Dokter (gadungan) Dedi K.W

Dedi Kusuma Wijaya 16 September 2011

Selamat pagi/siang/malam pembaca. Bagi yang belum pernah mengenal saya, silakan lihat dulu foto saya baik-baik. Saya beri anda waktu untuk melihatnya. Sudah? Baiklah, kita mulai saja.

Rekan-rekan, kami dari Indonesia Mengajar punya rompi berwarna hitam yang selalu dipakai di setiap waktu. Itu menjadi seragam dinas kami, yang dipakai mulai dari bertemu bupati sampai saat di atas motor laut yang bergoyang-goyang membuat rompi hitam itu basah kuyup. Teman-teman suka memakai rompi itu karena kantongnya banyak. Ada juga yang karena rompi itu kelihatan keren. Kalau saya, saya senang memakainya karena satu hal: di rompi itu tertulis jelas di bagian belakangnya, Indonesia Mengajar. Jadi jelas ketahuan bahwa saya ini dari sesuatu yang bernama indonesia Mengajar, karena tanpa itu, ke manapun saya berjalan di sudut kabupaten ini, tidak lain dan tidak bukan saya selalu diidentifikasi sebagai dokter.

Pengalaman pertama saya adalah sewaktu saya menemani teman saya, Bagus, yang dirawat di rumah sakit selama seminggu di Saumlaki. Di RSUD Saumlaki, sembari menunggu saya biasanya duduk-duduk di luar kamar, sambil menelepon atau membaca buku. Selama beberapa hari saya sempat merasa sangat bangga dengan keramahan orang-orang Tanimbar ini. Saya yang hanya berpakaian kaos dan celana training selalu disapa para tamu pasien yang datang. Saat malam saya sedang duduk di emperan, orang-orang yang lewat selalu menundukkan kepala dan tersenyum. Saat saya baru datang di pagi hari, hal itu juga terjadi. Luar biasa, apakah orang-orang Tanimbar memang super ramah atau semua orang sudah tahu tentang Indonesia Mengajar dan kemudian menganggap kami sebagai teman baru dan senantiasa menyapa? Nah, pertanyaan penuh kebanggaan itu terjawab ketika suatu waktu ada seorang pemuda yang lewat dan (lagi-lagi) menundukkan kepala sambil berkata: “siang, pak dokter”.  Heh, pak dokter? Ouww,,,akhirnya saya tahu penyebab keramahan orang-orang itu, ternyata tampang saya sangat kedokter-dokteran rupanya!

Setelah pengenalan akan penampilan saya yang kedokter-dokteran ini, pengalaman-pengalaman baru menyusul. Suatu waktu saya hanya ingin menanyakan kenapa hasil tes darah Bagus belum kunjung didapatkan. Datanglah saya ke ruang apotik di depan, dan hanya berkata: “bung, mau tanya hasil tes darahnya Pak Bagus di Ruang Matakus kok belum ada yah?”. Si petugas yang ada di sana langsung dengan sigap berkata, “ouw, ia tadi suster yang bertanggung jawab belum datang, nanti akan saya tanyakan yah dok”. Aha, dok lagi dok lagi! (moga-moga dok yah, bukan dog maksudnya).

Saya sudah sempat ingin memanfaatkan naiknya derajat saya menjadi seorang dokter ini, dengan berlagak sebagai dokter betulan, tapi saya takut saja tiba-tiba saya akan diminta untuk melakukan Pertolongan Pertama mendadak. Namun walau saya berusaha untuk tidak kelihatan sebagai seorang dokter (walau saya juga tidak tahu tindak tanduk seorang dokter seperti apa), tetap saja saya selalu diidentifikasi sebagai dokter, di berbagai tempat dan kondisi, yang akan saya sebutkan beberapa di antaranya berikut ini.

Saat saya sedang gunting rambut, si penggunting rambut yang melambai itu (entah harus dipanggil mas atau mbak) dengan suara sedikit centil coba membangun percakapan denganku. Jadi tugasnya di mana nih? (wow, kok langsung tahu yah bahwa kami ini guru yang ditugaskan di tempat terpencil). Saya menjawab saja di Molu Maru. Dia bertanya itu di mana, bla bla bla. Lalu bertanya lagi asal saya dari mana. Sampai dia kemudian bilang, ini dokter dari kampus apa? Grrrr.....

Saya kebetulan sedang mengendarai motor dan melintasi pelabuhan ferry Saumlaki. Ternyata ferry sedang merapat waktu itu, sehingga saya iseng-iseng ingin masuk dan melihat apakah ada kenalan saya yang turun dari ferry, sehingga bisa saya antar dengan motor pinjaman ini. Sampai di gerbang, para tukang ojek dan penjemput lainnya diberhentikan, diminta untuk membayar ongkos masuk. Saat giliran saya, saya yang tiba-tiba menjadi sedikit pelit (gak tahu deh, ini termasuk karakter dokter atau tidak) berkata: “Pak, beta Cuma sebentar sa, mau liat teman”. Si petugas langsung menjawab: “Oh, dokter yah? Mari masuk silakan!”. Saya: “terima kasih pak”. Baiklah, ini mulai menyenangkan.

Satu waktu saya dengan Matilda singgah ke dermaga untuk bertanya jadwal keberangkatan speedboat ke Kota Larat. Dari atas dermaga, kami berteriak-teriak kepada sopir speedboat yang berada di dalam kapalnya. Setelah bertanya-tanya kapan waktu keberangkatan, si sopir ini meminta nomor teleponku untuk kemudian bisa dihubungi saat akan berangkat. Saya pun lalu menyebutkan nomorku, lalu dilanjutkan dengan memberitahukan bahwa nama saya Dedi. Si bapak lalu menjawab sambil memencet-mencet ponselnya: “baik, saya simpan yah, pak dokter dedi yah”. Sebagai guru, saya tidak mau dong profesi pahlawan dengan tanda jasa ini ditindih profesi dokter. Langsung saya balas: “ouw tidak pak, pak guru dedi saya!”.

Di kota Saumlaki, tanpa berbicara pun, saya sudah bisa merasakan bahwa saat saya berjalan, orang-orang selalu memperhatikanku dan tanpa suara saya seakan bisa membaca bahasa kalbu mereka. Kira-kira jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bahasa hati yang tak tertutur itu seperti ini: : “wah, ini ada bapak dokter baru yang ganteng nih”.

Nah, ternyata bukan hanya di Saumlaki, di desa terpencil pun aura kedokteran saya tidak bisa hilang. Di desa Adodo Molu, saat nginap di rumah Bagus, banyak anak-anak yang datang bermain di rumah. Sebagai guru yang mencintai anak-anak, saya pun turut bermain dengan mereka. Tiba-tiba salah seorang anak lalu berkata: “pak dokter, coba lihat dulu ini...(atau apa yah, saya lupa detail kalimatnya tapi yang jelas dia memanggil saya dokter lagi)”. Heh, anak-anak ini bisa tahu dari mana, pastilah orang-orang desa sudah bergosip di belakangku dan memberitahukan kepada anaknya bahwa saya ini adalah dokter. Saya bingung juga, karena di Adodo Molu selama ini baru pernah ada satu orang dokter PTT yang datang, itupun dokter ini orang Batak dan potongannya sama sekali berbeda dengan saya ini. Akhirnya saya manfaatkan sekalian saja pengetahuan si anak bahwa saya adalah seorang dokter. Saya langsung bilang: “ayo, sini semua pak dokter suntik!”. Mereka langsung berlarian. Ouw, saya jadi lebih bersemangat. Setiap kali mereka datang lagi, saya mengeluarkan kotak obat milik Bagus dan pura-pura mengeluarkan kasa steril sambil bilang: “ayo, kita pakai ini dulu biar disuntik tidak sakit...”. Dan mereka berlarian lagi, datang lagi, mau disuntik lari lagi, datang lagi, sampai saya capek dan lalu meluruskan bahwa saya adalah seorang guru.

Saya jadi bingung, apa sebenarnya yang membuat saya selalu dikenali sebagai seorang dokter. Apa karena wajah saya yang oriental ini? Tapi banyak kok, anak-anak pedagang yang tokonya berderet di jalan utama Saumlaki. Kenapa mereka tidak berasumsi bahwa saya mungkin adalah kokoh-kokoh penjual HP, atau anak toko listrik atau pemilik toko bangunan? Mungkin karena saya memang tidak punya jiwa dagang, dan itu terpancar keluar sehingga saya dilihat sebagai dokter kali yah. Atau mungkin karena para anak pengusaha biasanya jarang ditemui di tempat-tempat tidak biasanya: dermaga, pelabuhan ferry, jalan-jalan kaki di pinggir jalan, di desa-desa terpencil. Dan wajah oriental di tempat-tempat tidak biasanya itu mungkin biasanya adalah dokter kali yah...

Satu refleksi (ini tidak serius-serius amat refleksinya) yang saya temui dari pengalaman ini adalah, kalau Pak Anies Baswedan sering berkata bahwa pendidikan adalah elevator sosial ekonomi, rasanya pendidikan dokter adalah elevator ekspress sosial (gak tau deh kalau ekonomi), karena sebagai orang yang selalu diperlakukan sebagai dokter selama di sini, saya merasa perlakuan orang-orang begitu hormatnya kepada saya.

Eh, tapi jangan salah lho, selain dokter guru juga begitu mendapat penghormatan, terutama bagi masyarakat desa. Dalam budaya masyarakat, seorang guru harus dihormati, dan diberi kelas yang lebih terhormat dalam strata masyarakat desa.

Yaah, begitulah sedikit cerita dari guru yang berwajah dokter ini. Hehe. Semoga bisa menambah keceriaan anda di pagi/siang/sore/malam ini. Selamat!

Saumlaki, 17 September 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua