Di-Molu Marukan

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

 

Pernahkah anda melihat peta Indonesia? Saya yakin pasti sudah tak terhitung berapa kali, mungkin sebagian besar sewaktu masih berada di bangku sekolah. Pernahkah anda memperhatikan sebuah noktah kecil di sebelah tenggara peta tersebut, yang bernama Pulau Molu? Kemungkinan besar tidak. Saya yang mengaku jawara geografi sewaktu sekolah dulu juga sebelum ditugaskan di Maluku Tenggara Barat, tidak pernah tahu di mana letak kabupaten bernama MTB itu (Bukan NTB yang tetangganya Bali lho). Saya tahu bahwa Maluku adalah sebuah propinsi kepulauan, tapi sungguh saya tidak tahu ‘percaturan’ pulau-pulau di Maluku. Sebelum Maluku Utara berdiri menjadi propinsi sendiri, Maluku adalah sebuah kepulauan gigantis. Di sebelah utara ada pulau besar, Halmahera, dengan beberapa pulau yang mengelilinginya, seperti Ternate, Tidore, Morotai, Kepulauan Bacan, Sula, Obi dan seterusnya. Di tengah ada pulau Seram, yang menginduki pulau kecil bernama Pulau Ambon, tempat di mana ibukota propinsi berada. Di sebelah barat Pulau Seram ada Pulau Buru, yang pernah menjadi pembuangan pemimpin bangsa kita. Pulau Buru dan Pulau Seram adalah titik tengah dari kepulauan Maluku, sekaligus daerah yang pertumbuhannya paling maju. Di Pulau Buru ada hamparan sawah yang digarap oleh transmigran-transmigran dari Jawa. Konon hasil beras dari Buru mampu menghidupi mulut-mulut orang sepropinsi Maluku yang terkenal banyak makan nasi (selain kasbi alias ubi). Bandaneira, tempat yang begitu angker dan tersohor sebagai tempat kelahiran Des Alwi adalah sebuah pulau di tengah-tengah Laut Banda yang merupakan salah satu lautan paling dalam di dunia. Di sini terdapat Palung Banda, dan kedalaman lautan itu membuat di perairan Maluku ikan-ikan dengan ukuran superbesar dengan mudah dapat dijaring. Di perairan inilah para kapal nelayan Jepang datang, mengambil ikan-ikan tuna dan salmon yang lalu diperdagangkan di pasar ikan di Jepang yang sangat tersohor dan menjadi salah satu objek wisata. Yang baru saya sadari adalah bahwa di tenggara Maluku ada beberapa kepulauan yang jaraknya lebih dekat ke Australia dan Timor Leste daripada ke Ambon. Ada Kepulauan Aru tempat Yos Sudarso wafat, Kepulauan Kei (tempat lahirnya John Kei yang menjadi Corleonenya Indonesia), Kepulauan Barat Daya (tempat pulau-pulau dengan jarak berjauhan dan sekaligus menjadi tempat dengan medan tersulit di Maluku dan berbatasan dengan Timor Leste), dan Kepulauan Tanimbar. Tanimbar adalah tanah di mana tempat tinggalku sekarang, Pulau Molu Maru terletak.

Kepulauan Tanimbar terdiri dari satu pulau besar, Yamdena, dan pulau-pulau lain yang mengitarinya. Kepulauan Tanimbar ini diberi nama Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dengan ibukota Saumlaki yang terletak di sebelah tenggara pulau Yamdena. Di sebelah selatan Yamdena ada Pulau Selaru yang berbatasan langsung dengan Australia Utara, sementara di pojok utara ada sepasang pulau yang terletak paling jauh dari pulau induk, pulau itulah yang bernama Molu dan Maru. Di salah satu sudut pulau Molu inilah saya hidup dan mengetik tulisan ini, di desa bernama Wadankou.

Sebelum sampai di Wadankou, dari percakapan dengan orang-orang di Saumlaki dan Larat (kota yang terletak di sebelah utara pulau Yamdena), saya mendapatkan banyak cerita tentang Molu Maru, dan jujur saja, tidak ada satupun cerita itu yang bernada positif. Di kalangan pegawai pemerintahan di MTB, penempatan di Molu Maru dianggap sebagai suatu hukuman. Di jaman dulu, transportasi ke Molu Maru masih sangat terbatas, sehingga orang yang sudah hidup di sini mungkin baru berbulan-bulan lamanya baru bisa ke kota. Ini disebabkan karena kolaborasi dari beberapa faktor. Yang pertama adalah angin yang kencang sepanjang tahun di daerah ini. Saat saya duduk di depan laptop sekarang ini di ruang tamu rumahku, di luar suara angin yang melaju kencang menabrak pohon-pohon kelapa dan atap-atap rumah terdengar jelas, bahkan sepanjang malam, saya seperti tidur di ruangan berac karena angin pantai yang begitu menusuk tulang. Kencangnya angin ini membuat transportasi terhambat dan akhirnya membutuhkan biaya yang tinggi pula. Faktor berikut adalah akumulasi dari faktor-faktor di atas. Karena terisolasinya daerah ini, banyak isu-isu yang sebagian besar tidak benar. Ada yang mengatakan kalau di daerah ini nuansa magis masih begitu kuat,orang baru yang datang harus sangat berhati-hati karena bisa saja kalau salah melangkah bisa kena guna-guna atau disuruh mengawini gadis di desa. Ada lagi yang bilang di tempat ini orang masih makan ubi melulu setiap hari, sampai kalau tidak terbiasa perutmu bisa ‘pecah’ katanya. Semua itu masih ditambah dengan bumbu cerita-cerita kapal yang terbalik di perairan sekitar Molu Maru.

Di kalangan pegawai pemerintahan, penugasan ke Molu Maru dianggap sebagai hukuman. Molu Maru seakan-akan menjadi Boeven Digoel atau Nusakambangannya Kepulauan Tanimbar. Katanya pegawai yang kedapatan melakukan pelanggaran, biasanya diganjar hukuman dengan dimutasikan ke Molu Maru, sehingga tidak bisa berkutik lagi. Dahulu guru-guru yang ditugaskan ke sekolah-sekolah di tempat ini beramai-ramai menghindar dan memohon agar SK-nya ditinjau kembali. Karena itulah istilah diMolu Marukan menjadi sangat populer di kalangan orang-orang MTB.

Hampir setahun lalu, Molu Maru dimekarkan menjadi kecamatan sendiri. Pemekaran ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan mengikis keseraman persepsi orang dan sekaligus memperdekat warga Molu Maru dengan derap kemajuan. Tentunya semua orang di pemerintahan kabupaten penasaran sekaligus waswas, siapa orang yang terpilih untuk menjadi camat Molu Maru. Saya menulis tentang camat Molu Maru di tulisan yang lain, namun di sini saya ingin bercerita bagaimana pengalaman Pak Camat saat ia diMolo Marukan.

Pak Marthen Bebena, si camat Molu Maru sekarang, sebelumnya adalah salah satu pegawai pemerintahan MTB yang paling bersinar. Lulusan STPDN, ia meniti karier dengan mulus di pemerintahan kabupaten. Baru beberapa tahun berkarir, dalam usia 30 tahun ia sudah terpilih menjadi salah satu kepala bagian di Badan Kepegawaian Daerah. Posisinya ibarat salah satu manajer HRD di kabupaten. Ia bekerja di lahan yang bagi banyak orang menjadi favorit, karena berkutat di bidang perekrutan PNS dan pengurusan tenaga-tenaga non-PNS yang diperbantukan ke daerah (seperti misalnya Dokter PTT). Posisi ini bergengsi, karena bertemu dengan banyak orang mulai dari pelamar kerja, konsultan rekrutmen, sampai ke birokrat-birokrat yang mendapat kenaikan pangkat atau mutasi kerja. Sebagai HRD, ia tahu pasti tentang penunjukan camat. Ia sudah mengantongi nama beberapa pegawai senior yang dicalonkan menjadi camat Molu Maru.

Di pertengahan November 2010, dalam hitungan hari bupati akan berangkat ke Molu Maru untuk meresmikan kecamatan sekaligus melantik camat pertama di pulau kembar ini. Semua keputusan pengangkatan camat dilakukan oleh bupati sendiri, sehingga Pak Bebena belum tahu pasti siapa dari beberapa kandidat yang sudah disebut-sebut namanya yang akan dipilih oleh bapak bupati. Sampai satu hari sebelum keberangkatan, tidak kunjung ada instruksi dari Bupati perihal pengangkatan camat itu. Siang sehari sebelum acara pelantikan, semua persiapan sudah beres, kecuali nama camatnya. Pak Bebena dipanggil ke ruangan Bupati, dan di situ secara mengejutkan sang priyayi daerah memintanya untuk menjadi camat di Molu Maru. Pemberitahuan mendadak untuk penugasan di tempat paling terpencil di kabupaten membuat Pak Bebena terhenyak. Sebagai pegawai negeri, ia harus tunduk pada penugasan yang diberikan. Ia pun langsung pulang dan menuju ke tukang jahit yang akan menjahit dalam semalam pakaian dinas untuk pelantikan keesokan harinya. Dalam perjalanan ia menelepon istrinya, memberitahu bahwa besok mereka haru segera berangkat untuk bertugas di daerah tak bersinyal, meninggalkan dua anak mereka yang masih berusia TK dengan tiba-tiba. Tidak sempat menunggu reaksi lanjutan dari sang istri, Bapak Camat baru langsung mengurus keperluan ini itu, dan saat ia kembali ke rumah, rumah sudah disesaki dengan banyak orang. Dari keluarga sampai ke pegaewai-pegawai sedivisinya sudah ada di sana. Sebagian besar menangisi, bertanya-tanya apa gerangan yang membuat Pak Bebena yang track recordnya bersih bisa ditempatkan di tempat setrap para pegawai itu.  Sebagian lagi menghibur dan beberapa malah marah dan menganggap ada orang yang memfitnah Pak Bebena. Sang Bapak Camat baru malah biasa saja, dan dengan lapang dada menyambut tantangan yang menyapa begitu tiba-tiba. Menurut cerita Bu Camat, keluarga sampai dua hari masih menangisi nasib keluarga muda mereka (yah, orang Maluku memang ekspresif, mereka kalau sedih memang menangis, secara harafiah).  Pada akhirnya esoknya dengan speedboat bupati beserta rombongan pun berangkat ke Adodo Molu, desa yang dipilih sebagai ibukota kecamatan sementara di Molu Maru, dan melantik si Camat muda ini. Konon orang-orang tidak ada yang menduga bahwa adalah Pak Bebena yang menjadi camat, sampai ia berslain baju dengan baju dinas camat saat mendarat di Adodo Molu.

Pak Camat mulai berkarya delapan bulan sebelum saya tiba di sini. Konon katanya, pada saat pertama tiba di Molu Maru keadaan memang masih sangat berat. Di desa Nurkat, saat mereka tiba kotoran manusia berserakan di pantai, karena orang-orang tidak mempunyai MCK. Di desa Tutunametal, orang-orang menjemur rumput laut di jalanan sehnigga desa yang sudah kecil itu menjadi semrawut, orang-orang kesulitan berjalan di jalanan. Yang lebih membingungkan lagi, di Adodo Molu waktu bapak camat datang, orang-orang begitu takut bercampur malu bercampur cuek sehnigga bahkan tidak ada orang yang datang membantu mengangkatkan barang-barang untuk turun dari speedboat. Setiap kali Pak Camat berjalan keliling desa, orang-orang selalu berlomba-lomba menyembunyikan dirinya. Mengurus desa-desa di Molu Maru juga tidak mudah, karena lautnya yang ganas membuat kunjungan antar desa tidak segampang di daratan. Camat harus menumpang speedboat yang karena menabrak ombak besar selalu membuat basah setiap penumpangnya. Itupun waktu berangkat harus menunggu air pasang, agar bisa berjalan tidak terlalu ke tengah laut. Ini membuat kunjungan ke desa pasti membuat Camat dan rombongan harus menginap di desa.

Satu lagi pengalaman diMolu Marukan adalah perihal kelengkapan kecamatan. Karena adalah kecamatan baru, camat dan stafnya harus homestay di rumah-rumah penduduk karena belum dibangunnya perumahan pegawai. Atas perintah bupati, camat pun diminta merangkap menjadi kepala UPTD (dinas pendidikan tingkat kecamatan) sekaligus merangkap Kapolsek (karena tidak ada polisi di desa). Pada bulan-bulan awal langsung dibangun kantor camat di pinggir pantai, yang sebenarnya kalau dilihat dari letaknya sangat mentereng. Sayangnya ombak Molu yang kejam menghantam gedung itu, sampai satu kali ombak besar yang hampir menyerupai tsunami menghancurkan beberapa bagian dari kantor camat. Kantor camat yang malang itupun dirobohkan, dan pusat kecamatan baru akan dibangun jauh dari pantai, di areal yang saat ini masih belum dihuni orang. Sementara ini kantor kecamatan meminjam ruangan perpustakaan di SMP Adodo Molu yang memang tidak ada isinya.

Tidak kalah menariknya adalah masalah makanan. Walau di pinggir pantai, entah kenapa di desa Adodo Molu ikan sulit sekali didapat. Ini membuat warga selalu menghadapi minimnya makanan. Sayur juga tidak ditanam secara massal, sehingga hanya segelintir warga yang bisa mengonsumsi sayur. Hal itu membuat pak camat harus membawa logistik yang cukup besar jumlahnya, mulai dari beras, mie instan, sampai ayam hidup dari Saumlaki. Satu waktu masyarakat kehabisan beras, sehnigga terpaksa stok beras pribadi camat dibagikan untuk warga. Pengalaman saya tinggal seminggu di Adodo Molu, menu favorit semua orang memang ironisnya adalah mie instan dan nasi putih.

Satu cerita klasik lagi tentang Molu Maru tentunya masalah transportasi. Beberapa guru pernah bercerita, di tahun 90an dulu karena sulitnya transportas, guru-guru harus mengambil honornya di kecamatan dengan patungan menyarter kapal motor yang harganya 3juta pulang pergi. Ditambah dengan belanja bulanan di Kota Larat, sampai ke Adodo Molu lagi gaji sudah tak bersisa. Sejak kecamatan Molu Maru berdiri sendiri, pemerintah sudah menyinggahkan ferry dari Saumlaki ke Adodo Molu setiap dua minggu sekali. Satu waktu ferry mengalami gangguan, sehingga harus mengalami perbaikan. Camat dan beberapa belas warga Molu Maru sudah sampai di Larat, namun belum bisa ke Molu Maru karena harus menunggu kapal motor dari desa yang kebetulan datang ke Larat. Masalahnya karena ombak yang besar, tidak kunjung ada kapal motor yang datang. Hal ini membuat Bapak dan Ibu Camat harus tinggal di Larat selama hampir dua minggu, dengan kegiatan setiap hari adalah ke dermaga mengecek keberadaan kapal motor dan membuat dapur umum bersama di dermaga untuk memberi makan warga Molu Maru yang sama-sama terdamparnya. Masih ada lagi cerita tentang speedboat yang mogok di jalan sampai camat harus menumpang sampan milik warga yang kebetulan lewat, dan pengalaman diombang ambing gelombang yang sehari-hari dihadapi.

Hari ini saya juga sudah diMolo Marukan. Apakah seseram keadaan yang didengang dengungkan orang-orang? Sejauh ini, saya merasa sangat beruntung. Pemerintah sudah banyak membangun kecamatan ini selama delapan bulan terakhir, sehingga saat saya datang keadaan sudah menjadi lebih baik. Apalagi semua itu ditambah dengan keramahan warga yang luar biasa. Saya malah tergolong sangat beruntung. Di rumah, saya diperlakukan sebagai tamu terhormat, diberi kamar terbagus,dan selalu disediakan makanan tiga kali sehari. Saya tidak perlu menimba air sendiri, dan seluruh desa selalu menyapaku dengan ramah setiap kali saya lewat. Rasanya yang disebut dengan keterisolasian itu bukan tempat yang jauh atau sinyal yang tidak ada, tapi apakah diri kita teralineasi dari orang-orang sekitar atau tidak. Dengan hati yang hangat dari orang-orang di sini, saya bisa berkata, diMoluMarukan itu menyenangkan ternyata! J


Cerita Lainnya

Lihat Semua