Pesparawi (bagian 2): Dan Mimpi Pun Terajut

Dedi Kusuma Wijaya 12 September 2011

 

 

Tulisan pertama saya tentang pesparawi dibuat pada pagi hari sebelum lomba pesparawi diadakan. Dan hari ini, tiga hari setelah pengumuman lomba dilakukan, saya menulis lagi, untuk melaporkan kelanjutan dari kisah tim paduan suara kampung ini.

Pagi itu, suasana rumah Pak Camat sangat ramai. Para anak usia SMA yang beberapa baru pertama kali menjejakkan ke Saumlaki ini sudah bangun pagi-pagi sekali, memulai latihan terakhir sebelum tampil malam harinya. Di tempat-tempat lain di Kota Saumlaki, kontingen-kontingen lain sudah mempersiapkan diri dengan baik. Sebagai kontingen dari kecamatan termuda, tim Molu Maru adalah tim yang paling tidak diperhitungkan. Beberapa panitia di Saumlaki berkata, kontingen yang paling mereka tunggu kehadirannya adalah kontingen dari Molu Maru. Karena anggapan selama ini bahwa Molu Maru itu udik seudik-udiknya, orang-orang penasaran dengan tampang para penduduk Molu Maru. Bayangan orang Saumlaki, mereka pasti turun dengan tas-tas rinjani (tas tradisional yang dibuat dari rajutan daun pandan) dan wajah awut-awutan. Tidak perlu orang Saumlaki, sejak di atas ferry dari Molu Maru menuju Saumlaki sendiri kontingen lain yang masuk beberapa sudah mencibir kontingen kecamatan kami. Kontingen Tanimbar Utara yang berjumlah besar dan berdana jumbo masuk ferry dengan gagahnya, lengkap dengan koper-koper besar yang dibawa tiap peserta. Beranggotakan 70an orang (Molu Maru hanya 31 orang), mereka mendominasi dan bahkan sempat meminta salah seorang nona anggota paduan suara untuk membantu membersihkan tempat tidur. Kontingen dari Yaru sempat berkelakar bahwa orang Molu Maru ini bermuka kering (kira-kira padanan katanya adalah kampungan habis). Kenyataannya, orang Molu Maru tidak ‘sekampungan’ itu. Bu Camat sudah meminta para peserta untuk meminjam koper, tidak membawa tas rinjani. Jadi sejak di kampung sudah terjadi peminjaman koper dan reansel besar-besaran. Hasilnya lumayan menjaga harga diri, setidaknya turun dari ferry dugaan para orang Saumlaki meleset karena kontingen kami turun dengan koper diseret. Mremang sih, ada beberapa cerita lucu tentang anak-anak ini, terutama bagi yang baru pertama kali ke Saumlaki. Suatu malam di rumah, sekitar jam 12 malam saya ke kamar mandi. Lampu kamar mandi tertutup, pintu tak terkunci. Saya langsung masuk saja, dan sungguh kaget, ternyata ada orang di dalam! Ternyata anak-anak ini ada yang tidak tahu menyalakan lampu dengan saklar, dan tidak tahu mengunci pintu dengan kenop putar, lagipula di desa sudah terbiasa dalam kegelapan sehingga mereka pergi ke WC gelap-gelapan. Beberapa anak perempuan juga malah buang air kecil di tanah kosong di samping rumah Pak Camat, membuat saya geleng-geleng kepala.

Tapi begitulah, anak-anak ketinggalan jaman ini akhirnya tampil juga di panggung megah di ibukota kabupaten. Sejak siang Bu Camat beserta kakak perempuannya dan seorang dokter gigi PTT yang bersuamikan staff kecamatan Molu Maru sudah menjadi petugas salon dadakan. Mereka mendandani para anak-anak yang bahkan belum lancar berjalan dengan sepatu berhak tinggi ini (ada yang langsung tersandung setelah beberapa langkah menggunakan sepatu hak tinggi). Pakaian keemasan, gaun dan kemeja sudah dijahit untuk mereka. Pak Camat memutuskan untuk menghibahkan pakaian ini kepada mereka, dengan pertimbangan karena mereka jarang mempunyai baju formal yang layak. Anak-anak sangat senang, sebagai orang yang hanya menjadi observer saya bisa melihat rona kebanggaan dari mereka. Pakaian mentereng dan make up seakan menaikkan harkat mereka satu level.

Setelah berangkat dari rumah Pak Camat dengan angkot carteran, kami pun tiba di Balai Pembinaan Umat, tempat lomba dilangsungkan. Penonton sudah memenuhi ruangan, layar besar sudah diletakkan di luar ruangan untuk menampung penonton yang membludak. Tampak beberapa warga Molu Maru datang menyaksikan lomba: mantri puskesmas, kepala sekolah SMP, fasilitator PNPM, staff kecamatan, dan tentunya saya sendiri. Mengantongi nomor unidan pertama, tim dari kecamatan bungsu ini tampil perdana. Keluar dari backstage, penonton sudah mulai berbisik-bisik mengingat Pak Camat sendiri turun menjadi dirigen untuk tim paduan suara kecamatannya.

Dan kerja keras selama dua bulan pun dituntaskan dalam waktu 10 menit di panggung. Liuk-liukan tangan Pak Camat mengiringi nyanyian dari para pemuda pemudi ini. Semua berjalan begitu lancar, penampilan mereka pun lebih bagus dari latihan. Hampir tidak ada kesalahan dalam dua lagu yang dibawakan, dan walau saya sama sekali tidak mengerti teknis bermusik, bagi saya penampilan mereka sangat memuaskan. 10 tim lagi lalu tampil, beberapa terlihat lebih bagus dari segi kostum, penampilan, dari tim kami, beberapa kelihatan lebih kurang, tapi kami tidak pernah bermimpi mendapatkan juara, sekedar tampil pun sudah lebih dari cukup. Malam itu, setelah pulang kembali ke rumah, semua berbahagia, lepas karena sudah bisa tampil.

Dua hari kemudian, tibalah acara penutupan, yang di dalamnya ada pengumuman pemenang. Acara dimulai dengan ibadat penutupan, dilanjutkan dengan sambutan-sambutan, yang membuat penonton sudah tidak sabar dengan pengumuman pemenang. Pertama-tama diumumkan pemenang lomba anak. Beberapa tim bertepuk tangan karena tim mereka menang, saya dan tim Molu Maru lainnya diam-diam saja. Pengumuman berikutnya adalah pengumuman lomba kategori remaja. Saya sudah memasang kamera, sambil berdoa berharap agar paling tidak tim kami bisa mendapat juara harapan 2 saja, melihat banyak tim yang kelihatannya lebih bagus dari Molu Maru. Juara Harapan 3, diumumkan jatuh pada Kecamatan Yaru. Orang bertepuk tangan, saya membatin bahwa semoga saja tim kami mendapat juara harapan 2. Ternyata kategori ini luput juga, digondol oleh Kecamatan Wuarlabobar. Saya mulai berpikir bahwa tim kami pasti tidak mendapatkan gelar apa-apa, dan mulai menghibur diri selama sejenak bahwa yang paling penting adalah bisa berpartisipasi. Saat diumumkan juara harapan 1 adalah tim dari Tanimbar Utara, saya dan rekan-rekan sudah mengikhlaskan bahwa kami pulang dengan tangan hampa, karena Tanimbar Utara adalah kecamatan besar dan terkenal selalu menjuarai lomba. Kamera saya tetap merekam, saya memutuskan untuk merekam sampai juara pertama saja karena sudah tanggung. Saat diumumkan juara ketiga, seperti di film-film saya masing ingat detik-detiknya. Dan ternyata adegan film memang terwujud. Kecamatan Molu Maru meraih juara 3, anak-anak di sampingku ini  melompat tinggi kegirangan, mereka merasakan kemenangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Pak Camat lalu tampil naik ke atas panggung menerima piala –sebagai dirigen paduan suara- dengan mata berkaca-kaca. Seperti saya, seperti kami, ia sangat merasakan betapa mimpi liar ini berujung ke sebuah piala. Setelah menerima piala, Pak Camat langsung turun dari panggung, berjalan ke belakang dan menyerahkan piala itu kepada anak-anak yang berdiri di belakang. Saya langsung sibuk memfoto anak-anak ini, satu per satu dengan piala di tangan mereka.  Saya bisa melihat wajah penuh kebahagiaan di wajah Pak Camat, Pak Pendeta, Pak Massa, yang bersusah payah melatih anak-anak batu ini.  Orang-orang kaget dengan kemenangan mengejutkan ini, dan berlomba-lomba memberi selamat kepada Pak Camat dan Pak Pendeta.

Sejujurnya saya kehabisan kata-kata untuk melukiskan kejadian malam itu. Yang pasti banyak senyuman, banyak kebanggaan, banyak kata-kata semangat, dan saya menjadi percaya satu hal: miracle does happen. Hal-hal yang biasanya ada di dramatisasi film-film, memang sungguh bisa hadir di kehidupan sehari-hari.

Saumlaki, 10 September 2011

Foto-foto Pesparawi bisa dilihat di: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150289729701603.336871.696616602


Cerita Lainnya

Lihat Semua