Kami Guru-Guru Yang Penuh Semangat

Dedi Kusuma Wijaya 16 September 2011

 

 

Cerita ini ditulis di tengah-tengah pelaksanaan Kelompok Kerja Guru dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran sekecamata Molu Maru. Acara ini sesungguhnya adalah acara rutin guru-guru sekecamatan, yang tujuannya macam-macam, mulai dari menyusun KTSP, melakukan pengembangan kompetensi guru, dan sebagainya. Satu hari Pak Camat berdiskusi denganku, menyatakan niatnya untuk mengadakan KKG (untuk SD) dn MGMP (untuk SMP) sekecamatan Molu Maru. Sebagai kecamatan yang baru mekar, belum pernah diadakan KKG dan MGMP sebelumnya. Sebelum menjadi kecamatan sendiri, Molu Maru berada di bawah kecamatan Wuar Labobar, yang letaknya sangat jauh dari Molu Maru. Karena letaknya yang jauh itu, dari semua guru di Molu Maru hanya ada dua guru SD dan lima guru SMP yang pernah mengikuti kegiatan KKG sebelumnya. Itupun kegiatan KKG yang dulu, yang seharusnya menghasilkan output dokumen KTSP, tidak membuahkan hasil karena walaupun telah menyetorkan dana administrasi, hasil  dokumennya tidak pernah diterima guru-guru di SD.  Menghadapi rencana KKG MGMP di Molu Maru ini, Pak Camat menyerahkan pengelolaannya kepada saya dan kepala sekolah saya, Pak Lassa. Biasanya acara seperti ini mendatangkan pembicara dari kabupaten, tapi karena jarak yang jauh dan transportasi yang terbatas keinginan ini tidak bisa terwujud. Akhirnya berjalanlah kami dengan sumber daya yang terbatas ini, untuk mengadakan KKG MGMP pertama kalinya. Dan di tengah-tengah berjalannya acara inilah cerita saya berikut ini mengambil temat

Malam ini, saya pulang dari rumah Pak Camat, setelah selesai berdiskusi untuk mengerjakan kegiatan KKG keesokan harinya. Di rumah, saya kaget melihat guru-guru masih berdiskusi tentang pembuatan program semester dan indikator, materi yang kami berikan di Kelompok Kerja Guru. Pak Teddy, guru muda yang penuh semangat dari Tutunametal sedang berbicara dengan Pak Kabungsina, bapak guru Wulmasa yang penuh senyum, namun sekaligus memegang peran penting sebagai tetua adat di desanya. Di lantai, Pak Adam, guru SD Adodo Molu yang rumahnya berada di rumah samping rumah tempat tinggalku sudah tidur. Ada tiga guru lainnya juga sudah tertidur, mungkin kelelahan setelah kegiatan seharian yang dilanjutkan dengan diskusi.

Sejak awal kegiatan KKG, kami memang diliputi banyak keraguan. Yang pertama tentunya apakah kami mampu menyelenggarakan KKG, mengingat kami hanyalah muka-muka baru di dunia pendidikan, baru empat bulan menekuni dunia ini. Modal kami hanyalah materi-materi yang diberikan Indonesia Mengajar dan para donatur-donatur lainnya. Sebelum KKG saya yang buta sama sekali tentang apa itu KKG berkonsultasi dengan Pak Lassa, kepala sekolah saya di SD Wadankou dan sekaligus guru paling senior dan berpengalaman se Molu Maru. Ternyata hasilnya di luar dugaan. Para guru yang mungkin datang dengan bayangan akan mendapatkan materi ala penataran, ternyata menyambut baik materi kami yang banyak dipimpin oleh permainan. Memang terasa sekali kalau mereka belum terbiasa dengan materi  yang dua arah, sehnigga pertama saat diajak bermain masih ragu-ragu. Saat diajak berdiskusi pun, hampir tidak ada yang mau menjawab, hanya satu dua saja yang aktif. Tapi sungguh, saat memberikan materi saya bisa meraskan bahwa perhatian mereka memang tertuju kepadaku yang sedang berada di depan. Dari 49 orang yang datang, yang pernah mengikuti acara KKG hanya empat orang saja.  Yang lainnya masih buta sama sekali tentang apa itu KTSP dan embel-embelnya, namun mata-mata mereka sungguh menunjukkan keseriusan untuk memahami.

Setelah awalnya pasif dan tidak menjawab, lama kelamaan mereka berusaha menjawab. Mulai ada ynag bertanya. Mulai muncul sosok-sosok yang begitu bersemangat. Saya begitu berkesan dengan Pak Teddy yang saya sebutkan di awal, guru muda dari Tutunametal. Modelnya seperti anak muda kebanyakan di Molu Maru ini, rambutnya dipotong seperti penyanyi rock, dandanan kasualnya adalah baju kaos dengan celana kearmy-armyan dan kalung salib besar yang menggelayut di dadanya. Ia bukan peserta terpintar, kadang hasil diskusi yang dipresentasikannya tidak sesuai dengan yang diajarkan. Tapi ia sungguh punya passion sebagai guru, dan berusaha sebisanya menyerap apa yang kami berikan. Tadi siang adalah giliran kelasnya, kelas 6 untuk melakukan pengajaran. Ia melakukan hal-hal yang jarang dilakukan guru-guru, bahkan di kota pun. Ia memperlakukan para muridnya dengan ramah, kemudian di awal ia mengajak murid memeragakan hewan tertentu. Ia juga mengajak siswa berdiskusi, memberi apresiasi, bahakan di akhir juga melakukan evaluasi dengan bertanya kepada siswa tentang apa yang baru saja dipelajari. Saya sungguh ingin menjabatnya begitu erat, mengatakan bahwa andalah guru yang dibutuhkan di kecamatan ini.

Pak Nus Wuarlela, adalah sosok menonjol lainnya. Ia adalah guru yang tergolong senior, tapi sederhana dalam berpikir dan bersikap. Ia selalu datang paling awal, saat tidak ada yang mau memimpin ia mau mengambil inisiatif, dan selalu aktif memberikan usul walau memang terkadang masih di luar konteksnya. Kalau Pak Teddy penuh semangat, Pak Nus adalah a servant leader. Ia tidak banyak bicara, tapi banyak menawarkan bantuan dalam training. Di luar mereka berdua, secara umum guru-guru di kecamatan yang saking jauhnya enggan disinggahi orang Dinas –yang membuat tidak ada penatar dan kami yang memberikan materi- ini begitu penuh dengan hasrat untuk maju. Kemarin malam, Pak Husin dan guru-guru Tutunametal lainnya bekerja membuat indikator sampai larut malam di sebuah rumah, yang juga cukup berpelita saja.

 Di acara KKG ini, banyak sejarah tercipta. Jangan membayangkan sejarah adalah hal-hal besar. Mengadakan KKG, sudah merupakan sejarah bagi guru-guru ini. Pengalaman belajar sesuatu yang baru, pengalaman membuat silabus dan RPP (walau masih penuh dengan kekurangan) juga adalah sejarah bagi mereka. Namun salah satu hal paling istimewa dari karya guru-guru ini  adalah dibuatnya silabus Muatan Lokal Budaya Daerah Molu Maru. Bapak Kabungsina, si tetua adat dari Wulmasa mengambil tanggung jawab untuk membuat silabus dari budaya Molu Maru. Beserta beberapa bapak lainnya mereka menyusun silabus yang sangat orisinil ini.

Saya ingat ibuku yang bekerja di sebuah sekolah sering bercerita, kalau pelatihan-pelatihan yang diadakan dinas pendidikan seringkali berjalan apa adanya saja, menghabiskan anggaran dan guru-guru tidak semangat mengikutinya dan hanya mengikuti dengan tujuan formalitas, mendapatkan sertifikat yang akan berguna pada saat sertifikasi. Hal itu tertepiskan sejenak pada KKG yang saya adakan ini. Dana sama sekali tidak ada, KKG diadakan dengan dana gotong royong dari camat dan sekolah-sekolah. Untuk pelaksanaannya pun saya menggunakan bahan seadanya. Tidak ada flipchart, jadi saya menggunakan meja yang disusun menjadi dua. Tidak ada kertas plano, sehingga hasil diskusi ditulis di belakang kertas bekas ujian, dan ditempel di permukaan tripleks-tripleks bekas. Saya menggunakan krayon pribadi saya, dan hanya mengeluarkan modal sekotak spidol papan tulis. Genset kecamatan digunakan untuk menghidupkan listrik, infocus, printer, dan handycam pribadi Pak Camat dipakai melengkapi acara ini. Guru-guru menginap di Adodo Molu umpel-umpelan di rumah keluarga, makanan dimasak bersama oleh ibu Camat dan ibu-ibu PKK lainnya.  

Satu hal yang menarik,  ternyata justru dengan modal pas-pasan ini kebersamaan terjalin, setiap peserta melihat acara ini bukan formalitas belaka, tapi adalah acara yang dimiliki oleh mereka sendiri.  Di satu hari saya mengumumkan bahwa  listrik tidak jalan karena genset kehabisan minyak, sehingga mohon guru-guru memahami kalau kita tidak dapat menggunakan infocus hari itu. Sontak para kepala sekolah berkumpul dan patungan membeli bensin untuk menyalakan listrik di kelas. Saya sudah berkata kalau itu tidak diperlukan, namun guru-guru mengatakan satu hal yang sangat menyentuh: “ah tidak apa-apa, ini tanggung jawab kita bersama”.  Hal-hal itu sungguh mengisi hatiku. Saya merasa kelelahan dan kepenatan menyiapkan KKG bisa terbayar dengan semangat tinggi. Kalau Pak Anies Baswedan pernah bilang bahwa sebanyak apapun kita mengurusi masalah pendidikan, toh ujung-ujungnya guru yang berada di depan kelas, maka saya juga percaya dengan guru-guru yang ingin melangkah maju seperti ini, ujung-ujungnya Molu Maru yang terpencil ini pasti akan bisa merangkak keluar dari keterpencilannya dan menjadi kecamatan yang menumbuhkan benih-benih kecerdasan.Amin.

 

Adodo Molu, 25 Agustus 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua