Tidak Ada Anak Bodoh

Dedi Kusuma Wijaya 16 September 2011

Pertanyaan ‘apakah ada anak yang bodoh?’ diberikan kepada kami, para Pengajar Muda, sewaktu pretest training kami dulu. Sebelum melangkah lebih jauh, apa jawaban anda terhadap pertanyaan ini? Percayakan bahwa memang ada anak-anak yang dikatakan ‘bodoh’?

Sewaktu acara Kelompok Kerja Guru yang kami adakan beberapa waktu lalu, pertanyaan ini juga diberikan kepada guru-guru di Kecamatan Molu Maru. Dari 10 soal pretest, kami memang menekankan bahwa pertanyaan ini yang wajib dijawab. Hasilnya, sebagian besar menjawab ‘ada’. Malah ada yang jawabannya nendang banget. Ditanya apakah ada anak yang bodoh, jawabannya diberi bonus: ada dan banyak! Kebanyakan menjawab ada, karena tidak dengar-dengaran guru, malas belajar di rumah, atau kebanyakan main.

Secara teoretis, jawaban dari pertanyaan ini memang ‘tidak ada anak yang bodoh’, dengan menggunakan filosofi Multiple Intelligence Gardner. Tapi maafkanlah saya karena tidak akan membahas teori kecerdasan majemuk itu di sini, karena bahasannya pasti telah atau bisa anda dapati di pelbagai sumber. Saya ingin bercerita tentang anak yang ‘bodoh’ dan tidak di sekolah tempatku bertugas.

Pertama kali menjejakkan kaki di Molu Maru, dalam diskusi awal dengan Pak Camat beliau sudah mengatakan bahwa di kecamatan ini pada tahun ajaran sebelumnya baru-baru saja tercipta sejarah karena lebih dari 50% anak di 5 SD di kecamatan ini tidak naik kelas. Ceritanya bermula ketika Pak Camat melihat laporan kenaikan kelas, di mana hampir 100% anak naik kelas terus. Pak Camat lalu turun di sekolah-sekolah, mengecek kebenaran data itu dengan cara yang sederhana: masuk ke dalam kelas dan meminta anak-anak untuk membaca. Ternyata sampai kelas 6 pun ada anak yang hanya melongo saja saat diminta membaca. Saat itulah Pak Camat menginstruksikan semua kepala sekolah untuk tidak menaikkan dulu murid-murid yang belum bisa calistung (baca tulis hitung). Istilah yang digunakan Pak Camat, kita harus ‘memotong rantai pembodohan’ ini. Baiklah, jadi sekarang ada satu istilah bodoh. Bodoh berarti memaksa orang berada di kondisi yang sesungguhnya belum dapat dicapainya sendiri.

Saya lalu masuk ke sekolah, ditugaskan menjadi wali kelas 4. Sebagai guru yang datang dari kota, dan terbiasa menemui anak-anak kota, saya langsung dihadapkan pada anak-anak yang kalau kita tidak sabar dan banyak menahan diri, kata ‘anak-anak ini bodoh’ sudah ada di ujung benak. Saya teringat pada saat saya mengajarkan tentang denah. Agar anak-anak paham , saya sudah menggunakan strategi dengan meminta mereka menggambar kamar mereka. Pertama-tama saya memberi contoh dulu kamarku. Lalu anak-anak setelah menggambar diminta untuk maju menceritakan kamar mereka masing-masing. Pelajaran lalu dilanjutkan panjang lebar dengan meminta mereka lalu membuat denah kelas secara berkelompok. Pada akhirnya di ujung pelajaran, saya bertanya: “jadi, denah itu adalah apa anak-anak?”. Mereka langsung menjawab serentak: “kamar Pak Dedi!”  &5hM%$#@$^&??

Belajar matematika lebih menantang lagi. Saya akhirnya membuang jauh-jauh materi kelas 4, dan kembali ke materi hitung menghitung kela 1 karena sebagian besar belum lancar. Saya akhirnya mengajarkan cara mengghitung 25+14, 32-7, dan seterusnya, selama dua hari berturut-turut. Itupun ada beberapa anak yang harus saya beri pelajaran menghitung dasar secara khusus, karena mereka belum tahu cara menambah 6+4 misalnya. Anak-anak dengan penanganan khusus ini semuanya hanya tahu penjumlahan sebatas 1+1 dan 2+2 saja.

Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, saya banyak berfokus pada mengajar mereka membaca dan menulis. Ada beberapa anak yang sudah bisa membaca, tapi untuk menulis mereka masih butuh waktu sangat lama (menulis 1 paragraf bisa memakan waktu 15-20 menit sendiri), tapi beberapa sama sekali gelap tentang membaca.

Hanuk, adalah salah satu yang paling ‘spesial’. Anaknya kecil, suka tersenyum, dan selalu memasang pose malu-malu saat berdiri dan saya tanya. Permasalahannya adalah dia tidak bisa membaca, menulis, menghitung, namun pada saat saya tanya hanya tersenyum-senymu saja, tanpa bisa menjawab. Saya sampai berkali-kali bertanya: Hanuk bisa bicara ka seng? (Hanuk bisa bicara atau tidak?).

Hanya dijawab dengan senyuman dan kepala yang diputar-putar . Teman-temannya lalu berteriak-teriak: “Bapak guru, Hanuk itu bisa bicara, dia bodoh memang!”. Akhirnya saya hanya mengelus-elus kepala si Hanuk saja sambil berkata kalau setelah kelas ini kita akan belajar khusus berdua (tapi dia lupa juga, selesai kelas dia langsung berlari pulang).

Apa yang anda pikirkan ketika menghadapi anak-anak seperti ini? Mungkin pendapat anda kalau tidak ada anak yang bodoh mulai goyah.  Namun ada cerita lain yang juga membuka mata saya.

Di kelas saya ada seorang murid yang nakalnya minta ampun, namanya Elly namun sering dipanggil Muba oleh teman-temannya (singkatan dari Mubara, nama ikan yang kulitnya berwarna hitam; si Muba ini memang kulitnya hitam). Selain banyak gerak, tingkahnya di kelas juga mirip preman, tidak pernah mau mendengarkan apa yang saya sampaikan. Saat pelajaran menghitung, saya sampai garuk kepala melihat si Muba. Dia tidak bisa menghitung, mencatat pun seringkali enggan karena ia memang belum lancar menulis.

Setelah beberapa hari mempersuasi dia untuk serius belajar dan gagal, saya akhirnya menggunakan cara lain. Setiap perubahan kecil yang dilakukan olehnya selalu saya puji. Saya secara konsisten mengatakan perubahan baru apa yang terjadi pada diri Muba. Seperti misalnya jika di hari itu Muba bisa bertahan sampai akhir pelajaran (biasanya pada saat jam istirahat dia sudah langsung pulang), di depan kelas saya langsung memuji kehebatan Muba karena bisa tinggal sampai akhir kelas. Si berandal ini langsung tersipu malu dan menjadi kikuk, mirip tingkah Hanuk yang saya sebut di atas.

Esoknya, walau tetap masih ramai dan gampang memukul temannya, ia sangat serius belajar. Ia secara aktif datang ke saya dan bertanya cara melakukan penambahan bersusun. Saat pembahasan soal, Muba berkali-kali mengangkat tangan ingin menjawab. Beberapa jawabannya masih salah, tetapi ketekunannya mengerjakan soal bagi saya sudah lebih dari cukup. Muba kemudian menjadi aktif dalam kelas, jika ada yang tidak berbaris dengan baik pada saat masuk kelas ia akan berpartisipasi dalam mendisiplinkannya, walaupun dengan caranya sendiri (dengan memukul anak yang tidak berbaris dengan rapi). Melihat perubahan perilaku kecil yang dilakukan Muba, saya lalu berpikir lagi tentang anak yang ‘bodoh’. Jika sering diberi apresiasi dan dimotivasi sejak dulu, pasti ia bisa masuk kategori anak ‘pintar’.

Contoh lain adalah salah satu siswi saya yang paling bersinar, Nindy. Ia kelas 6, tapi rajin datang ke rumah saya untuk belajar bersama dengan anak-anak lain. Walau dibandingkan dengan anak kelas 6 kebanyakan di kota ia masih jauh tertinggal pengetahuannya, Nindy punya semangat dan kemampuan belajar yang tinggi. Satu hari di rumah pada saat belajar malam saya mengajarkan alfabet A-Z dalam bahasa Inggris. Saat anak-anak lain kelabakan menghafal, Nindy paling bersemangat. Akhirnya anak-anak lain sudah sibuk dengan kegiatan lainnya, hanya beberapa orang yang masih tekun menghafal aksara dalam bahasa Inggris ini. Melihat mereka begitu bersemangat, saya melanjutkan pelajaran dengan cara memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris. Sederhana sih, hanya My name is Dedi, nice to meet you. Tapi bagi anak-anak yang tidak pernah mendengarkan bahasa Inggris seumur hidupnya, lidah mereka masih terputar-putar dengan sebaris kalimat itu.

Nindy adalah salah seorang anak yang paling percaya diri mencoba kosakata baru itu. Beberapa minggu selepas pelajaran malam itu, saya sedang berada di Desa Adodo Molu dalam rangka persiapan 17-an. Si Nindy kebetulan juga datang untuk mengikuti lomba cerdas cermat. Iseng-iseng, saya meminta Nindy memperkenalkan dirinya dalam bahasa Inggris kepada Bagus, teman saya. Ternyata dia dengan percaya diri dan dengan lancar mengulangi yang saya ajarkan: Hello, my name is Nindy, nice to meet you. Wow, saya kaget mendengarnya!

Pada akhirnya, saya kembali ke pertanyaan di awal. Apakah ada anak yang bodoh? Saya mengutip sebuah tweet dari Pak Anies Baswedan beberapa jam lalu: “Kristian 2 thn lalu dibawa dari Wamena Jayawijaya tak bs matematika. Kini raih perunggu olimpiade math. Tak ada anak yang bodoh! “

Saya percaya, anak-anak saya yang tidak bisa baca tulis hitung dengan benar ini bukan dikutuk berkubang dalam kolam kebodohan karena dilahirkan di Molu Maru. Mereka hanya belum meraih tangan-tangan tepat yang bisa menggandeng mereka untuk berjalan selangkah demi selangkah ke gerbang pengetahuan, ke pintu keluar dari pembodohan. Dan adalah tugas kita semua, dengan cara sedekat atau sejauh apapun, sebesar atau sekecilpun, untuk menjadi tangan-tangan itu.

Saumlaki, 16 September 2011

14:11


Cerita Lainnya

Lihat Semua