laut, melewati gelombang yang tidak tentu. Karena ituah para kontingen yang datang mau tidak mau harus menginap di Adodo Molu. Mereka pun tidur berjubel di rumah-rumah warga dan juga di ruang-ruang kelas di SD. Dapur umum pun dibuat, dengan beras raskin dari Camat. Para warga itu cukup makan nasi putih saja, tanpa lauk apa-apa selama di sini. Segala keterbatasan itu tidak menyurutkan niat warga, pantai sudah penuh dengan berbagai kapal motor dari desa tetangga, kapal motor dari Wadankou sudah dipasangi bendera Merah Putih, sementara motor dari Tutunametal malah sudah penuh dengan segala macam bendera warna warni dan satu bendera ungu buatan sendiri yang bertuliskan Tutunametal. Saya mulai merasa derap kebebasan yang ada di semangat para warga desa.

Di hari pembukaan acara, Pak Camat, camat termuda di kabupaten ini –baru 31 tahun-, dengan penuh semangat menyuarakan bahwa pada akhirnya angin kemerdekaan sudah sampai juga di tanah yang selama ini selalu dianggap terbelakang oleh orang-orang. Pada akhirnya orang Molu Maru, yang dianggap udik, tidak berpendidikan, dan terkucil dapat juga merayakan perayaan 17 Agustusannya sendiri, punya tim paskibra sendiri juga. Saya tidak bisa tidak setuju, memang sungguh aura kebanggaan bisa dirasakan di para warga desa ini, mereka juga bisa ternyata.

Berbicara tentang paskibra kecamatan juga adalah sebuah cerita tentang perjuangan. Sebelumnya anak muda di desa ini tidak ada yang tahu tentang paskibra, kebanyakan hanya tahu bermain volly saja –olahraga yang paling populer di Kepulauan Tanimbar, jauh mengalahkan sepakbola-. Untuk membentuk tim paskibra, kecamatan merekrut para siswa SMA Negeri 1 Molu Maru, SMA pertama di kecamatan Molu Maru yang baru beroperasi tahun ini dan bahkan belum mempunyai satu biji guru SMApun –yang mengajar adalah para staff camat dan tata usaha SMP-. Siswa-siswa SMA ini mungkin tidak akan lolos seleksi awal paskibra di daerah lain, karena postur tubuhnya yang tidak semuanya tinggi. Pelatih paskibra ini bukan tentara seperti biasanya, tapi oleh Pak Fordat, guru olahraga SD Wulmasa yang juga adalah satu-satunya guru olahraga sekecamatan Molu Maru. Beliau dibantu oleh seorang guru agama dan staf kecamatan yang alumnus STPDN. Mereka belajar berbaris dari nol, karena sejak SD tidak pernah menjadi pasukan pengibar bendera, upacara bendera pun jarang-jarang diadakan. Selama sebulan lebih tiap hari mereka dilatih, pagi dan sore, untuk bisa menjadi pengibar bendera. Adanya paskibra ini juga dilengkapi dengan lomba gerak jalan yang diikuti oleh semua SD sekecamatan. Sebagai sesuatu yang baru, warga-warga desa pun menjadi paskibra-holic. Semuanya menjadi suka berbaris. Di desaku, anak-anak kecil yang tidak ikut lomba berbaris semuanya minta diajar baris berbaris juga, semuanya menjadi sibuk dengan haluan kiri, hormat grak, dan seterusnya. Di Adodo juga begitu, banyak anak-anak yang di dalam rumah, di jalan-jalan menirukan gerak para paskibra. Bukan Cuma anak-anak, para pemuda desa dan ibu-ibu PKK juga berlatih gerak jalan.

Kembali ke paskibra, tim pengibar bendera ini berjuang dengan keterbatasan. Karena keterbatasan sarana, ibu camat meminjam baju-baju paskibra dari siapapun kenalannya yang punya keluarga anggota paskibra. Hanya bisa didapatkan beberapa baju saja, sehingga yang menggunakan baju paskibra hanya yang ukurannya pas dengan baju paskibra yang disediakan. Yang tidak kedapatan baju pun sibuk meminjam celana dan baju putih dari siapa saja yang dikenalnya. Di tengah kekurangan, pemuda-pemuda ini berhasil mengibarkan bendera merah putih. Walau sempat salah sedikit di awalnya, mereka berhasil menaikkan bendera merah putih sampai ke puncak, di hari di mana 66 tahun lalu Soekarno Hatta mengumandangkan kemerdekaan negara ini. Dalam sambutannya, Pak Camat mengatakan bahwa para pengibar bendera dari desa ini, mengemban tugas yang sama beratnya, sama penting dan terhormatnya dengan para saudara mereka yang mengibarkan bendera di Istana Merdeka. Melihat kebanggaan mereka dengan pakaian paskibraka seadanya itu, saya sungguh merasakan suatu hal abstrak yang bernama kemerdekaan.

Di luar paskibra, seluruh perayaan 17 Agustusan begitu ramainya. Dengan mesin diesel yang terus berbunyi –di desa ini belum dialiri listrik-, komentator di panggung sudah berlagak persis dengan komentator di televisi. Pak Nus Tursina, staf kecamatan yang menjadi komentator andalan, terus-terus mengulang-ulang: “dan para penonton sekalian, kita lihat penonton sudah begitu padat memenuhi istora senayan Adodo Molu”,  disambut dengan teriakan meriah oleh penonton. Setiap kali pertandingan volly time out, layaknya di pertandingan basket diputarkan lagu-lagu upbeat, yang disambut dengan goyangan dari para suporter di tengah lapangan, tidak kalah dengan cheerleader-cheerleader.  Saat semifinal volly yang mempertemukan tuan rumah Adodo Molu dengan Nurkat, seluruh desa kosong, dalam arti sebenarnya. Tidak ada orang di rumah-rumah, hanya tersisa ayam dan anjing saja. Semuanya berjubel mengelilingi lapangan volly yang penuh debu di bawah terik matahari, beberapa anak sampai manjat pohon untuk mendapat pemandangan yang lebih jelas.

Begitu juga dengan perlombaan anak sekolah, misalnya lomba menulis,baca, puisi, cerdas cermat, foruk (seni tutur dengan menggunakan bahasa Fordata), nyanyi. Guru-guru begitu tegang mempersiapkan para murid, orang tua juga sudah membekali anak-anaknya dengan bedak yang tebal, tenun-tenun tanimbar yang terbaik, dan segala pelengkapan yang memungkinkan. Tim baris berbaris dari tutunametal sampai membuat peci hitam buatan dari kertas yang dicat hitam, agar timnya bisa kelihatan bernuansa paskibraka.

Pada akhirnya, saya melewatkan lima hari perayaan 17 Agustusan yang begitu meriah, penuh semangat, dan saya akhirnya bisa mengatakan, saya sudah menemukan 17 Agustusan yang saya cari. Saya menemukan bahwa 17 Agustus itu, baru akan bermakna saat kita bisa melakukan sesuatu yang selama ini berada di luar jangkauan kita, saat kita bisa melompat keluar kotak dan melakukan langkah-langkah baru yang lebih tegap dan gagah. Di desa sederhana ini, saya merasakan kemerdekaan. Saya merasakan semangat Hatta, semangat Soekarno, di mata dan gerak Camat, stafnya, dan warga warga biasa yang bergotong royong membangun perayaan yang begitu berharga bagiku. Semoga anda semua juga menemukannya di kota anda, di desa anda, di sekolah, kantor, kompleks perumahan, kedubes, di manapun anda berada. Merdeka!

 

Adodo Molu, 18 Agustus 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua