Ketika Tetangga Berpesta...

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

 

Malam ini adalah malam yang istimewa di Desa Wadankou. Pendeta di desa kami, Pdt. Pameo, mendapat pemindahan dari Gereja Protestan Maluku ke daerah baru di daerah timur kabupaten ini. Penggantinya, seorang Nona Pendeta juga sudah hadir di desa dan telah selesai melakukan serah terima jabatan secara resmi di Gereja. Sebagai puncak acara pelepasan pak pendeta, sesuai tradisi warga telah menyiapkan pesta perpisahan, yang sudah ditunggu-tunggu orang sejak dua minggu lalu, terutama oleh para anak muda. Sudah banyak pemuda yang dengan menggebu-gebu mengingatkan saya bahwa nanti ada pesta, pak guru harus bisa joged, dan seterusnya. Bagian yang paling ditekankan oleh mereka selalu sama, bahwa pestanya akan dilangsungkan sampai pagi, joget sepuasnya pokoknya. Saya langsung teringat anak-anak muda di kota besar yang juga punya tradisi pesta, yang dalam istilah pergaulan diterjemahkan menjadi berdisko dan kadang minum-minum sambil haha hihi sampai pagi.  Saya jadi sangat penasaran, seperti apa kira-kira party yang diadakan di desa terpencil ini, apalagi karena katanya semua orang, tua muda pasti ikut berjoged ria. Pertanyaan-pertanyaan pun mulai menggelayut, apakah kiranya suasananya nanti seperti dugem? Ataukah modelnya seperti dansa dansi begitu? Apakah semua orang harus minum Sopi (tuak Maluku)?

Sejak dua hari sebelum acara, pembicaraan tentang acara pesta ini semakin santer. Ada yang mendiskusikan apakah acara akan berlangsung di pusat desa atau di lapangan, dan setelah diberitahu acaranya di pusat desa (pusatnya ditandai dengan sebuah tugu 5 meter yang bentuknya seperti monas) yang satunya lalu memberikan argumen mengapa tidak diadakan di lapangan saja. Saya yang mendengar agak bingung juga, karena toh pusat kota dan lapangan hanya berjarak kurang lebih 30 meter, tidak ada berdanya juga acara diadakan di mana. Ada pula yang mulai memproklamirkan bahwa ia akan bujang sementara selama pesta, sehingga bisa berjoged dengan nona-nona lain. Tidak hanya penduduk desa Wadankou, beberapa orang dari Desa Nurkat, yang terletak di pulau Maru juga sudah datang khusus untuk menghadiri pesta ini.  Memang, di desa terpencil yang nihil tempat hiburan, pesta seperti ini adalah sebuah perhelatan akbar, mungkin setara dengan konser-konser yang mudah kita temui di kota besar.

Sore hari di hari-H, terpal yang dibentangkan di antara tiang-tiang bambu sudah dipasang. Rangkaian lampu sudah dipasang pula beserta dengan sepaker besar yang di sini biasanya disebut salon. Untuk menjamin kelancaran acara, empat genset milik warga sudah disiapkan, agar ketika genset yang satu rusak, ada tiga genset lain yang siap menggantikan.  Sudah ada pula warga yang ditunjuk sebagai penanggung jawab mesin.  Orang-orang yang bermain volly di lapangan sudah diminta berhenti oleh anggota majelis gereja yang berkeliling desa dengna menggunakan megaphon, mengingatkan warga untuk bersiap-siap menyambut acara.

Jam setengah delapan acara dimulai,  orang-orang duduk di kursi plastik yang sebagian diambil dari gereja sebagian dari rumah dengan posisi huruf U. Pak pendeta, keluarga, beserta nona pendeta duduk di tengah, sehingga semua orang bisa melihat mereka. Acara dimulai dengan, seperti biasa, sambutan-sambutan. Mulai dari kepala desa, nona pendeta, dan bapak pendeta sebagai pemilik acara. Yang unik, dalam sambutan selalu ada kalimat yang diulang-ulang dan terasa lumayan berbelit-belit. Penyebutan pak pendeta yang akan pindah, misalnya, selalu disebut dengan mantan ketua majelis jemaat GPM Wadankou. Sementara pendeta baru, disebut dengan ketua majelis jemaat GPM Wadankou. Sehingga saat dalam satu kalimat ingin disebutkan bapak pendeta lama dan pendeta baru, penyebutannya jadi sangat panjang. Hal lain yang juga diulang-ulang adalah durasi tugas pak pendeta. Selalu diulang-ulang bahwa pendeta ini sudah bersama dengan kita selama 4 tahun 11 bulan 4 hari. Saya ingat 2 hari sebelumnya di gereja, saat ingin menyebut lama jabatan Pak Pendeta juga digunakan penyebutan lengkap itu, tapi tentunya minus dua hari dari penyebutan malam ini. Setelah sambutan, MC yang memimpin acara dengan menggunakan mic wireless yang mendengung-dengung mengumumkan bahwa acara berikut adalah acara jabat tangan. Acara jabat tangan ini dilakukan dengan urutan tertentu, sesuai dengan instruksi MC. Jabat tangan dimulai dari Kepala Desa Wadankou, diikuti Majelis Pengurus Gereja dan satu persatu organisasi yang ada di dalamnya. Setelah deretan pengurus gereja yang cukup panjang di mana beberapa orang terlihat maju beberapa kali karena mewakili beberapa organisasi, giliran warga yang maju. Inipun warga majunya berurutan dipanggil sesuai keluarga besar. Pemanggilan dimulai dari keluarga besar Sainlia (keluarga bapak kades) diikuti deretan marga-marga lain.

Selama proses jabat tangan berlangsung, saya jadi belajar kenapa orang Maluku erat dengan yang namanya lenso (sapu tangan). Mereka adalah orang yang sangat ekspresif, sehingga emosinya eksplosif, baik itu marah, ketawa, ataupun menangis. Dalam hal yang terakhir inilah saya melihat peran lenso. Sejak awal acara pelepasan Pak Pendeta, sudah banyak orang –terutama ibu-ibu- yang menangis tersedu-sedu.  Saat jabat tangan, tiap orang maju membawakan tanda mata, minimal dari organisasi atau keluarga besarnya. Tanda mata ini beragam, ada yang membawakan tenun tanimbar yang diselempangkan langsung ke pak pendeta, istri, dan anaknya, ada juga yang membawakan sopi (tuak Maluku) dalam botol, ada juga yang cukup dengan memberikan amplop saja. Sembari memberikan tanda mata, kebanyakan saling berpelukan sembari menangis terisak-isak. Bapak kepala sekolah saya yang sangat berwibawa dan kalem sampai menangis bombay saat berpelukan dengan pak pendeta. Pak pendeta sendiri tak sedikitpun meneteskan air mata.

Selesai deretan salam salaman per keluarga besar, MC lalu mengumumkan acara berikutnya. Acara berikutnya dinamakan dengan nama ‘istirahat’, yang artinya sama sekali tidak sama dengan deskripsinya. Acara istirahat ini akan diawali dengan menyantap hidangan yang sudah disiapkan oleh ibu-ibu, lalu diikuti dengan acara joged yang menurut pengumuman MC yang dibacakan dengan nada formil seperti di istana kepresidenan akan dilangsungkan maksimal sampai jam 5 pagi (sekarang waktu baru menunjukkan jam 9 malam). Setelah jam 5 pagi lalu dilanjutkan dengan acara badendang oleh ibu-ibu (berdendang maksudnya), sampai jam 6. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan acara ibadat pelepasan di gereja. Keren juga batinku, pesta semalam suntuk ditutup dengan ibadat pagi di Gereja.

Setelah pengumuman susunan acara, kue-kue dan bergelas-gelas teh pun dihidangkan, sambil lagu-lagu joget Maluku diputar sebagai pemanasan. Setelah kue-kue tandas, meja-meja disingkirkan, dan di tengah-tengah deretan kursi MC memanggil bapak pendeta untuk memulai acara joget. Beliau jalan dan berjoget dengan gaya yang unik, mengangkat dua tangan ke atas seperti orang ditodongkan pistol dan berjalan maju mundur, yang diikuti dengan orang-orang di belakangnya. Selesai satu lagu, bapak pendeta lalu duduk. Saat itu saya duduk di pojok, masih berusaha menangkap aturan main joged-jogedan ini. Selesai satu lagu, MC lalu berbicara mengucapkan terima kasih kepada bapak ibu pengurus gereja yang sudah ikut berjoged, lalu memutarkan lagu berikut. Orang-orang yang duduk pun berdiri, seorang ibu membungkuk di depanku, memberikan simbol untuk mengajak joged. Deretan para pejoged berdiri dua baris berhadap-hadapan, lalu mulailah acara joged mengikuti irama lagu. Saya tidak terbiasa dengan irama lagu Maluku,  jogednya maju mundur menyerupai poco-poco. Agak rikuh juga berjoged seperti ini. Benar saja, setelah selesai lagu, semua orang lalu kembali ke tempat, MC lalu menyebutkan terima kasih kepada rekan guru dari Indonesia Mengajar yang sudah tampil berjoged.  Saya jadi mulai paham aturannya, ternyata jogednya dilakukan per lagu, setiap lagu selesai warga duduk lagi, mendengarkan komentar-komentar dari MC sambil menunggu lagu berikut diputar. Lagu berikut, ada lagi seorang ibu yang mengajak saya ke lantai dansa. Saya pun berjoged lagi, disaksikan anak-anak muridku yang dari belakang kursi bersorak-sorak mengiringiku. Si ibu pasangan joged saya ini cukup rancak, dia bergoyang meliuk-liukkan pinggulnya. Wah, harus jaga image nih, pikirku.

Selesai berjoged sesi kedua, saya lalu memilih berkeliling saja sambil mengobservasi orang-orang, sambil bercengkerama dengan anak-anak muridku. Anak-anak dilarang ikut berjoged di tengah, karena itu anak-anak berkumpul di belakang kursi, di pinggir-pinggir rumah untuk berjoged bersama juga. Salah seorang muridku, Muba, sempat diajak ke lantai dansa oleh seorang pemuda. Kata orang, Muba ini jagoan joged, bahkan pernah dibayar untuk berjoged di sebuah acara di Desa Nurkat untuk meramaikan suasana. Benar juga, si Muba yang kecil mungil dan berkulit legam ini lincah sekali goyangannya, dengan gerakan-gerakan yang mengingatkan saya kepada penari-penari hiphop yang marak di kota besar. Dengan arahan yang bagus, mungkin dia bisa jadi penari sealiran Brandon IMB.

Selesai beberapa sesi, mulai banyak variasi dari komentar MC. Setiap sebelum lagu, ia selalu mengumumkan bahwa lagu berikut ini disponsori oleh siapa, misalnya oleh Bapak Rusunwuli. Untuk itu, sebelum bapak Rusunwuli berdiri, tidak ada seorang pun yang boleh berdiri. Setiap lagu pasti ada saja yang disebut mensponsori lagu ini, tujuannya ya agar orang-orang itu juga ikut berjoged. Kenyataannya peraturan itu tidak ditaati, tetap saja saat lagu dimulai orang-orang yang itu-itu juga pasti langsung berdiri dan mulai berjoged. Gerah melihat tingkah laku para jogeders liar ini, MC lalu mencak-mencak: tolong yah aturannya ditepati, kalau tidak maka acara joged akan dihentikan dan langsung dilanjutkan dengan badendang! Di Maluku sini memang sudah biasa dalam mengumumkan sesuatu harus sambil tarik urat leher. Bagi saya itu seperti terlihat marah, tapi bagi orang sini itu hanya pengumuman biasa saja. Setelah beberapa sesi berlanjut, si MC semakin sering marah-marah. Katanya orang-orang mulai tidak pakai aturan. Kalau yang diminta berjoged orang tua, tolong muda-mudi, nyong dan nona jangan ikut. Kalau joged jangan tak karuan, perhatikan yang istri orang jangan macam-macam. Tapi tetap saja, orang-orang menikmati berjoged dengan lagu yang dipotong-potong dan segala macam omelan MC yang menyelinginya. Di tengah-tengah, ibu majelis gereja malah menjadi ‘satuan pengamanan joged’. Sambil orang berjoged, ia ikut berjoged tapi menyusuri bagian tengah antar baris, menjaga agar jarak antar pejoged tetap sopan.

Lama kelamaan, saya mulai hafal dengan lagu yang diputar, karena lagu-lagu yang diputar dengan sumber dari hp itu sudah diputar berulang-ulang. Kebanyakan lagu Maluku, lagu baratnya pun adalah lagu disko 90an, seperti lagu dari Ace of Base atau Aqua. Tak mampu menahan kantuk, saya pun menyerah dan kembali ke rumah untuk tidur, apalagi keesokan paginya saya sudah meminta seorang pemilik kapal motor dari Nurkat untuk menumpang ke Adodo Molu. Ternyata paginya saya bangun kesiangan, sehingga tidak sempat melihat acara badendang. Saat saya bangun suasana sudah sepi, tinggal beberapa ibu-ibu yang sedang bernyanyi-nyanyi saja. Sayang sekali, padahal katanya saat badendang itu lebih ‘hot’ dari sesi joged. Tapi tidak apalah, setidaknya saya pasti akan menyaksikan acara joged ini pada saat perpisahan saya setahun mendatang. Apalagi katanya saat ada acara khusus seperti ulang tahun atau perayaan ulang tahun desa, juga akan ada acara joged, yang dinanti-nantikan warga desa itu. Baiklah, begitulah sedikit katong pu cerita par joged-jogedan dari tanah Maluku. Dangke banyak sudah membaca..:)

 

Video joged bisa dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=0VDhQMQd4fA


Cerita Lainnya

Lihat Semua