Malam Yang Kelam bagi Pemuda Berhati Besar

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

 

Tulisan ini ingin bercerita tentang sebuah peristiwa di suatu malam yang adegannya begitu jelas membekas, bagai sebuah tayangan video. Saat saya menulis sekarang ini, peristiwa itu sudah berlalu berpuluh puluh malam lalu, namun malam ini, di atas ferry di perairan Wunlah, saya ingat bahwa saya pernah berjanji dalam hati untuk menulis tentang ini. Dan saya sedang melakukannya.

Malam itu adalah satu malam di antara 50 malam kami bersama di camp pelatihan Indonesia Mengajar. Hampir sebagian besar hari kami dilalui dengan jadwal yang sama. Pagi olahraga, siang sampai malam sesi, lalu dilanjutkan dengan istirahat. Waktu itu kami telah menyelesaikan sesi malam, dan seperti biasa snack malam telah disediakan. Snack malam sudah punya SOP, apapun makanannya minumannya pasti wedang jahe. Dan sambil membawa segelas wedang jahe beserta makanan pendampingnya (biasanya kacang, ubi rebus, kue, dan sejenisnya), saya duduk di salah satu meja, bergabung dengan percakapan yang sedang berlangsung saat itu. Saya lupa sedang membicarakan topik apa, tapi saat itu saya sedang berbicara dengan Angga. Angga adalah salah satu teman terdekat saya di antara Pengajar Muda lainnya. Badannya besar, sama dengan hatinya. Jika disimbolisasikan, Angga itu seperti beruang Teddy. Ia begitu menggemaskan, karena kepolosan dan kejujurannya. Walau badannya besar, ia kadang takut gelap, sehingga saat kami tidur di barak di Rindam, ia pasti minta ditemani kalau pergi ke belakang. Karena hobi makan, Angga punya dua pantangan makan: makan yang tidak enak dan makan dengan porsi sedikit.Hehe. Selama di training saya dan teman-teman sudah bolak balik mengingatkan kepadanya untuk mengurangi porsi makannya agar tidak kesulitan menempuh medan di desa yang secara fisik sulit. Namun tetap saja, dengan nada manja seperti anak-anak dilarang makan permen jagoan neon, dia tetap bersikeras untuk mengambil nasi yang banyak. Pernah satu kali, kami makan di KFC. Saya dan Jessica kebagian tugas mengantri, dan karena titipan Angga cukup banyak, kami kelupaan satu pesanan, yaitu seporsi nasi. Sepertinyai tu sedikit mengganggu kenikmatan makannya, dan karena masih ‘penasaran’, dia pun pergi mengantri di kasir setelah makanannya habis. Sepuluh menit setelah itu, alih alih membeli nasi, dia membawa Float, ayam, pudding, dan spaghetti!

Walau suka membuat kami menggeleng-gelengkan kepala, tidak ada orang yang bisa jengkel atau marah kepada Angga. Ia adalah orang yang sangat disayangi semua orang. Ia punya formula yang pas untuk bersahabat dengan siapapun, perempuan maupun laki-laki. Kita semua pasti pernah menemui orang yang seperti Angga, yang jujur pada dirinya sendiri dan pada orang lain. Ia tidak mencoba menjadi orang lain, ia berbicara apa yang ia pikirkan, ia berekspresi senada dengan yang dirasakan hatinya, dan selalu bersedia membantu siapapun sebisanya. Pendeknya, tanpa Angga, suasana di camp pelatihan kami seperti nadi tanpa aliran darah. Ia adalah orang pertama yang selalu dicari saat orang-orang ingin mem’bullying’, atau ingin tiduran(di pahanya), atau ingin tersenyum (coba saja sendiri, lihat fotonya saja kita sudah ingin tersenyum). Malam itu, sang bunga matahari mendung diselimuti awan gelap. Saat kami sedang mengobrol, tiba-tiba Mas Ade, salah satu tim IM, memanggilnya. Dari kejauhan saya melihat Angga sedang menerima telepon, dan saya lalu mengalihkan perhatian saya kepada pekerjaan lain, sampai saya menyadari ada sesuatu yang tidak biasanya dari telepon itu. Teman-teman IM yang berdiri di sekitar Angga tampak sangat tegang, dan ekspresi si boneka Teddy itu seperti sedang menerima serangan kilat yang mengejutkan. Setelah menerima telepon Angga langsung menghampiriku, mengangkat tasnya dan memintaku ikut ke kamarnya. Dia berjalan terburu-buru di depan, seperti sedang kehilangan arah namun berusaha tetap mengendalikan diri. Tangannya gemetar, nafasnya mengencang, dan dalam sekejap udara di sekitar seperti membeku. Mas Ade berkata singkat dengan wajah serius: “Ayahnya Angga meninggal”. Saya begitu kaget, kehilangan orang terdekat dengan tiba-tiba tanpa kita berada di sampingnya adalah sesuatu yang begitu berat. Sampai di kamar, Angga yang masih berusaha mengatur emosinya mengambil tasnya. Barang Angga sangat banyak, sampai karena tidak cukup ditampung di lantai dan lemari beberapa harus diletakkan di atas tempat tidur. Pada saat itu saya sejenak membatin, bahwa inilah akhir dari perjalanan Angga di training IM ini. Dalam keadaan berat seperti ini, pasti ibunya membutuhkan kehadirannya. Hendy pun buru-buru mengambil travel bag besar untuk mengisi barang-barang Angga. Hipotesa saya itu seketika tertepiskan ketika Angga menepis travel bag Hendy, dan hanya ingin membawa ransel dengan tiga lembar baju. Di detik itulah, saya melihat betapa teman saya ini mempunyai keteguhan hati yang luar biasa. Masa itu pastilah sangat berat baginya, namun ia yang sejatinya perasa dan gampang terharu, malam itu tidak menangis.

Menit-menit setelahnya adalah momen yang tidak dapat hilang dari kepalaku. Sejenak malam serasa begitu gelap. Hubla yang begitu ramai dengan candaan, nyanyian Arif and the gank, tiba-tiba sunyi. Saat Angga keluar dari kamar, pelan-pelan dalam diam satu per satu teman-teman datang menghampiri, berjalan dengan langkah pelan dan wajah penuh empati. Pelukan dan bisikan semangat berlangsung dalam senyap, mengiringi langkah Angga ke mobil IM yang sudah siap mengantarnya ke Jakarta untuk langsung berangkat ke Kertosono. Angga tidak menangis, wajahnya menunjukkan seorang lelaki yang sedang bertarung menghadapi cobaan yang dititipkan kepadanya. Beberapa teman ikut bersedih sampai menangis, Ika berlari mengejar mobil Angga untuk mengucapkan belasungkawa. Sayang teman kecil saya itu tidak berhasil menghampiri Angga.  Selepas mobil berlalu, sejenak 72 orang sahabat-sahabatku tertunduk dalam gelap. Kami pun berkumpul, dan mengucapkan doa singkat untuk sahabat kami yang malam itu sedang menjalani satu malam tergelap dalam hidupnya. Malam itu diakhiri dengan doa bersama dari persekutuan doa kami (para PM yang Nasrani secara rutin melakukan persekutuan doa tiap minggu), di mana Angga sempat mengirimkan pesan terima kasih kepada teman-teman dan menyatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Beberapa hari berlalu, dan walau ketidakhadiran Angga membuat suasana camp sedikit suram, namun semuanya tetap bersuka karena ternyata Angga begitu cepat bangkit dari cobaannya. Setiap weekend kami bisa memegang handphone, dan saat itu kami mendapat kabar dari Angga bahwa ia akan segera kembali ke camp sesegera mungkin. Ia pun sudah mengupdate diri di Twitter, tanpa menyisakan rona kesedihan sedikitpun. Akhirnya Angga kembali, disambut dengan pelukan-pelukan hangat, teriakan girang dari teman-teman yang merindukannya. Ia langsung kembali ke kodratnya, menjadi penghibur kami semua. Kadang, dalam waktu-waktu sharing kami di persekutuan doa ia masih sedih dengan kepergian ayahnya, namun tidak seincipun tekadnya untuk mengabdi lewat indonesia Mengajar ini beranjak.

Saya langsung teringat pada waktu pertama kali mengenalnya, di Direct Assesment yang berlangsung di Jakarta. Angga adalah orang yang paling bersemangat bergabung dengan IM. Saat ia presentasi diri, ia sempat tegang karena takut salah bicara. Saat microteaching, Angga yang asisten dosen Sastra indonesia UI sudah menyiapkan diri dengan kalimat-kalimat EYD yang komunikatif sebagai pembuka. Sayang kami semua yang menjadi peserta microteaching begitu ramai, shingga ia sama sekali tidak sempat menyampaikan materinya. Ia begitu cemas apakah berhasil atau tidak dalam seleksi IM, bahkan itu tertuangkan dalam status-status facebook dan BBMnya. Setelah kami lolos ke tahap Medical Check Up, Angga juga tetap konstan meminta doa agar dapat bergabung dengan IM. Saat ia akhirnya diterima bergabung dengan 72 orang lainnya, saya sangat senang karena tahu ia begitu mengimpikan ini. Dan setelah mengenal dia lebih lanjut, saya tahu apa yang membuatnya dipercaya mengemban tugas ini. Angga adalah teladan dalam hal kebesaran hati. Ia mencintai orang lain tanpa terkecuali, dan begitu juga sebaliknya. Dengan segala keterbatasannya ia memberanikan dirinya, dan tanpa mengumbar kata-kata ia menunjukkan bahwa ia berusaha merintangi semua ketakutan yang ada. Keberhasilannya bangkit dari cobaan yang dialami mengajarkanku tentang kekuatan diri, keteguhan hati, dan ketabahan tingkat tinggi. Semoga karya Angga di FakFak bisa membuat banyak orang merasakan cinta, seperti yang saya dan teman-teman lain rasakan.

Salam dari perairan Wunlah,

20 Juli 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua