Jadilah Terang di Tempat yang Gelap?

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

 

Sewaktu kami masih menjalani training di Wisma Hubla, di Malam Apresiasi Seni saya dan teman-teman Nasrani menyanyikan lagu Glenn Fredly, Terang. Lagunya sederhana, liriknya juga tidak puitis, namun pesannya jelas. “Jadilah terang, jangan di tempat yang terang, jadilah di terang, di tempat yang gelap”. Seperti semangat gerakan IM, kami percaya bahwa gerakan kami adalah gerakan menyalakan lilin, bukan petromaks atau emergency lamp atau mercusuar. Kami hanya menjadi terang sesederhana yang kami bisa, tapi kami akan mengeluarkan cahaya kami di tempat yang membutuhkan, yaitu di pojok-pojok yang gelap.

Hari ini adalah hari pertamaku datang ke sekolah, dan tentunya pertanyaan timbul, ‘segelap’ apakah yang akan kuhadapi? Ternyata jawabannya ada di ujung hari ini, yang akan kuceritakan di ujung tulisan ini pula. Saat saya datang ke sekolah, anak-anak sudah berkumpul dengan pakaian olahraga yang adalah dresscode di hari jumat. Pakaian olahraganya adalah celana merah sekolah dengan baju bervariasi dari baju naruto, baju upin ipin, sampai baju yang sepertinya dipakai tidur mereka semalam.  Mereka ternyata tidak punya pakaian olahraga. Baiklah. Hari ini adalah minggu kedua sekolah, dan belum ada kejelasan tentang guru-guru akan memegang kelas berapa. Yang dilakukan di hari Jumat tadi adalah anak-anak diminta membersihkan sekolah, mulai dari menyapu kelas, mencabut rumput, dan mengambil air di perigi (sumur) untuk diisikan di toilet sekolah.  Bapak kepala sekolah lalu memberikan pengarahan kepada anak-anak. Yah, istilahnya memang pengarahan, karena bahasa yang digunakan bapak kepala sekolah seungguh seperti pengarahan bupati kepada stafnya. Bahasanya sangat formal, dan saya meragukan ada satu biji anakpun yang paham penuh apa yang disampaikannya. Saat mengenalkan saya kepada murid-murid, kalimat yang digunakan oleh bapak kepala sekolah saya adalah: “jadi anak-anak, kita sekarang kedatangan satu guru bantu dari Yayasan Indonesia Mengajar, yang akan mengajar di sini selama setahun. Harapannya dengan kedatangan bapak Dedi kualitas pembelajaran sekolah kita akan meningkat, dan seterusnya”.

Setelah pengarahan, karena belum ada rapat guru menentukan wali kelas maka anak-anak dibiarkan bermain saja. Saya duduk tidak jelas di ruang guru, dan akhirnya memutuskan untuk mengajak anak-anak bermain dan bernyanyi, dengan pengetahuan saya yang tidak banyak tentang permainan dan dengan suara yang pas-pasan (kalau tidak percaya tanyalah pada rekan-rekan saya sedaerah di MTB). Sejujurnya saat memimpin permainan, saya tidak melihat kegelapan. Saya ingat kata sahabat saya, Beryl, sambutlah mata berbinar itu. Mereka memang betul gembira saat bermain, mereka semangat mengikuti lagu yang saya lantunkan dengan nada ke kiri kanan, dan mereka sungguh patuh saat diminta dengan baik. Saya memainkan lagu standar, kalau kau suka hati, dan reaksi mereka sama bersemangatnya dengan anak-anak di kota besar lainnya. Setelah bermain, saya sempat mencoba mengajar membaca sebentar di kelas. Ternyata mereka patuh-patuh dan berburu untuk menggambar di depan kelas.  Memang sih, mereka sangat ketinggalan dalam hal pelajaran. Menurut cerita dari bapak camat dan saya buktikan sendiri, yang lancar membaca hanyalah anak kelas 3 ke atas, yang lancar tambah kurang hanya anak kelas 4 dan 5 ke atas. Yang bisa mengali? Saya belum menemukan sejauh ini. Yah, PR saya masih banyak, tapi melihat energi yang ada pada diri mereka, saya yakin terang pasti bisa bercahaya.

Sore harinya, saya tak bisa berhenti tersenyum ketika sepanjang jalan anak-anak bermain sambil  menyanyikan lagu yang saya ajarkan di sekolah.  Saya ikut bermain bola dengan pemuda di desa, sambil melihat anak-anak kembali ke halaman sekolah dan memainkan permainan ting gaya ting gaya ting yang saya ajarkan paginya. Ah, benar kata teman-teman, anak-anak adalah genset kami dalam hidup di daerah terpencil ini.

Nah, yang namanya mengajar dalam kegelapan ini baru saya rasakan malam harinya. Anak-anak sangat semangat belajar, walau saya jujur saja tidak tahu mau mulai mengajar dari mana. Di rumah bapak kades tempat saya tinggal lampu tidak menyala, namun anak-anak tetap menyemut datang ke rumah. Ada yang kelas 1, sampai sudah lulus SD. Akhirnya saya pun meminjam emergency lamp, meletakkan di atas meja tamu, sambil saya memakai headlamp dan menyinari bagian lain yang tidak tercahayakan oleh emergency lamp. Mereka sebagian besar tidak punya buku tulis dan pensil, tapi tetap saja datang untuk belajar. Akhirnya saya meminta mereka untuk menuliskan nama mereka dan nama teman-teman yang lain di kertas. Saya mengeluarkan semua spidol yang saya punyai untuk dipinjam mereka, dan menyobek kertas dari  buku besar yang rencananya dipakai untuk menuliskan RPP untuk lalu dipakai oleh mereka. Ini adalah pengalaman yang sungguh baru bagiku, dan mungkin akan kualami di ratusan malam sesudah ini, belajar dalam kegelapan. Ada beberapa anak yang membaca karton alfabetku di tengah kegelapan, beberapa berkumpul di pojok ruangan sambil menulis, entah bagaimana mereka bisa menulis di sudut yang tidak bercahaya itu. Di malam ini saya melihat pijar-pijar bohlam yang berusaha membakar dan menyalakan dirinya. Semoga semangat itu tidak pernah pudar dalam diriku, dalam diri mereka, sehingga kelak, mereka sungguh menjadi anak-anak terang...:)

 

Wadankou, 23 Juli 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua