info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

SMA Gotong Royong

Dedi Kusuma Wijaya 12 September 2011

 

Di Desa Adodo Molu yang kecil ini,hanya ada tiga bangunan yang bisa dikatakan besar: gereja, SD, dan SMP. Dari ketiga bangunan ini, yang paling besar adalah SMP 1 Molu Maru, yang di masa silam terkenal sebagai salah satu bangunan yang paling dibanggakan di Molu Maru. Kompleks sekolah ini cukup luas, ada deretan tiga ruangan besar yang dijadikan kompleks perumahan guru/staff sekolah, ada tiga ruag kelas, ruang yang diapakai untuk meletakkan meja pingpong, perpustakaan, dan satu ruangan kosong lain. Tapi bertahun-tahun setelah pendiriannya, gedung ini menjadi saksi hidup dari ironi yang terjadi di desa ibukota kecamatan ini. Mungkin karena konstruksi yang tidak mantap, lantai-lantai di SMP ini sebagian sudah ambrol, sehingga saat berjalan di dalam kelas kita seperti melangkah di atas kuali karena ada cekungan di lantainya. ‘Keanehan’ di lantainya ini dilengkapi lagi dengan plafon yang rusak, dinding yang tidak pernah dicat, sehnigga sekolah ini kelihatan seperti bangunan Khadafi yang habis diserbu gerilyawan. Ruang perpustakaan relatif masih bagus, tapi ruangannya saja, karena ruangan ini kosong melompong tanpa ada sebiji buku pun. Ada dua ruang kelas kosong, yang satunya dipakai untuk olahraga pingpong, yang satunya dipakai untuk berlangsungnya PAUD yang diadakan oleh PKK Kecamatan. Itu dari sisi bangunan. Dari sisi Sumber Daya Manusia, sekolah ini juga mengantongi banyak hal yang membuat camat sebagai kepanjangan tangan Dinas Pendidikan di kecamatan garuk-garuk kepala. Di SMP selama bertahun-tahun kekurangan guru, guru yang ada hanyalah guru Matematika, Bahasa Indonesia, IPS, dan malahan dua guru Agama. Tapi lucunya, ada empat staff tata usaha, sehingga akhirnya sejak awal bekerja, para staff tata usaha ini juga ikut mengajar SMP. Dengan pengetahuan seadanya mereka turun saja mengajar, dengan buku pengangan apa pun yang ada di sekolah. Jadinya adalah karena mereka bukan guru, mereka tidak pernah mengikuti pelatihan-pelatihan atau kegiatan lain untuk meningkatkan kompetensi, sehingga ilmu yang diberikan di ruang kelas yah itu-itu saja.

Tidak heran sewaktu lomba cerdas cermat yang soalnya dibuat oleh saya dan Bagus, anak-anak SMP ini tidak ada sebiji pun yang bisa benar menjawab soal-soal sederhana, seperti mengenali waktu di jam dinding, atau melakukan perkalian yang cukup panjang. Sebagai camat baru di kecamatan yang juga baru, Pak Camat terpaksa harus menceburkan diri di dunia pendidikan. Sebabnya adalah karena belum adanya penempatan UPTD di kecamatan ini, yang menyebabkan beliau harus merangkap menjadi UPTD (dan juga sebenarnya merangkap sebagai kapolsek dan danramil karena belum adanya markas polisi atau tentara di sini). Masih pusing memikirkan bagaimana cara mengakali kekurangan guru di SMP, tiba-tiba di suatu hari yang cerah saat ia berada di Saumlaki, Dinas Pendidikan menyampaikan sebuah kabar ‘gembira’ pada si bapak camat. Dikeluarkan SK pendirian SMA di Molu Maru, dengan nama Sma 1 Molu Maru. SK ini diikuti dengan SK berikutnya yang menunjuk Kepala Sekolah SMP untuk sekaligus merangkap sebagai Pelaksana Tugas Kepala Sekolah, alias kepala sekolah sementara SMA. Yang ‘menyenangkan’, hanya dua SK ini yang dikeluarkan oleh dinas. Tidak ada SK penempatan guru di SMA, ataupun SK pendanaan SMA. Karena baru berdiri, dana BOS belum bisa dicairkan. Pak Camat yang tidak punya latar belakang kependidikan sama sekali pusing tujuh keliling menghadapi SK-SK ini. Masalah pendidikan sepertinya menghantui kepemimpinannya di Molu Maru. Menghadapi permasalahan ini, pak Camat seperti hanya bisa mengutuk angin. Dinas pendidikan juga tidak memberikan bantuan guru atau sejenisnya, sehingga Pak Camat hanya punya dua pilihan: tidak menjalankan SMA ini sampai ada distribusi guru dan dana, atau jalan dengan modal nekat belaka. Kedatangan saya dan Bagus di kecamatan, ternyata membuatnya memutuskan untuk menjalankan pilihan kedua, berjala ndengan modal nekat. Menurut Pak Camat, masyarakat Molu Maru memang membutuhkan SMA sendiri. Karena tidak adanya SMA, sebagian besar anak yang sudah lulus SMP harus dikirim ke kota Larat untuk melanjutkan sekolahnya. Masalahnya ada saat orang tuanya tidak mampu membiayai biaya hidup dan perjalanan anaknya ke Larat, akhirnya anak yang sudah lulus SMP akan berakhir di dapur atau di kebun saja. Banyak anak yang kemudian putus sekolah dan hanya menunggu dipinang lelaki, atau bagi yang lelaki menghabiskan waktunya dengan duduk-duduk nongkrong bersama anak-anak putus sekolah lainnya. Karena itulah, merintis sebuah SMA memang hal yang perlu, walaupun memang penuh dengan halangan.

Langkah pertama yang dilakukan Pak Camat adalah mencari murid. Setiap kali kunjungan kerja ke desa-desa yang terpisah lautan ini Pak Camat selalu mengajak warganya untuk tidak lagi mengirim anak-anak mereka bersekolah di Larat, tetapi cukup dimasukkan saja ke SMA di Adodo Molu ini. Pak Camat juga menjamin bahwa anak-anak dari desa lain yang datang akan dicarikan keluarga piara di Adodo Molu. Syukurnya terkumpullah sekitar 50 anak yang mendaftar untuk masuk sekolah ini. Dan dengan adanya pendaftar-pendaftar itu, SMA pertama di Molu Maru secara de facto sudah resmi dibuka. Dengan SMP yang masih compang camping, SMA sudah lahir.

Selayaknya SMA pada umumnya, pada awal tahun dilakukan Masa Orientasi Sekolah. Untuk MOS ini pengisinya dipercayakan kepada guru agama SMP, salah seorang staff kecamatan, dan guru olahraga SD Wulmasa (sekaligus satu-satunya guru olahraga di kecamatan ini) untuk melatih kedisiplinan. Sebagai kegiatan awal bagi para anak SMA ini, Pak Camat meminta mereka menjadi anggota Paskibra kecamatan yang akan bertugas pada saat 17 Agustusan di Adodo Molu ini. Di saat yang bersamaan anak SMA ini juga direkrut dan dilatih menjadi anggota pesparawi kecamatan (lihat tulisan saya tentang Pesparawi). Kegiatan-kegiatan ini selain fungsinya memang untuk meningkatkan kepercayaan diri dan jiwa kompetisi anak-anak ini (dan memang berhasil), tapi juga karena adanya satu permasalahan paling nyata: tidak ada guru di SMA ini. Menyikapi masalah guru, Pak Camat sendiri mengalami kebingungan. SMA yang masuk siang (bergantian dengan SMP) ini tidak mungkin diajar oleh guru SMP, mengingat guru SMP sendiri kekurangan. Dan juga kalau menggunakan tenaga guru, SMA tidak punya anggaran sepeserpun untuk membayar honor guru-guru ini. Akhirnya Pak Camat memutuskan bahwa dia sendiri akan turun untuk mengajar di SMA. Beliau pun mengambil daftar mata pelajaran SMA, sambil membagi-bagi siapa mengajar apa. Sekilas ini terlihat seperti main-mainan, karena semuanya tidak ada yang punya kualifikasi guru. Pak Camat merasa bahwa dia kuat di Bahasa Inggris dan Matematika, serta juga bisa mengajar Teknologi Informasi, karena itu ia akan turun mengajar tiga mata pelajaran. Bu Camat, seorang sarjana ekonomi, secara otomatis diminta mengajar ekonomi. Sementara Bagus, teman saya yang bertugas di Adodo Molu, seorang sarjana pertanian IPB, secara otomatis akan memegang tiga mata pelajaran paling ‘berat’: Biologi, Fisika, dan Kimia. Berangkat dari modal awal tiga guru dadakan itu, Pak Camat mulai mengumpulkan pasukan guru-guru cabutan lainnya. Pendeta Max Petoki, pendeta yang baru ditugaskan di Adodo Molu, adalah seroang pendeta muda dengan wawasan luas. Ia besar di Ambon, dan penugasan ke desa terpencil ini adalah penugasan pertamanya setelah ditahniskan menjadi pendeta. Sebagai mantan aktivis mahasiswa yang giat melakukan advokasi pasca kerusuhan Ambon, ia adalah tipe pendeta yang penuh dengan semangat melakukan perubahan. Semangat yang sama inilah yang membuat pendeta Petoki dengan senang hati bergabung dengan tim, untuk mengajar PKn, Agama, dan Seni Budaya. Di saat bersamaan di Adodo Molu kedatangan seorang fasilitator PNPM, program pemberdayaan desa yang dananya berasal dari pusat. Pak Edmond, lulusan seminari yang dulunya hampir menjadi romo, sang fasilitator itu, juga dengan senang hati mengajukan diri untuk mengajar. Karena akan berada di kecamatan selama paling cepat enam bulan, beliau masuk ke dalam tim sebagai pengajar sejarah dan antropologi. Tim ini pun ditambah lagi dengan sekretaris kecamatan, Pak Arthur, seorang lulusan administrasi publik UGM, dan kasubid pemerintahan, Pak Agus, yang adalah lulusan STPDN. Tim inilah yang dengan nekad mewujudkan SMA Negeri 1 Molu Maru yang diajar oleh orang-orang yang bukan guru. Materi ajar semuanya bersumber dari buku sekolah elektronik yang dimiliki pak Camat, yang diprint dengan menggunakan printer pribadinya. Dengan modal seadanya inilah sekolah ini berdiri. Saya sendiri karena berada di desa yang terpisah dari pusat kecamatan tempat sekolah ini berada tidak ikut mengajar. Namun saat dibutuhkan, saya sudah berjanji akan berjalan kaki ke Adodo Molu pada Jumat malam untuk mengisi kelas pada hari sabtu dan minggu, karena saya tidak ingin ketinggalan bergabung dalam the dream team ini.

Jauh dari ibukota, saya ingat betul kalimat yang dikatakan Pak Anies Baswedan beberapa bulan lalu: Mendidik, adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Dan dari negri Adodo Molu, biar Pak Anies tahu, kalau hal itu sungguh benar dan terjadi.

 

Saumlaki, 11 September 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua