info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Saya Akan Merindukan Ini

Dedi Kusuma Wijaya 5 Juli 2012

Saat saya menulis tulisan ini, saya sedang duduk di ruang guru sekolah tempatku mengajar, dua minggu sebelum saya harus kembali ke Jakarta dan meninggalkan kampung yang dulunya tidak akan pernah terbayang olehku ini. Matahari sudah mulai tenggelam, tampak dari pemandangan di luar jendela kantor yang berdebu karena tidak pernah dibersihkan. Pohon pisang dn kelapa bergoyang pelan ditiup angin timur yang sedang berhembus kencang di tepi pantai. Di luar pintu, di lapangan kecil sekolah kami, anak-anak sedang bermain sepakbola, perempuan dan laki-laki. Ruben berjoget karena berhasil mencetak gol, Tesi berteriak-teriak meminta bola.

Anak-anak lain berkejar-kejaran masuk dan keluar kelas yang semua kuncinya sudah rusak, sementara di depanku, Lince dan Engge sedang mengacak-ngacak mejaku membaca hasil tugas mereka. Dan sebelum saya memulai paragraf kedua, Nining sudah masuk melaporkan bahwa Balawur telah membuat Welmince menangis. Bulan depan, tahun depan, dan di waktu-waktu yang akan datang, saya akan merindukan hari-hari seperti ini, pemandangan biasa yang kutemui sehari-hari.

Berada selama setahun di kampung ini, bukanlah hal yang sepenuhnya manis. Tanpa sinyal telepon, saya pernah dua bulan tidak mengetahui kabar apapun dari luar kampung ini. Tidak ada tempat untuk bertanya hal-hal tentang pengajaran, tidak ada jalur untuk berkeluh kesah akan kepenatan menghadapi anak-anak yang hiperantusias, apalagi ditambah dengan keberadaanku sebagai guru sehingga harus menjaga wibawa sebijaksana mungkin. Susahnya makanan, listrik, dan transportasi juga menambah warna perjalananku di sini. Tapi saya yakin, pasti banyak sekali hal biasa yang akan saya rindukan kelak.

Saya akan merindukan perasaan kelabakan menghadapi sekolah yang hanya saya sendiri guru yang ada di dalamnya. Emosi harus kutahan sehebat mungkin, karena anak-anak terus menerus berlari keluar dari kelas mereka. Saat masuk di kelas 1, saya selalu hampir kehabisan ide karena mereka sangat ramai dan hampir tidak mau mengikuti aktivitas apapun yang saya minta. Belum lagi setiap berpindah ke kelas lain, otakku harus diputar dengan kencang untuk memutuskan apa yang akan saya ajarkan di kelas tersebut. Perasaan ini susah dilukiskan, seluruh energi mental seperti terkuras bahkan sampai tidak tersisa lagi ruang untuk mengeluhkan keadaan yang dihadapi saat itu.

Saya akan merindukan sensasi mengajar dan harus geleng-geleng kepala karena anak-anak tidak kunjung mengerti. Saya pernah mengajar di kelas V tentang organisasi, menjelaskan sejam lebih tentang organisasi beserta contoh-contohnya. Saya menjelaskan bahwa organisasi adalah kumpulan orang yang mempunyai tujuan dan struktur organisasi. Saya pun memberi tugas mereka membuat organisasi sendiri beserta logo dan tujuannya. Haislnya, mereka membuat gambar bintang-bintang dengan nama organisasi bintang-bintang bersatu dan tujuannya untuk tempat berkumpulnya bintang-bintang! Yang belum tahu rasanya ‘cegek’ seperti ini, harus mencoba sendiri. Rasanya seperti seluruh bangunan yang dibuat runtuh dalam satu hembusan angin.

Saya akan merindukan sensasi saat tiba di Larat, kota yang paling dekat dengan kampungku. Setelah lama tidak memegang ponsel, selalu muncul rasa kikuk saat membaca SMS yang masuk. Rasanya sangat aneh, ada komunikasi tanpa melihat orangnya secara langsung, sesuatu yang selalu terjadi di desa. Saya juga sangat menikmati rasa terkejut akan berita-berita baru yang saya lewatkan, akan teman yang ternyata sudah menikah sampai ke keterkejutan saya akan sudah tewasnya Khadaffi dan Osama Bin Laden, yang di kota pasti sudah dibicarakan semua orang. Rasanya perasaan seperti itu akan sulit kutemui saat kembali ke kota nanti.

Saya akan merindukan jurnal pagi di kelas IV. Sesi di mana saya memberikan pertanyaan kepada anak-anak tentang pemikiran mereka sendiri ini selalu menghasilkan sesuatu yang baru. Tadi pagi misalnya, pertanyaanku adalah ‘seandainya kau sudah dewasa, apa yang akan kau lakukan?’. Nining menjawab, dia mau bekerja di hotel untuk membahagiakan orang tuanya, dengan nada pelan dan tulus. Saya hampir meneteskan air mata, untuk kali kesekian di sesi ini. Di jurnal pagi saya juga menemukan bahwa sedikit atau banyak, saya berhasil mengajarkan kejujuran kepada mereka. Seiring dengan seringnya bercerita, anak-anak bisa bercerita tentang permasalahannya di rumah, tentang kebohongan yang pernah mereka lakukan, tentang hal-hal yang sebelumnya mereka sembunyikan. Saya akan sangat merindukan teriakan anak-anak yang mengingatkan saya untuk memulai jurnal pagi.

Saya akan merindukan saat-saat berdiri dan mengajar di depan kelas. Saat saya mengajak diskusi dan menjanjikan akan memberikan kredit bintang kepada yang bisa menjawab, maka mereka akan berebutan menjawab. Ada yang asal angkat tangan saja, dan saat ditanya malah tidak tahu atau tidak berani menjawab. Ada yang tidak tahu menjawab tapi hanya berteriak-teriak, ‘angkat bet bintang, angkat bet bintang!’ (berikan bintang untukku). Kadang beberapa anak, biasanya dimulai oleh Bertha mulai nyeletuk yang ngawur dan seisi kelas mulai tertawa. Saya biasanya tertawa juga bersama mereka, dan dari depan kelas pemandangannya sungguh menyenangkan, melihat dari kiri ke kanan, depan ke belakang, semuanya tertawa. Itu adalah detik-detik yang sungguh ingin kubekukan, seandainya bisa.

Saya akan merindukan saat-saat setelah saya kembali dari Saumlaki atau Larat. Biasanya saya pergi sekitar 1-3 minggu, karena sulitnya transportasi. Saat motor laut sudah mendekat, saya tak akan pernah lupa pemandangan ajaib ini. Dari kejauhan, telah terlihat samar-samar pulhan anak-anak yang melompat-lompat dengan tangan di atas. Setleah motor semakin dekat, saya akan semakin jelas mendengar suara mereka berteriak-teriak, ‘Pak Dedi, Pak Dedi, Pak Dedi!’. Saat saya turun, mereka akan berhamburan berlari menyusuri pasir pantai menuju tempat motor laut berlabuh. Setelah sampai mereka akan berebutan memegang tanganku, menatapku dengan perasaan bahagia. Sepanjang perjalanan dari tepi pantai sampai ke rumah, anak-anak akan berkerumun, menyapaku dengan senyumanyna yang paling manis. Seumur hidup, dan entah apakah bisa kualami lagi hal seperti ini, saya tidak pernah merasa begitu dicintai dengan tulus oleh begitu banyak orang.

Anak-anak tak sepenuhnya menyenangkan, tapi justru itu yang membuat mereka begitu kelihatan jujur. Saat saya mengajar mereka cara mengobati luka, dan mempercayakan beberapa anak untuk mengobati luka, maka dalam sekejap plester obatku ynag kubeli dalam jumlah banyak akan habis diambil oleh anak-anak. Buku-buku yang kubawa dilahap dengan sangat antusias oleh mereka sampai beberapa sobek dan kardusnya rusak bolak-balik. Monopoli dan permainan-permainan yang kubawa, karena dipindahtangankan ke puluhan tangan, maka dalam waktu singkat sudah hilang. Mereka merusakkan krayon, mengempeskan bola, menghabiskan cat warna dengan boros, kadang tidak bisa mengikuti arahanku bahkan setelah saya berteriak-teriak, dan sering membuatku harus sungguh-sungguh marah. Tapi setiap kali saya pergi meninggalkan desa, dalam hitungan hari saya sudah merindukan lagi kericuhan yang mereka buat.

Saya akan merindukan bekerja superkeras dengan staff-staff kecamatan Molu Maru yang luar biasa. Di desa terpencil yang sangat jarang dikunjungi oleh pemerintah kabupaten, bapak camat dan staffnya biasa bekerja ekstra, bahkan sampai larut malam dan hari libur, dan sering melibatkanku, terutama untuk hal-hal yang berbau pendidikan. Saya menyaksikan staff-staff yang belajar mengoperasikan laptop dari nol dan sekarang sudah lancar, melihat pengemudi speedboat yang merangkap tukang masak, teknisi, staff administrasi, dan asisten camat. Bekerja dengan mereka membuat saya malu kalau selama ini memandang sebelah mata para PNS, apalagi yang bekerja di kantor kecamatan. Mereka layak menjadi contoh kasus dari pelatihan-pelatihan keorganisasian di kota-kota besar.

Akhirnya, saya ingat betul dengan yang dikatakan Pak Anies Baswedan, bahwa setelah setahun, kami akan menanamkan akar yang begitu kuat di desa tempat kami hidup, membuat kami akan selalu punya rumah kedua, keluarga kedua di Nusantara ini. Dan hal itu begitu tergenapi, paling tidak untukku. Saya begitu mencintai setiap hal baru yang kutemui di sini, dan mensyukuri setiap detik yang Tuhan ijinkan kualami di setahun petualanganku yang luar biasa ini.

Wadankou, 11 Juni 2012 


Cerita Lainnya

Lihat Semua