info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Petualangan Bertha (2): Serba Pertama

Dedi Kusuma Wijaya 9 Juli 2012

Sebenarnya ini sudah kedua kalinya Bertha menginjakkan kaki di Larat, kota terdekat dari Wadankou, kota mini yang dua kali seminggu menjadi tujuan dari kapal motor desa yang membawa hasil rumput laut warga. Tapi boleh dibilang yang pertama kurang masuk hitungan, karena ia hanya beberapa jam menyinggahi kota ini. Dulu waktu anak-anakku melakukan misi kebudayaan ke Saumlaki, ferry yang menjemput mereka khusus di Wadankou singgah di Larat dulu sebelum ke Saumlaki, dan saat itu Bertha sempat berjalan-jalan sebentar untuk jajan, ditemani dengan mama dari Rani yang masih terhitung keluarganya.

Motor laut yang kami tumpangi merapat di Larat jam setengah 8 mmmalam, dan karena hari itu begitu melelahkan, saya, Bertha, dan juga Bagus langsung menuju ke Talenta, penginapan termewah di Larat. Bagi orang kota penginapan ini mungkin kelihatan cupu, tapi bagi orang kampung ‘rumah besar’ ini sudah sangat keren. Karena semua kamar sudah penuh, kami pun ditidurkan di kamar pribadi si pemilik yang memang sering digunakan bilamana kamar lain sudah penuh. Bertha yang biasanya cerewet masih lebih banyak diam, masih menyesuaikan diri dengan hal-hal baru yang ditemuinya. Meninggalkan kampung saja sudah merupakan hal yang sangat baru baginya, karena itu tidak heran jika ia hampir tak bersuara semenjak berangkat sampai kami tiba di Larat. Tapi ini hanya awal saja, awal dari banyak hal pertama yang dialami Bertha.

Hal pertama yang kulakukan setelah tiba di penginapan adalah mandi. Perjalanan dengan motor laut selalu membuat badan kotor, karena asap hitam dari mesin yang menerpa wajah dan membuat mandi adalah sebuah keharusan. Setelah saya dan Bagus, giliran Bertha yang kusuruh mandi. Sebelumnya saya sudah membelikannya perlengkapan mandi di kios dekat pelabuhan. Karena di kampung yang disebut mandi adalah mengguyur tubuh dengan beberapa ember kecil air yang ditimba dari sumur, Bertha tidak membawa satupun peralatan mandi. Tidak ada handuk, sabun, sikat gigi, atau odol. Ia awalnya kagok dengan kamar mandi, karena selama ini biasanya mandi di tepi sumur. Kuajarilah cara mengunci pintu kamar mandi dan cara menggunakan toilet. Sebagai informasi, di desa rumah yang memiliki toilet bisa dihitung dengan jari tangan kanan saja. Bertha pun mandi, walau hanya terdengar beberapa kali guyuran saja. Saya pun berteriak dari luar, memintanya mandi sepuasnya mengingat tersedia air dalam jumlah lebih dari cukup. Keluar-keluar dari kamar mandi, saya kaget melihat Bertha keluar dengan celana yang basah. Saya tanya, ia mengatakan ia mandi dengan menggunakan celana. Saya baru ngeh, rupanya di desa anak-anak selalu mandi dengan menggunakan celana atau pakaian dalam saja, karena mandinya di tepi sumur. Dan karena ini yang pertama kalinya Bertha mandi di kamar mandi, ia tetap mandi dengan menggunakan celana, padahal kan tidak ada orang lain yang melihat dia di dalam! Hehehe. Akhirnya saya menjelaskan padanya bahwa kalau di kamar mandi ia tidak perlu lagi memakai celana jika ingin mandi.

Karena malam sudah larut, kami pun tidur. Bertha, karena tidak terbiasa tidur di kasur, memilih tidur di lantai dengan menggunakan tikar yang ada di kamar, sedangkan saya dan Bagus tidur di atas tempat tidur. Nyenyak tertidur, kira-kira jam 5 subuh saya sedikit tersadar mendengar suara pintu kamar dibuka. Dengan kesadaran masih 20 persen saya membuka mata dan melihat Bertha sedang kebingungan berusaha membuka pintu kamar yang terkunci. Saya pun langsung bertanya apa yang mau dia lakukan. Dengan berbisik Bertha menjawab: “mau buang air pak”. Sontak saya terjaga, dan dengan tersenyum sambil menahan tawa yang lebih saya menyuruhnya untuk cukup buang air besar di dalam kamar mandi saja. Bertha pun manggut-manggut dan masuk ke kamar mandi. Rupanya skeali lagi ia terbiasa buang air di pantai sewaktu di desa, sehingga pagi itu ia karena sudah kebelet merasa bingung ingin mencari pantai di mana! Saya jadi semakin merasa, perjalanan ini memang perlu bagi anakku ini.

Keesokan harinya, Bertha masih kelihatan murung. Saya sudah tahu penyebabnya, tapi tetap saya berusaha mendengar jawaban darinya. Dengan berbelit-belit dan sedikit tidak jelas, ia menjelaskan bahwa ia sudah rindu kampung. Padahal sbelum pergi ia begitu excited ingin ke Saumlaki. Untunglah saya tetap menjaga pikiran positifku bahwa ia besok-besok sudah terbiasa dan tidak terlalu rindu kampung lagi. Kalau tidak, saya pasti melayani kegundahannya ini dengan memulangkannya kembali ke kampung dengan motor laut yang akan berangkat keesokan harinya. Pagi itu, Bertha untuk pertama kalinya makan di warung. Kami makan di warung nasi kuning langganan yang selalu kusinggahi setiap kali berada di Larat. Mama Hoki, ibu asal Jombang yang sudah lama merantau ke Maluku langsung menyambut dengan ramah, dan bertanya ada lomba apa lagi yang saya ikuti sampai membawa anak ke Larat.  Sebelumnya memang saya ke Larat dengan membawa anak yang mengikuti penyisihan Olimpiade Sains Kuark.  Saya hanya menjawab, “tidak bu, ini bawa jalan-jalan saja”, sambil tersenyum.

Karena ferry tidak jalan dan kebetulan keesokan harinya ada speedboat yang berangkat ke Saumlaki, saya dan Bagus, plus Sandra yang kebetulan bertemu dengan kami di Larat pun memutuskan untuk naik speed saja. Bertha pun mendapatkan pengalaman pertamanya naik speed. Agar ia tidak kesulitan membawa barang-barangnya dengan tas kecilnya yang sudah robek sana sini, saya membelikannya tas baru. Bertha memilih sendiri tas yang ingin dia beli, tas sekolah pertamanya seumur hidupnya. Biasanya Bertha ke sekolah cukup membawa buku dan pena saja, kalau hujan ia membawa bukunya di dalam kantong plastik. Bertha tampak senang dengan tas barunyai tu, dan pelan-pelan mulai berbicara. Di atas speed ia tampak dengan teliti mengamati semua hal baru, mulai dari tempelan di dinding speeboat, pengemudi yang duduk lebih tinggi dari penumpang lainnya, sampai cipratan air di luar speed.

Sampai di Saumlaki, saya melihat perubahan mood dari Bertha. Ia tampak mulai terbiasa dan tidak terlalu ingat rumah lagi. Karena speedboat berhenti di desa yang berada di luar Saumlaki, kami harus naik angkot untuk ke Saumlaki. Dan keinginan Bertha untuk naik mobil pun terpenuhi. Sampai di Saumlaki, kami langsung singgah untuk makan, dan di sini Bertha untuk pertama kalinya mencicipi nasi goreng. Di hari-hari berikutnya, Bertha menjadi keranjingan nasi goreng. Kami makan di beberapa warung dan ia  selalu memesan nasi goreng, dari makanan pinggir jalan sampai ke restoran hotel, sampai pulang ke kampung nantinya ia mengumumkan bahwa makanan kesukaannya sekarang adalah nasi goreng. Di Saumlaki kami tinggal di rumah Pak Camat, yang sebenarnya sudah pernah dikunjugni Bertha sebelumnya sewaktu ia ikut bersama rombongan anak sekolah yang pergi ke Saumlaki. Bedanya waktu itu rombongan tidur di sebuah rumah kosong di belakang rumah Pak Camat dan tidur berdesak-desakan dengan dialasi tikar. Kali ini ia tidur di kamar, kadang-kadang bersamaku, kadang bersama teman-teman perempuan, kadang juga bersama pembantu rumah tangga dari Pak Camat. Yang pasti, untuk pertama kalinya lagi si Bertha tidur di kasur, springbed pula.

Selama di Saumlaki semingguan lebih, saya sering membawa Bertha ke beberapa tempat bersama kami. Banyak hal yang baru pertama kali dia lakukan, tentunya lengkap dengan kepolosannya yang membuat saya tersenyum. Sewaktu saya membawanya ke ATM misalnya, saya mau menunjukkan bagaimana sebuah mesin bisa mengeluarkan uang. Sayangnya Bertha tidak bisa memperhatikan dengan baik, karena ia kedinginan di dalam ruang ATM yang memang berpenyejuk ruangan ini. Ia juga untuk pertama kalinya naik sepeda motor, sehingga waktu pertama kali naik ia harus kugendong dulu biar bisa naik di sadel. Karena kami berboncengan bertiga dengan tukang ojek, saya bisa merasakan ketegangannya sewkatu motor melaju. Ia sangat tegang, walau kemudian setelah bolak balik naik ojek ketegangannya hilang.

Bertha juga untuk pertama kalinya mengunjungi gereja Katolik bersamaku dan gereja Pantekosta bersama Bagus. Di kampung gereja yang ada adalah Gereja Protestan Maluku, yang ritual ibadahnya sedikit berbedaa dengan Gereja Katolik dan Pantekosta. Di Gereja Katolik yang tenang dan banyak berlutut dan berdirinya Bertha tampak kebingungan. Awalnya ia masih ikut saja, saat umat berdiri ia berdiri, berlutut ia berlutut. Tapi lama kelamaan ia tetap duduk saja tanpa bergerak atau mengucapkan sepatah katapun. Begitu juga saat pergi di gereja Bagus yang ramai dan penuh dengan nyanyian. Bertha cukup duduk diam saja sambil mengamati. Pulang ke rumah, ia langsung melaporkan bahwa ia tidak mau lagi pergi ke gerejaku, karena katanya orangnya tunduk-tunduk melulu. Hehe.

Di kesempatan lain, kami pergi ke hotel Beringin Dua untuk makan malam. Setiap kali ke Saumlaki, saya dan teman-teman Pengajar Muda lainnya memang sellau menyempatkan diri pergi ke restoran di hotel ini, terutama untuk melahap es kacang merahnya yang enak sekali. Dan dengan asumsi Bertha pasti suka, dia kupesankan juga es kacang merah. Rupanya saya harus memotivasinya sedemikian rupa untuk memakan es ini. Sebabnya karena ia belum terbiasa dengan makanan (atau minuman) aneh ini sehingga ia hanya mengaduk-ngaduknya saja dengan sendok sup. Setelah akhirnya mau mencicipi, ia malah sibuk mencium-cium kacang merahnya. Saya pun memintanya untuk tidak terlalu membaui barang itu dan memakannya saja. Si anak malah menjawab: “ah bet seng mau, di pu bau kayak rinso!” (saya tidak mau, baunya mirip Rinso).

Akhirnya dari semua pengalaman serba pertama si Bertha, yang paling membuatku bersyukur adalah ketika kami diundang oleh kepala stasiun RRI Saumlaki untuk siaran di sana. Saya membawa Bertha ikut serta, sebenarnya maksudnya hanya gar ia melihat bentuk sebuah stasiun radio seperti apa. Tak diduga, si kepala RRI malah sangat excited dengan kehadiran Bertha dan ikut mewawancarainya. Pertamanya anak ini sangat takut menjawab, tapi karena aslinya dia memang supel, akhirnya wawancara berlangsung lancar. Pengalaman diwawancara RRI ini, menurutku, adalah pengalaman yang paling penting bagi Bertha. Selama ini, hanya anak-anak paling pintarlah yang mungkin mendapat kesempatan diwawancarai seperti ini. Mereka dipuji tentang semangat belajarnya, atau kecerdasannya, atau kreativitasnya. Tapi di hari itu, saya melihat pemandangan tak biasa yang luar biasa. Anak yang tak mampu membaca ini, yang bermusuhan besar dengan huruf-huruf, suaranya didengar oleh orang-orang di seantero Saumlaki. Bagi orang-orang di kabupaten ini, tampil di RRI sudah sesuatu banget.  Pengalaman pertama ini, saya yakini, akan dibawa seumur hidupnya oleh Bertha. Ia akan ingat, bahwa ia bukan orang yang terpinggirkan. Dengan keterbatasannya, ia (dan juga semua anak) punya hak untuk dikenal dan mengalami  pengalaman pertama untuk banyak hal dan juga teentunya, perasaan ‘terdepan’, paling kurang satu kali dalam hidupnya.

(bersambung) 


Cerita Lainnya

Lihat Semua