Menciptakan Ambon Damai: sebuah renungan

Dedi Kusuma Wijaya 9 September 2011

 

 

Sebagian besar dari kita pasti pernah punya kesan tentang kerusuhan Ambon (1999-2001), sebesar atau sekecil apapun. Saya misalnya, banyak membaca tentang Ambon yang tidak kunjung damai selama beberapa tahun, dan tahu kesadisan orang-orang dalam kerusuhan itu dari cerita orang yang sudah menonton vcd dokumenter amatir yang isinya lebih menyerupai film Hostel: rekaman orang-orang yang saling memenggal di Ambon. Saya juga ingat peran besar Bapak JK dalam mendamaikan perang saudara yang berlarut-larut itu. Bagi saya, kesan saya itu hanya kesan kecil saja.  Ada ratusan ribu orang yang pastinya punya pengalaman langsung, menyaksikan medan peperangan antar saudara itu dengan kedua mata sendiri dan merasakan bulu kuduk yang berdiri gentar saat berada di killing field. Ada ribuan kepala, dengan ribuan cerita yang pasti berbeda-beda pula. Malam ini saya berbincang-bincang panjang dengan Pak Bat, bapak piara dari teman saya Bagus, di meja makan ditemani seceret air putih, sebungkus biskuit, dan temaramnya cahaya pelita yang membuat cerita Pak Bat semakin misterius karena wajahnya yang setengah siluet. Salah satu fragmen dalam ceritanya adalah tentang pengalamannya mengalami kerusuhan Ambon pada saat ia berada di sana. Seperti kalimat terkenal di acara Silet, berikut ceritanya.

Pak Bat muda, seorang anak asli Desa Adodo Molu yang baru saja menyelesaikan SMEAnya di Tual, di tahun 2000 berlayar dengan kapal ke Ambon untuk mengikuti Sipenmaru (sekarang SPMB) di Universitas Pattimura. Saat itu ia datang bersama teman-teman seangkatannya, yang jumlahnya sekitar belasan. Ia bersama teman-temannya tinggal di daerah Kebun Cengkeh, yang adalah daerah muslim (Pak Bat sendiri adalah seorang Nasrani). Dari belasan anak muda yang mengadu nasibnya itu, hanya satu orang yang berhasil lolos Sipenmaru. Karena sudah kadung berada di Ambon, ia memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota dengan menyambung hidup lewat pekerjaan sebagai kuli bangunan. Saat itu kerusuhan Ambon memang masih belum berakhir, kadang rusuh kadang damai. Saat ada ribut-ribut, Pak Bat dan  rekan-rekannya cukup mengihndarkan diri dari pusat keramaian.

Di tahun 2000 akhir dan 2001 awal, keadaan Ambon semakin memanas. Acang (sebutan untuk Muslim) dan Obet (sebutan untuk Kristen) saat itu sudah berhasil mentransformasikan Ambon menjadi Kosovo atau Sarajevo dari Timur. Dari atas tempat tinggalnya di kebun cengkeh, Pak Bat  melihat ke arah pusat kota Ambon yang berada di bawah dan melihat kota sudah menyala-menyala dari atas, berasal dari bangunan-bangunan yang dibakar. Ambon saat itu sedang berada di titik didihnya.

Sesuai konsepnya, pasar biasanya adalah tempat pertemuan warga-warga masyarakat. Itupun yang terjadi saat kerusuhan, sudah menjadi hal umum orang saling potong (istilah untuk tusuk-tusukan) di pasar. Satu hari yang cerah Pak Bat mendapat kesempatan menyaksikan kekejaman itu langsung. Saat ia berada di pasar, ada satu kelompok yang menduga ada kelompok lainnya yang berada di pasar, sehingga mereka menyerang ke pasar, dan seperti tidak mau kalah dengan para pejual daging di pasar, antar kelompok itu langsung saling memenggal. Dan jatuhlah lagi beberapa mayat, menambah gelimpangan mayat yang sudah menjadi pengalaman umum di Ambon pada waktu itu. Pak Bat bercerita, saat itu tiap hari mobil-mobil sampah datang dan memuat jenazah-jenazah untuk dibuang di kejauhan.

Dari pengalaman menyaksikan penjagalan buta itu, Pak Bat lalu mencari tahu bagaimana cara melintasi jalan dengan selamat. Dari temannya, Pak Bat dan dua orang temannya mendapa pengetahuan bahwa di sebagai Obed, agar tidak diserang oleh teman sendiri mereka harus memakai ikat kepala merah yang dibuat dari kain. Di suatu waktu, saat itu Pak Bat sedang berjalan bertiga dengan teman-temannya. Saat itu salah satu teman Pak Bat tidak melilitkan ikat merah di kepalanya, hanya membebatkannya di lengan. Mereka sudah meminta temannya agar melilitkannya di kepala saja untuk memastikan ikat merah itu bisa dilihat oleh para kaum militan Obed. Saat itu mereka ingin berjalan pulang ke rumah mereka di kampung cengkeh. Kampung Cengekeh sesungguhnya adalah daerah mayoritas muslim. Tak dinyana, saat itu perang sedang terjadi di kota. Jalan lengang, tidak ada kendaraan yang melintas. Bau mayat mulai tercium, membuat nafas yang menderu karena tegang bercampur dengan bau memabukkan, membuat ketakutan berada di ubun-ubun. Saat sedang berjalan bersama, dalam kesunyian karena masing-masing sibuk dengan pikiran yang entah apa isinya, tiba-tiba teman Pak Bat yang tidak memakai ikat kepala itu langsung ‘tidur’ (ini istilah Pak Bat, yang lebih tepat adalah ambruk). Sebuah anak panah tertancap di punggungnya. Pak Bat dan temannya langsung berjalan cepat, dan sampai hari ini ia tidak tahu bagaimana nasib temannya yang terpanah itu. Di tengah kekalutan itu, sebuah truk brimob lewat, dengan sekelompok pasukan bersenjata lengkap yang mengarahkan moncong senjatanya ke semua arah. Truk tersebut mengangkut warga-warga yang tertinggal di jalan. Truk itu pun menyelamatkan Pak Bat dan temannya. Setelah tanya jawab singkat, mereka diangkut ke atas truk. Ternyata banyak orang di atas truk, yang oleh polisi akan diantar pulang ke rumah masing-masing. Karena tidak berani lagi kembali ke Kampung Cengkeh setelah melihat ajal sungguh dekat dengan diri, Pak Bat memutuskan untuk turun di salah seorang keluarganya di Karang Panjang, yang merupakan daerah Obed. Untunglah keluarganya ini, seorang hakim di pengadilan negeri, menampungnya di sana selama beberapa minggu.

Setelah beberapa minggu, warga tidak kunjung pergi kerja. Pak Bat mendekam di dalam rumah saja, mengingat sabetan parang dan anak panah masih mengisi jalanan. Malah kabarnya karena keadaan sudah semakin parah, paa tentara dan polisi juga da yang ikut-ikutan berperang antar saudara hanya karena perbedaan label agama. Senjata api dibagikan, menambah ramai kepahitan di kota Ambon manise. Satu hari kapal Pelni singgah di Ambon, dan bapak piara Pak Bat pun meminta Pak Bat untuk naik kapal itu, segera meninggalkan Ambon ke manapun itu. Si Pak Hakim ini sendiri tetap tinggal di Ambon, dengan perlindungan penuh dari polisi bersenjata yang sudah disewanya. Pak Bat pun diantar dengan mobil yang dilindungi dengan aparat sampai ke pelabuhan. Ternyata kapal di pelabuhan berlayar ke Manokwari, dan daripada menjudikan nasib di Ambon, ia memilih untuk meneruskan perjalanannya ke tanah Papua. Berada di situ selama setahun, bekerja sebagai kuli bangunan, Pak Bat mendapat kabar bahwa mamanya di kampung sakit, karena itu ia diminta pulang. Dan berangkatlah ia kembali ke Ambon, kota yang ditinggalkannya dengan penuh ketakutan. Di kapal laut menuju Ambon, Pak Bat sempat tiduran di samping sekelompok orang yang-- ia dengar--membahas tentang rencana penyerangan di Ambon. Pak Bat langsung buru-buru berdiri, namun salah satu orang yang di sampingnya tadi menghadangnya, dan bertanya asalnya dari mana. Pak Bat memberanikan diri dan langsung meninggalkan orang tadi, dan mencari penumpang lain yang kiranya sedaerah dengan dia. Untunglah orang-orang di atas kapal tadi tidak melakukan kekerasan padanya. Sampai di Ambon, keadaan sudah reda. Pak Bat lalu langsung berlayar ke Larat, lalu disambung dengan Kapal Motor ke Adodo Molu. Sampai hari ini, ia dengan tenang hidup di desa yang damai ini.

Di Ambon, saya tidak pernah bertanya tentang memori mereka terkait kerusuhan, karena entah cerita apa yang akan kita dapatkan. Saya takut luka lama yang sudah mereka pendam itu terkorek kembali. Karena itu saat berada di Ambon, saya coba saja membayangkan bagaimana keadaan saat kota indah di tepi laut ini dikoyak dengan perang buta atas nama para umat Tuhan. Kekonyolan (atau kerja oknum tertentu, entahlah) yang membuat banyak sekali nyawa terbuang percuma, hanya karena amarah atas nama agama. Saya yakin, masih banyak kepala yang punya cerita tentang halaman kelam itu. Tapi cerita dari satu saksi mata ini, setidaknya melahirkan banyak hal untuk direnungkan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua