Petulangan Bertha (3): Berdansa Dengan Huruf

Dedi Kusuma Wijaya 12 Juli 2012

Saya tidak pernah punya pengalaman dengan disleksia. Kalau saya mengatakan Bertha tergolong disleksia, saya bisa saja didebat oleh orang-orang yang ingin bertanya dan mencocokkan gejala yang saya temukan dengan kriteria kedisleksiaan seseorang. Saya juga tidak pasti bahwa saya mungkin bisa mengenalkan huruf kepada Bertha. Tapi yang saya tahu, anak saya ini kurang berjodoh dengan huruf (dan juga angka), dan merasa dihantui dengan itu dalam tahun-tahun hidupnya. Dan saya dengan segala keterbatasan (waktu, kemampuan, dll) berkeinginan membebaskannya dari mamon itu.

Di tulisan terakhir tentang Petualangan Bertha ini, saya ingin berusaha menjelaskan bagaimana usahaku selama di Saumlaki untuk mengenalkannya dengan huruf. Langkah pertama yang kulakukan adalah membeli sebuah buku tulis bersampul Irfan Bachdim, poster alfabet dan spidol berwarna. Saya membuat flashcard bertuliskan huruf dari A-Z.  Flashcard untuk Bertha sebenarnya sudah ada, namun karena ketinggalan di kampung jadi harus kubuat lagi yang baru.

Mengajarkan Bertha mengenal huruf tidak mudah. Kabel yang menghubungkan pengenalan bentuk suatu huruf dengan bunyinya seperti putus. Saat kita menjelaskan bahwa huruf ‘X’ itu seperti angka kali, ia tetap tidak dapat mengasosiasikannya. Yang ia ingat adalah ‘kali’, bukannya ‘X’. Saat diminta menyebutkan huruf, malah ia menghafal huruf ‘X’ sebagai ‘ka’ (karena memotong dari kata kali). Ini menyebabkan saya yang memang jam terbang sebagai guru tidak banyak harus berjungkir balik untuk mencari cara mengajarkan huruf kepadanya.

Akhirnya setiap huruf terpaksa dilakukan pendekatan berbeda. Saya mencoba metode cantelan, artinya mencari suatu bentuk yang mirip dengan huruf tersebut dan bentuknya ini dapat dihafal oleh Bertha, sehingga setiap kali ia melihat huruf, ia langsung terhubung dengan bentuk yang sudah dihafal itu dan dari bentuk yang dihafal itu ia dapat mengingat hurufnya. Saat dijelaskan sepertinya sangat rumit yah. Contoh paling gampangnya adalah huruf ‘A’. Saya bertanya kepada Bertha, bentuk huruf ‘A’ ini menyerupai gambar apa. Ia menjawab bahwa huruf ‘A’ ini mirip rumah, karena itu saya meminta di mengingat huruf ‘A’ sebagai atap. Sehingga setiap kali melihat huruf ‘A’, Bertha mengingat atap dan langsung membunyikan huruf ‘a’, sebagai bunyi awal dari atap. Ini kelihatannya mudah untuk huruf A, huruf B dan C juga bisa diasosiasikan dengan ‘Bola’ dan ‘Cacing’. Kesulitan mulai muncul ketika menghafal huruf ‘M’. Saya bertanya, bentuk huruf ‘M’ ini menyerupai benda apa, oleh Bertha dijawab menyerupai ikan. Karena itu saya meminta dia mengingat-ingat bahwa bentuk ‘M’ ini adalah Mubara, sebuah nama ikan yang banyak ditemui di desa. Setelah mencantelkan ini dalam pikirannya, terjadi kesalahan. Bertha terus menerus mengingat huruf ‘M’ dengan sebutan ‘mu’, bukan ‘em’ seperti seharusnya. Sebabnya karena ia mengingat ‘Mubara’, dan hanya mengingat suku kata depannya saja. Saya langsung menghela napas dan mencoba mencari jalan lagi bagaimana agar huruf ‘M’ ini bisa tercantelkan. Akhirnya saya mengatur ulang cantelannya. Kali ini ketika melihat huruf ‘M’ Bertha akan mengingat Mubara masuk di dalam Ember. Jadi yang dia ingat adalah Ember, sehingga suku kata awalnya menjadi ‘em’, dan akhirnya kata ‘M’ pun dapat diingat!

Selama di Saumlaki, sehari paling tidak dua – tiga jam Bertha belajar membaca. Di luar itu biasanya dia kubawa pergi berjalan-jalan, ikut bersamaku ke Dinas Pendidikan, atau dihabiskannya dengan bermain kejar-kejaran dengan anak dari Pak Camat (saya tinggal di rumah Pak Camat selama tinggal di Saumlaki). Bertha juga menikmati sensasi menonton televisi tanpa dibatasi waktu dan tanpa berdesak-desakan. Maklumlah, di kampung waktu menonton tv paling dari jam 7 – 10 saja, itupun karena hanya beberapa rumah saja yang mempunyai tv, kita harus bersusah payah dalam menonton, kadang harus sambil menjinjit. Di sela-sela waktunya inilah saya mengaadakan sesi belajar membaca, itupun tidak bisa lama-lama karena setelah 30 menit konsentrasi anak ini biasanya sudah menurun.

Jika ada yang menyaksikan saya mengajar huruf pada Bertha, kelihatannya seperti orang yang sok heboh sendiri. Setiap huruf punya cantelan yang beda-beda, beberapa malah memakai gaya. Seperti huruf ‘Y’, Bertha saya minta mengingat ketapel (saya harus mencari cantelan yang akrab dengan kesehariannya), dan ketapel ini dipakai untuk melontarkan batu dan melesetm engenai muka orang lain. Saya memeragakan bagaimana batu terkena di muka orang yang lalu berteriak keras: “Yeee!” (ucapan Yee ini memang biasanya diucapkan oleh orang di desa). Sebegitu sulitnya hanya untuk membuat Bertha menghafal huruf ‘Y’, membuatku harus bergoyang-goyang layaknya badut. Belum lagi huruf ‘F’. Setelah mencoba berbagai cantelan, satu-satunya yang bisa diingat Bertha adalah ‘Naf’. Naf adalah nama seorang bapak pemerintah desa yang cukup terkenal di desa. Bertha bisa mengingat huruf F dengan mengingat Naf. Akhirnya saya harus mencampurkan gambaran Bapak Naf dengan huruf ‘F’. Saya lalu berdiri, memeragakan ekspresi bapak Naf yang mulutnya seperti mencucut dan dua tangan saya bentangkan ke samping agar menyerupai huruf F. Saya lalu berjalan-jalan, berusaha semirip mungkin dengan Bapak Naf dan sekaligus semirip mungkin dengan huruf F. Walau kelihatan super lebay, tapi ini membuat Bertha bisa mengingat huruf F, yang selama di sekolah selalu gagal dihafal oleh Bertha.

Huruf ‘H’ juga punya cerita sendiri. Bertha berhasil mencantelkan ‘H’ dengan ‘hidung’, tapi sekali lagi ia malah mengidentifikasi huruf ‘H’ sebagai ‘hi’. Terpaksa saya harus menciptakan istilah baru: ‘hahidung’. Dengan gaya seperti mau bersin saya mengulang-ulang, ‘hahidung, hahidung, hahidung’. Ini cara yang sangat cupu sebenarnya, hanya demi Bertha mengingat penyebutan ‘H’ sebagai ‘ha’, bukan ‘hi’. Masih banyak lagi, kalau dibahas huruf per huruf bisa-bisa anda yang sudah bisa membaca malah jadi balik buta aksara lagi.Hehehe.

Setelah selesai dengan huruf besar, kesulitan dimulai ketika harus mengajarkan huruf kecil. Saya sangat kebingungan karena Bertha selalu tertukar antara huruf ‘b’, ‘d’, ‘p’, dan ‘q’. Bahkan saat saya meminta ia mengingat bahwa kalau ‘b’ ini berarti perut gendutnya menghadap sebelah kanan, ia juga kesulitan. Belakangan saya menemukan sebabnya, karena di desa orang tidak terbiasa menunjuk arah dengan kiri dan kanan. Mereka hanya menyebut ‘darat’ dan ‘laut’. Kalau suatu barang arahnya menghadap laut berarti itu arah laut, demikian juga kalau melawan laut, berarti diesebut menghadap ‘darat’. Akhirnya saya harus membuat lagu untuk membantu Bertha menghafalkan empat huruf itu. Lagu ini sepertinya hanya bisa digunakan untuk keperluan si Bertha saja. Lagunya seperti ini: (menggunakan nada ‘Ayo Mama’ di bagian ‘ayam hitam telurnya putih...)

“ Ada bola, di bawah ke laut, ada daun di bawah ke  darat,

Ada qintal , di atas laut, oh palu-palu di atas darat”

Lagu yang seperti tak berarti ini sangat membantu Bertha. Ia mengingat huruf ‘b’ sebagai bola, dan di bawah ke laut itu artinya bulatan dalam huruf ‘b’ ada di bagian bawah dan menghadap ke laut. Daun, sebaliknya, adalah cantelan untuk huruf ‘d’ dan posisinya di bagian bawah dan menghadap ke darat. Demikian juga qintal, yang merupakan cantelan untuk huruf ‘q’ (qintal artinya lapangan dalam bahasa daerah), dan palu-palu yang merupakan cantelan untuk huruf ‘p’.  Well, ternyata belajar membaca bisa senorak ini yah? Hehe.

Di akhir satu minggu lebih saya di Saumlaki, saya bersyukur paling tidak Bertha bisa mengenal huruf. Mengenal huruf saja mungkin bukan sebuah prestasi bagi anak berusia 12 tahun, tapi bagi Bertha, ini adalah sebuah lompatan raksasa. Dalam sebuah kesempatan sehabis belajar, saya bertanya, apakah dia pernah berpikir akan pernah bisa membaca? Jawabannya singkat sekali: tidak. Ia tidak pernah berpikir satu hari nanti bisa membaca. Bertha sudah yakin bahwa suemur hidupnya ia pasti tidak bisa membaca. Ia mengucapkan hal ini dengan tenang, tanpa kesedihan dan derai tangis, seperti adegan dramatis yang mungkin akan diharapkan orang.

Saya menutup perjalananku membawa Bertha ke sebuah petualangan ini dengan rasa puas. Selain mewujudkan impiannya untuk mencicipi banyak hal yang baru pertama kali ia lihat, sentuh, dan rasakan, saya lega karena ide yang awalnya kelihatan gila ini ternyata belakangan terbukti tepat. Seandainya saya waktu itu memutuskan kalah dengan keraguan-raguan dan tidak membawa Bertha ke Saumlaki, mungkin ia masih akan berhadapan kaku dengan huruf-huruf. Bagi siapapun yang membaca, ini juga sebuah pesan: niat baik, semustahil apapun, jika diusahakan, pasti akan menghasilkak kebaikan pula.

Di ujung  petualangannya, Bertha pulang dengan kepala tegak. Ia seperti sudah menaklukkan dunia. Ia bangga sekali karena ia akhirnya bisa berdansa dengan huruf-huruf yang sekian tahun dimusuhi dan memusuhinya. Ia mungkin belum bisa membaca lancar, tapi saya yakin, waktu akan membuatnya bisa menaklukkan semua itu. Dan saya sungguh rindu ingin melihat itu.

Selesai.

Larat, 27 Mei 2012 


Cerita Lainnya

Lihat Semua