Perkenalkan: Hari Valentine!

Dedi Kusuma Wijaya 14 Februari 2012

Sejak beberapa minggu lalu saya sudah tergelitik dengan sebuah rencana kecil: melakukan perayaan hari Valentine kecil-kecilan dalam kelas saya. Saya yakin anak-anak ini, dan juga semua orang kampung lainnya belum tahu tentang hari yang selalu mendatangkan kehebohan di kota-kota. Walau begitu, belum kepikiran bagaimana eksekusi nyata dari rencana ini, sampai kemarin malam. Karena penuh dengan jadwal ‘melayani’ anak-anak dari pagi sampai malam, saya tidak bisa menghasilkan ide apapun. Saya hanya mengeprint tiga lembar gambar berbau ‘valentine’ yang kutemukan di laptopku, dan membawa satu-satunya benda bernuansa valentine yang ada di tasku, yaitu sebungkus coklat Lindt yang kubeli di Makassar. Plus, malam tadi menonton film ‘Valentine Day’ di laptopku.

Sampai di sekolah, saya langsung menempelkan kertas yang bergambarkan hari dengan tulisan ‘Happy Valentine, Selamat Hari Kasih Sayang 14 Februari’ sambil menuliskan sebuah perikop dari Injil di bawahnya: “Kasihilah Sesamamu Manusia Seperti Dirimu Sendiri (Mat. 19:19)” di dinding samping pintu kelasku. Masih tanpa ide, saya menggunting dua gambar hati yang saya cetak dan menempelnya di bagian atas papan tulis. Setelah itu, saya memulai kelas seperti biasa dengan baris, doa dan menyiapkan kelas.

Karena belum punya ide, saya memulai dengan langkah awal: menuliskan kata ‘Valentine’ di papan tulis dan meminta mereka membacanya. Yang bisa membaca langsung membacanya, persis seperti dugaanku, dibaca dengan pengucapan sesuai tulisan yang ada. Saya lalu mengajarkan mereka mengucapkan velentain, dan setelah beberapa kali mencoba pengucapannya mulai terdengar benar. Saya pun bertanya, hari apa sebenarnya Hari Valentine itu? Dan mulailah jawaban-jawaban aneh, seperti biasa. Ada yang mengucapkan hari selasa, senin, sampai jumat. Kubenarkan, bahwa maksudku bukan hari  senin dan sejenisnya itu, tapi hari yang memperingati suatu hal tertentu. Mulailah Simon mengangkat tangan: “ouw pak, bet tau!” Saya pun memintanya menjawab, dengan mantap ia berkata: “Hari Pahlawan!”  Memang betul, sewaktu Hari Pahlawan terakhir saya bolak balik menjelaskan bahwa Hari Pahlawan adalah hari yang memperingati jasa para pahlawan. Rupanya mereka masih mengacu pada penjelasan itu. Saya katakan bahwa bukan Hari Pahlawan, yang ada jawabannya Sumpah Pemuda dan jawaban ngawur lainnya.

Saya pun pelan-pelan menjelaskan tentang makna valentine ini. Bahwa pada hari ini kita merayakan kasih sayang, sehingga orang seringnya pada hari ini mengungkapkan rasa sayangnya kepada orang-orang yang ia sayangi. Setelah beberapa celetukan tidak jelas dari anak-anak ini, saya merasa mereka cukup memahami makna Valentine. Saya lalu memutuskan memulai dengan meminta mereka berkumpul ke tengah untuk menyanyi, sebagaimana biasanya setiap pagi sebelum jurnal pagi (Baca tulisan ‘Jurnal Pagi’).  Dalam sekejap saya memindai memoriku, mencari lagu mana yang paling tepat dinyanyikan dari khazanah perlaguanku yang juga tidak terlalu banyak. Saya harus mencari lagu yang berbicara tentang cinta kasih, tapi bukan yang menye-menye seperti lagu-lagu cinta orang dewasa. Dalam sepersekian detik yang menuntut saya memutuskan itu, sebuah lagu sederhana yang memang maknanya sangat dalam tiba-tiba muncul dalam benakku. Lagunya seperti ini:

            Kukasihi kau, dengan kasih Tuhan

            Kukasihi kau, dengan kasih Tuhan

            Kulihat di wajahmu, kemuliaan Allah,

            Kukasihi kau, dengan kasih Tuhan

 

Saya meminta mereka menyanyikan lagu ini berpasangan, sambil melihat wajah temannya masing-masing. Setelah beberapa kali, saya lalu meminta mereka duduk bersila di lantai. Saya lalu menceritakan bahwa biasanya pada saat Valentine orang-orang memberikan hadiah berupa bunga dan coklat untuk orang-orang yang dikasihinya. Saya lalu mengajak anak-anak ini berdiskusi tentang mengapa bunga dan coklat yang dipilih sebagai simbol kasih sayang. Tujuan diskusi ini sebenarnya untuk ‘mengolah’ mereka agar coklat yang kubawa bisa terasa berharga bagi mereka. Soalnya karena jumlahnya yang terbatas, saya hanya bisa memberikan coklat itu kepada anak-anak sepotong kecil saja. Dan itulah yang kulakukan, setelah mereka sepakat bahwa coklat itu menandakan kasih yang manis, saya pun lalu membagikan coklat itu kepada mereka. Sambil menambahkan bahwa walaupun coklat ini milikku sendiri, tapi saya membagikan kepada mereka karena saya menyayangi mereka, walaupun mereka sering nakal dan kepala batu. Mereka terlihat manggut-manggut saja sambil menikmati coklat ini. Wah, saya sudah berhasil memenangi hati mereka di titik ini, batinku. Ini yang namanya modal kecil hasil besar.Hehe.

Sebagaimana jurnal pagi biasanya, saya meminta mereka menjawab sebuah pertanyaan. Kali ini pertanyaan yang dilemparkan adalah ‘apakah kau pernah merasakan kasih sayang? Dari siapa? Dalam apa bentuknya?’ Belum apa-apa, Ito sudah menyahut bahwa ia tidak pernah merasakan kasih sayang. Grr, terpaksa saya memberi bocoran. Saya berkata, kasih sayang itu kita rasakan bisa dri orang tua, misalnya mereka senantiasa memberikan kita makan, seragam, dsb. Dan benar saja, jawaban anak-anak lalu tidak jauh dari kasih sayang dalam bentuk membelikan sepatu, tas, baju, dan sebagainya. Ada yang merasakan kasih sayang itu dari kakaknya, dari ibunya, atau ayahnya.

Sampai di Elon, jawabannya agak berbeda. Pertama ia menjawab, kasih sayangnya dari Ito. Kenapa, karena ia rajin membawakan kail pada Ito saat memancing. Saya pun lalu membetulkan pernyataannya, bahwa yang dimaksudkan adalah kasih sayang dari seseorang kepadanya, bukan yang ia berikan kepada orang lain. Elon lalu menjawab suatu hal yang membuatku sedikit terdiam: kasih sayang yang ia dapatkan adalah dariku. Kenapa, karena saya katanya selalu memberikan pelajaran dan juga memberikan coklat tadi. Saya lalu berterima kasih, lalu meminta Elon menunjuk satu orang untuk gantian berbicara. Tanpa diduga, dia memilih: “bapak guru”!

Dan saya pun menjawab, bahwa saya mendapatkan kasih sayang dari banyak sekali orang di sekelilingku, tapi saya akan menceritakan kasih sayang yang diberikan oleh salah seorang guru Sdku dulu. Saya pun mulai bercerita tentang Pak Marthen, guru kelas Viku yang memang penuh kasih sayang. Di kelas VI dulu, saya bersekolah di sekolah baru tempat mamaku bekerja, sehingga saya pindah dari sebuah sekolah lain ke sekolah itu sewaktu selesai kelas V. Hanya bersepuluh sekelas, kami banyak bereksperimen di kelas. Pak Marthen membebaskan kami membuat catatan sejarah sendiri dari sumber-sumber di luar kelas, yang membuat kami begitu semangatnya sampai mengumpulkan buku-buku tua dari ayah-ibu kami dan meringkasnya menjadi catatan yang tebal. Beliau juga tegas namun penuh pengertian. Saya ingat suatu ketika kami keranjingan main bola kecil dari karet di sebuah kelas yang masih kosong. Hasilnya, dinding kelas yang masih putih mulus itu jadi penuh dengan bekas-bekas bola. Walau marah, namun Pak Marthen tetap memaafkan dan tidak memukul kami. Setelah kejadian itu, kami berhenti bermain di kelas kosong itu lagi. Satu hal lagi yang tidak pernah kulupakan adalah hobiku membuat puisi sewaktu kecil dulu. Pak Marthen menempelkan puisi karyaku di majalah dinding sekolah beberapa kali, dan suatu waktu ia datang dengan kejutan. Ia membuatkanku sebuah puisi, dan memintaku membacakan puisi itu bersama dengan dia di speaker sekolah, yang membuat setiap anak di sekolah bisa mendengarkan suaraku. Saya begitu bangga, dan merasa begitu berharga, mengingat selain puisi, saya hampir tidak bisa menngetahui kelebihan lainnya di bidang seni yang kumiliki.

Mengakhiri ceritaku itu, saya menambahkan, bahwa karena kasih sayang yang kurasakan itulah, saya lalu hari ini memutuskan untuk juga mengajar, dan meneruskan kasih sayang yang pernah kurasakan itu kepada murid-muridku sekarang ini. Mereka, terutama Elon, si anak yang luar biasa badung dan melawan ini, senyap dan memperhatikanku bercerita. Setelah itu, saya mulai merasakan nuansa kasih sayang hidup di ruang kelas ini.

Muba, siswa badung lainnya, lalu bercerita tentang kasih sayang yang ia dapatkan dari ibunya, karena ayahnya kerjaannya hanya mabuk dan memukul mereka anak-anaknya. Walau saya tidak membenci perilaku merokok, tapi hari ini saya bersyukur saya kebetulan bukan perokok. Saya bisa bercerita pada Muba bahwa walau ayahnya rajin merokok dan minum sopi, dia tidak harus menjadi seperti itu. Saya lalu bercerita apa adanya, bahwa ayah saya adalah seorang perokok dan juga peminum, tapi saya memilih untuk tidak menjadi seperti itu.

Selesai jurnal pagi, saya meminta mereka duduk kembali dan menyanyikan lagi lagu ‘kukasihi kau dengan kasih Tuhan’ tadi. Saya lalu menjelaskan, bahwa karena Tuhan adalah maha pengampun dan maha baik, maka dengan lau itu saya berusaha sekuat tenaga mengasihi mereka dengan cara Tuhan mengasihi kami semua. Saya lalu menambahkan, bahwa saat saya marah karena kenakalan mereka, karena ketidak sopanan, karena pembangkangan dan sebagainya, saya cukup melihat wajah mereka, dan berusaha melihat kemuliaan Allah yang ada di dalamnya.

Pelajaran pun saya lanjutkan dengan meminta mereka membuat kartu Valentine berbentuk hati dari kertas HVS dengan dihias menggunakan kertas krep, origami, krayon, dan bahan apapun yang bisa mereka dapatkan. Kartu valentine ini lalu dituliskan ucapan Selamat Hari Kasih Sayang, dan akan diberikan kepada orang yang mereka sayangi.

Hari ini, Puji Tuhannya, kelasku penuh dengan cinta.  Tidak seperti hari biasanya tidak ada perkelahian dalam kelas, Muba pun bisa tinggal sampai akhir kelas. Dan walau tanpa candle light dinner, hiasan merah jambu dan berbagai pernak pernik lainnya, cinta itu tetap ada di udara. Semoga di tempat anda berada, hari cinta kasih ini juga meninggalkan kesan yang mendalam, seperti yang terjadi pada saya. Semoga cinta selalu ada dalam hati kita, Selamat Hari Kasih Sayang!

Wadankou, 14 Februari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua