Tnabar Ila’ah, Tarian Magis dari Molu Maru
Dedi Kusuma Wijaya 14 September 2011
Pada 17 Agustusan lalu, desaku, Wadankou, mendapat kehormatan untuk tampil pada acara 17 Agustusan di Saumlaki, membawakan tari yang bernama Tnabar Ila’ah. Mendiang bapak kadesku saat itu sangat bersemangat bercerita tentang pertemuannya dengan bupati di Saumlaki. Ceritanya dalam kunjungan perdananya (dan satu-satunya) ke Wadankou, saat itu bupati disambut warga Wadankou dengan tarian Tnabar ini. Tarian Tnabar sendiri adalah tarian khas Tanimbar, tapi bupati takjub dengan tarian yang dibawakan penduduk Wadankou, dan berkata bahwa tarian Tnabar Wadankou inilah yang paling asli, dan karena itu mereka diminta untuk menampilkan tariannya pada resepsi 17 Agustus. Bupati secara khusus mencarter speedboat terbesar di kabupaten ini untuk menjemput rombongan penari pada tanggal 15 Agustus. Jumlanya cukup besar, 67 orang laki-laki dan 4 orang perempuan.
Di Adodo Molu, desa tetangga Wadankou, warga pun tidak kalah mempersiapkan tarian ini. Jika penduduk Wadankou tampil di ibukota kabupaten, penduduk Adodo Molu (yang juga mengklaim Tnabar mereka adalah yang paling asli) mempersiapkan diri untuk tampil pada perayaan 17 Agustusan di kecamatan. Setiap hari mereka berlatih dua kali, jam 9 pagi dan jam 5 sore. Tarian pada sore hari begitu eksotis karena di ujungnya akan bertepatan dengan berlabuhnya matahari yang memang berada tepat di depan pantai Adodo Molu. Saya sering melihat latihannya, tapi tetap belum merasakan keistimewaan sejati tarian ini, sampai saya melihat penampilannya langsung tepat di hari proklamasi RI ke 66. Ditambah dengan hasil wawancara dengan Kepala Desa Adodo Molu, Nimrot Lanith, berikut cerita saya tentang Tarian Magis dari Tanah Molu Maru ini.
Sejak awal sebelum tarian dimulai, pembawa acara di speaker sudah berteriak-teriak mengingatkan agar tidak boleh ada seorang pun yang lewat di depan rombongan penari saat mereka melakukan perarakan masuk. Tarian Tnabar memang tarian yang punya nuansa magis tinggi, karena merupakan tarian yang menjadi media antara warga desa dengan para datuk, yaitu leluhur mereka yang dipercaya masih ada menjaga para warga ini. Dalam kehidupan keseharian warga desa memang komunikasi dengan para datuk sering dilakukan, terutama saat ada orang baru yang datang, ada acara penting yang akan diadakan. Komunikasi ini dinamakan Sobak atau sumpah adat, bentuknya berupa seorang pemuka adat berbicara kepada leluhur dengna bahasa Fordata, sambil memegang segelas sopi (tuak khas Molu) dan selembar uang yang dihimpitkan di bawah botol sopi. Tarian Tnabar adalah bentuk Sobak yang paling agung, dan hanya dilakukan di waktu-waktu penting saja. Karena itu sebelum memulai tarian, semua peserta Tnabar harus ‘memakai baju’ dulu, yang dalam arti lain adalah meminta kehadiran para datuk saat mereka melakukan tarian itu. Wuyy,,,,
Tarian Tnabar mirip dengan tarian kecak, ada lagu-lagu yang dinyanyikan oleh seluruh penari. Saya masih ingat dengan jelas kesan pertama saya terhadap tarian ini. Saya saat itu bersiaga dengan kamera saya di depan tribun upacara. Dari kejauhan sudah terdengar suara lagu-lagu yang terdengar seperti mantera yang nadanya sangat rancak. Semakin lama suara itu semakin mendekat, menampakkan barisan 140 orang laki-laki desa Adodo Molu yang menjadi penari. Di depan berdiri seorang yang dengan gagah memegang tombak dan pedang, berjalan sambil memainkan dua senjata itu di tangan kanan dan kiri. Keren sekali, gemulai sekaligus mematikan. Di belakangnya barisan orang-orang semakin jelas kelihatan, dan saat mereka semua masuk, sudah terbentuk formasi yang bentuknya seperti 2/3 lingkaran. Konon bentuk ini dibuat menyerupai perahu tradisional desa, Sai Lolin. Seluruh penari memakai kaus kutang, celana pendek hitam dengan selempangan tenun tanimbar dan janur yang diikat di kepala mereka. Beberapa orang terlihat lebih spesial, memakai bulu cendrawasih di kepala dan kalung emas bulan di leher merea. Tenunya juga lebih banyak daripada penari-penari ‘jelata’ lainnya. Di tengah barisan 2/3 lingkaran ini berdiri beberapa orang: 2 orang Kual (pemimpin lagu), 8 orang pemain tifa, 1 orang pemain Babal (gendang yang dianggap sebagai lonceng adat), dan 4 orang mama-mama yang menari dengan lenso di tangan. Sementara di barisan yang terpisah berdiri beberapa orang yang merupakan tetua, yaitu dewan adat dan pendeta.
Tarian Tnabar sendiri dibagi tiga, pembukaan, tengah, dan penutup. Di setiap fase akan ada lagu dan ada Foruk (semacam puisi yang dinyanyikan). Yang memimpin awalan lagu dan membacakan Foruk adalah Kual, yang membawakannya secara bergantian. Isi Foruk sendiri disesuaikan dengan acara tempat Tnabar ini dipentaskan. Seperti misalnya pada ajang 17 Agustus ini, isi foruknya berpusat pada tema kemerdekaan. Tarian di awal masih berupa pemanasan, gerakannya masih minim. Di bagian tengah tariannya semakin liar, mulai kelihatan seperti tarian perang. Tariannya memenuhi klimaks di bagian penutup, sebelum akhirnya tarian diakhiri dengan perarakan keluar. Untuk mengetahui apakah tarian sudah masuk di bagian tengah, atau akhir, di setiap awal bagian akan ada seorang penari yang disebut Farai (artinya burung) yang masuk ke tengah dan berlarian seperti burung, sambil meneriakkan beberapa kalimat.
Hal yang menarik dari Tnabar adalah nuansa magis yang ada di dalam tarian ini. Sebenarnya tarian ini juga bisa ditarikan tanpa memenuhi aturan adat, tapi yang terjadi adalah kharisma yang ada pada tarian itu akan hilang, dan hanya tampak sebagai tarian biasa. Sementara jika ingin mengikuti adat, ada beberapa hal ‘unik’ yang harus dipenuhi. Yang pertama dan tidak bisa ditawar adalah adanya aturan bahwa untuk posisi Kual harus berasal dari marga tertentu, demikian juga dengan Farai, pembawa senjata, dan pemain tifa. Jika pemainnya tidak berasal dari marga tersebut, maka tarian pasti tidak bisa berjalan dengan lancar. Apa yang terjadi seandainya anggota keluarga yang berperan sebagai Kual, misalnya, tidak ada yang bisa melakukan tugasnya? Si marga tersebut harus menunjuk orang dari marga lain, tapi mereka harus memberi beberapa barang yang sudah ditentukan adat kepada marga yang menggantikannya, sebagai biaya ganti tanggung jawab. Di Adodo Molu misalnya, Kual harus berasal dari keluarga Lanith, pemegang senjata dari marga Itranbei, Farai dari marga Laulu, dan seterusnya. Selain itu peralatan yang digunakan juga adalah barang-barang adat, mulai dari senjata, emas bulan, dan bulu cendrawasih.
Saya seperti tersihir sepanjang pertunjukan tarian ini. Mungkin karena kesakralan yang terbangun dalam tarian ini. Oh yah, bercerita tentang kesakralannya, ada cerita menarik saat tim dari Adodo Molu menampilkan tarian ini di Desa Wunlah bertahun-tahun lalu. Ada seorang anak kecil yang melintas saat penari berarakan masuk. Jadinya anak kecil itu malah terus berlari ke hutan, sampai lima hari baru dapat ditemukan.
Saya bermimpi, tarian yang indah ini satu hari bisa dikenali oleh lebih banyak lagi orang. Saya membayangkan, di pantai Adodo Molu dapat dilakukan tarian Tnabar pada saat matahari terbenam (mirip dengan Kecak by the sunset atau Angklung by the sunset), atau di Wadankou dapat dipentaskan pada saat matahari terbit, di depan tatapan banyak mata yang berdecak kagum. Kalaupun belum bisa dipenuhi, setidaknya anda sudah membacanya dan tahu tentang tarian yang megah ini, itu sudah cukup bagiku.
Saumlaki, 14 September 2011
Foto-foto bisa dilihat di http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150292937506603.337422.696616602
Video bisa dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=K5_TMurp_Wo
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda