Komunikasi ‘Jaman Batu’ yang Menyenangkan!

Dedi Kusuma Wijaya 18 Desember 2011

Saya pernah berkunjung di salah satu distro di Surabaya kurang lebih dua setengah tahun lalu. Saat itu lagi ngetop-ngetopnya anak muda kembali ke produk jaman dulu, seperti kamera lomo, polaroid, dan demam retro-retroan. Salah satu label yang menjual produk jaman lampau itu mencantumkan taglinenya sebagai berikut: because future is boring. Wah, cerdas sekali, pikirku, masa depan membosankan! Memang sih, kecanggihan dan kemudahan ini itu membuat kita sangat terbantu, tapi yah untuk beberapa hal produk masa lalu, seperti kamera analog, atau polaroid, mempunyai kesenangannya sendiri. Kita lebih ‘berusaha’ dalam mendapatkan sesuatu, lebih menghargai kerja keras dan keahlian fotografer misalnya, alih-alih kemodernan kamera atau kelihaian sentuhan Photoshop.

Itu kalau di bidang perkameraan. Saya ingin menceritakan pengalaman saya mencicipi ‘produk’ masa lalu juga dalam hal metode berkomunikasi. Biasanya, di kota kita sudah terbiasa dengan gadget canggih. Kalau dulu SMS sudah membuat waktu berbalas komunikasi lebih singkat, dengan Blackberry Messengger (BBM) waktu tunggu jawaban menjadi lebihhh singkatt lagi. Terlambat 30 detik saja tidak dibalas kita sudah di Ping! Bolak balik.  Untuk mengirimkan data, tidak perlu lagi kurir dan sebagainya, cukup lewat e-mail, yang dipersingkat lagi dengan adanya sistem push e-mail ketelepon pintar kita. Adanya tablet malah membuat meja kerja ibaratnya sudah bisa dibawa ke mana-mana. Sewaktu di Jakarta bahkan kalau BB saya ketinggalan di kosan, saya sudah seperti tidak memakai celana rasanya. Pengen buru-buru pulang dan mengambil telepon pintar itu.

Tapi sekarang, di Tanimbar, saya ingin mengatakan kalau betul, kadang-kadang kecanggihan memang sedikit ‘membosankan’. Saking canggihnya media komunikasi antara orang ini, sentuhan komunikasinya sudah tidak meninggalkan kesan yang mendalam lagi. Segala informasi datang dan pergi dengan cepat. Trus, bagaimana dong yang asik? Mari kuceritakan awal perkenalanku dengan komunikasi model lawas ini.

Sejak awal mendarat di Saumlaki, kam isemua sudah tahu bahwa dari tujuh desa yang kami tempati, hanya desa Ratih saja yang bersinyal. Yang lain harus membiasakan hidup tanpa komunikasi telepon. Baiklah, kami sudah siap dengan itu semua, walau memang belum kebayang bagaimana bentuknya. Setelah tiga hari di Saumlaki, kami pun berpisah jalan, saya, Sandra, Matilda, Bagus, dan Fira (staff kantor pusat yang mengantar kami) berangkat dengan ferry untuk menuju Larat. Sandra turun di desanya waktu itu, Labobar, dan kami berempat sisanya turun di Kota Larat keesokan paginya. Matilda sudah ditunggu oleh kepala sekolahnya, yang langsung membawa mereka melaporkan diri ke UPTD. Setelah melaporkan diri, Fira ikut mengantarkan Matilda ke desanya dengan ojek, dan nantinya akan kembali lagi ke Larat untuk bergabung dengan kami yang akan berangkat ke Adodo Molu dengan ferry tengah malamnya.  Saya dan Bagus pun beristirahat di sebuah hotel yang sangat gelap, dan malamnya pergi ke pastoran sambil menunggu Fira.

Fira pun datang, dan sambil menunggu waktu ferry berangkat, kami berbincang-bincang dengan frater Marsel di pastoran. Tiba-tiba saya tersadar bahwa ada hal yang belum disampaikan ke Matilda, yaitu waktu kami ketemuan lagi dan beberapa hal lain. Saya baru menyadari bahwa karena tidak ada sinyal, tidak ada jalan lain untuk memberi kabar ke Matilda selain lewat surat. Akhirnya selepas dari pastoran, sebelum menuju ke pelabuhan ferry, kami pergi ke penginapan, mengambil secarik kertas dan menulisnya untuk Matilda. Surat ini lalu dititipkan ke pengelola penginapan untuk diteruskan ke kepala sekolah Matilda yang katanya akan ke Larat keesokan harinya. Selesai menulis surat itu saya setengah takjub, mengingat ini pertama kali saya menulis surat dengan tulisan tangan setelah terakhir kali bersurat-surat waktu SD kelas 6 dulu. Saya tidak menyangka, di tahun di mana orang sibuk ber-Ipad dan Galaxy Tab, satu-satunya model komunikasi untuk memberi pesan adalah dengan menulis surat, tanpa bisa mengetahui balasannya. Oh yah, karena akses yang sulit, tidak ada pak pos yang bisa mengantarkan surat ke desa. Biasanya surat hanya akan dipul di kantor pos di Kota Saumlaki atau Larat saja, dan adalah tugas kita untuk mengambil sendiri kiriman di kantor pos.

Setelah bersua lagi dengan Matilda dan teman-teman lain beberapa minggu kemudian, kami pun merancang sistem pemberian komunikasi antara kami, para Pengajar Muda. Untuk memberi info ke Dissa, teman yang letak desanya paling dekat dari Saumlaki, kami harus menelepon salah seorang kenalan Dissa di terminal angkot, dan meminta kepada bapak itu untuk memberikan pesan kepada angkot yang berangkat ke desanya setiap hari. Atau bisa juga dengan langsung datang ke terminal dan menunggu datangnya mobil angkot ini dan menitipkan surat ke sopirnya. Untuk Arum, sedikit lebih ‘mudah’. Arum membeli sebuah telepon Vsat (satelit), dan kadang-kadang seminggu sekali menyempatkan diri untuk menelepon mamanya di Jakarta. Nah, yang bisa kita lakukan adalah menelepon mamanya di Jakarta, dan seandainya Arum menelepon mamanya, tersampaikanlah pesan kita! Sandra di Wunlah, kalau ingin dihubungi ada dua cara. Yang pertama adalah dengan melalui radio SSB. Radio SSB ini adalah radio navigasi yang dulu banget sering digunakan. Tidak nyangka saya akhirnya saya  mencicipi `menggunakan radio ‘roger roger’ ini di tahun 2011 ini.  Nah, di Kantor Camat Wunlah ada seperangkat radio SSB, sehingga kalau kebetulan orang Wunlah ada yang memonitor radio itu pada saat kita memanggilnya, maka kita bisa mengirimkan pesan ke Sanra. Kalau tidak, pesannya bisa disampaikan kepada Aguan, seorang pengusaha di Kota Larat, yang nanti akan meneruskan pesan itu ke Kapal Motor Wunlah yang datang ke Larat. Metode pengiriman pesan lewat Aguan ini juga berlaku untuk saya dan Bagus.  Untuk Matilda, di desa tetangganya, Lamdesar Timur, ada sinyal, sehingga setiap akhir pekan Matilda akan berjalan kaki kurang lebih 3 kilometer untuk mencari sinyal. Nah, kadang kalau sms yang dikirimkan sampai pada saat Matilda sedang di daerah bersinyal, ia bisa menanggapi.

Isi pesan kami sendiri tidak jauh dari permintaan untuk pergi ke Saumlaki untuk rapat atau sejenisnya. Beberapa kali saya menerima pesan ini, dengan cara yang beragam pula. Pernah suatu waktu Bagus sedang menginap di tempatku. Pagi harinya, ia ikut ke sekolah untuk membantu mengajar anak-anakku. Karena ada sesuaut yang ketinggalan di rumah,dari sekolah pada saat istirahat kami pun kembali ke rumah tempat tinggalku. Di ruang tamu, sudah ada beberapa bapak-bapak dari KPU yang sedang melakukan finalisasi pendaftaran pemilih (beberapa bulan lalu diadakan Pemilukada di Kabupatenku). Saya pun ikut duduk dan berbincang-bincang dengan bapak-bapak itu. Setelah mereka semua berdiri dan mau pulang, tiba-tiba Bung Arman, pengendara speedboat yang adalah anak buah dari Aguan, pengusaha yang kuceritakan di atas, menghampiriku dan memberikan sepucuk surat yang dititipkan dari teman-teman di Saumlaki. Entah kenapa tidak dari tadi dia muncul dan memberikan surat itu. Saya membaca sekilas surat itu, yang menjelaskan bahwa ada perusahaan yang mau bekerja sama dengan kami untuk mengadakan acara di Saumlaki, dan kami diminta untuk memberi kabar secepat mungkin kapan bisa berangkat ke Saumlaki. Surat itu begitu mendesak, terutama karena balasannya harus dikirimkan bersama dengan speedboat rombongan KPU ini. Si rombongan KPU padahal sudah berjalan ke pantai, mereka mau melanjutkan perjalanannya ke desa Adodo Molu, desa tetangga yang juga adalah desa Bagus. Tidak ada plilihan lain, saya langsung mengambil laptop¸ meninggalkan tas dan perlengkapan ajarku lainnya yang ada di sekolah dan ikut ke Adodo Molu. Setelah berdiskusi dengan Bagus, kami pun menulis surat balasan, dan saya akhirnya harus menginap semalam di Adodo Molu dan keesokan harinya baru berjalan kaki pulang ke desaku.

Karena desa Bagus adalah pusat kecamatan sekaligus tempat ferry berlabuh, surat lebih sering dititipkan ke dia, dan dia lalu meneruskan isi suratnya kepadaku. Beberapa kali surat dari teman-teman atau dari dia sendiri dititipkan lewat anak sekolah Wadankou yang bersekolah di Adodo Molu, dan balik ke Wadankou pada akhir pekan. Pernah juga ia menitip pesan, bahwa ia akan datang ke Wadankou keesokan harinya. Ini karena pesannya agak penting dan butuh diskusi, sehingga ia memerlukan untuk datang langsung dan berdiskusi denganku.

Tapi tidak ada yang paling heboh dengan kisah surat yang satu ini. Satu hari di hari Rabu, saya sedang berada di sekolah jam 2 siang. Saat itu saya baru saja mau memulai les tambahan untuk anak kelas VI. Anak-anak sedang berkumpul di depan meja guru ketika tiba-tiba seorang anak di kejauhan berteriak: “Pak Bagus, Pak Bagus datang!” Hahh,saya langsung kaget, pasti ada sesuatu yang sangat penting lagi nih. Bagus datang, dengan badan keringatan dan muka gosong terbakar matahari, tanda bahwa dia baru saja berjalan kaki dari desanya. Setelah duduk dan mengambil nafas sejenak, ia menjelaskan kepadaku sebuah kisah yang agak seperti di film-film. Ceritanya, tadi pagi saat waktu istirahat, Bagus yang mengajar di SD berjalan ke arah SMP, untuk sebuah keperluan. Kebetulan, di saat bersamaan Bapak Kepala Puskesmas sedang ada di rumah dan kebetulan sedang menyalakan radio SSB (satu-satunya radio SSB di kecamatanku ada di rumah Kepala Puskesmas).  Baru saja dinyalakan, sudah ada yang memanggil: “Molu Maru, Molu Maru, monitor”.  Si bapak mantri ini kaget, dan langsung membalas si pemanggil. Rupanya yang memanggil via radio itu adalah kapten Kapal Ferry Egron yang sedang berlayar dari Larat menuju Adodo Molu. Ia mengabarkan bahwa saat itu di atas kapal sudah ada 5 orang teman Indonesia Mengajar, yang mau datang ke Adodo Molu untuk mengadakan rapat. Karena mereka tidak menginap dan akan pulang kembali dengan ferry (ferry hanya berhenti di Adodo Molu selama sejam dan langsung jalan lagi ke Larat), maka Kapten Ferry menyampaikan pesan agar Bagus pergi memanggil saya datang ke Adodo Molu. Demikian pesan singkat yang sungguh penuh kebetulan itu. Karena kebetulan Bagus lewat depan rumah Pak mantri, si Bagus langsung disampaikan pesan tersebut. Saat itu pukul 11.00, dan ferry akan tiba tepat pukul 15.00. Tanpa ba bi bu, Bagus langsung mengambil langkah. Ia mau meminjam speedboat  kecamatan, namun saat itu Pak Camat tidak ada dan bensin sedang kosong, speed tidak bisa digunakan. Akhirnya diantar oleh anak Wadankou yang bersekolah di SMA Adodo Molu, Bagus pun berjalan memanggilku. Ia sampai di kelasku tepat jam 13.00,  dan karena mengejar waktu datangnya ferry, saya sekali lagi meninggalkan anak-anakku di sekolah, dan langsung berjalan kaki ke Adodo Molu. Kami berjalan tanpa istirahat, dengan langkah kaki yang stabil tanpa direm. Tepat jam 15.00, kai berada di bukit di atas desa Adodo Molu, dan sungguh luar biasa, ferry tampak sedang mendekat menuju desa. Semua kebetulan ini begitu tepat waktunya!

Saya yang sudah penuh peluh pun menunggu bersama Bagus di tepi pantai. Dari kejauhan tampak keima temanku yang turun dari ferry menggunakan lifevest pemberian kantor yang sangat ngejreng itu. Karena ferry hanya berhenti selama sejam, kami pun langsung pergi ke rumah Bagus untuk minum teh dan makan kue yang sudah disediakan oleh mama piara Bagus. Misi anak-anak datang ke Adodo Molu ternyata adalah untuk ‘menculikku’ dan Bagus, untuk melakukan rapat sepanjang perjalanan ferry ke Larat. Materi rapat sendiri seputar rencana menindaklanjuti penawaran kerjasama dari Inpex. Waktu sejam tentunya tidak cukup untuk merapatkan keputusan mengambil atautidak tawaran itu, dan menyusun strategi presentasi dengan Inpex.  Baiklah, kami lalu menyetujui acara penculikan ini. Terutama karena kisah berangkatnya mereka berlima yang sungguh seperti di novel-novel (moga-moga kisah ini benar dinovelkan deh,hehe). Jadi ceritanya, awalnya yang berbicara dengan pihak Inpex adalah tiga orang yang saat itu sedang berada di Saumlaki: Dissa, Arum, dan Ratih. Melihat bahwa perkembangan kerja sama ini membutuhkan pembicaraan lebih lanjut dengan teman-teman lainnya, mereka memutuskan untuk mengumpulkan semua teman yang lain. Dissa pun mengawali dengan coba mengsms Matilda. Betapa kebetulannya, ternyata saat itu Matilda kebetulan sedang berada di Lamdesar Timur yang bersinyal. Disepakatilah bahwa Matilda akan pergi ke Larat hari Selasanya, untuk kemudian naik ferry ke Larat. Adanya kabar dari Matilda membuat tiga orang ini memutuskan untuk naik ferry. Saat ferry berhenti di Wunlah, mereka mau turun dan memanggil Sandra untuk ikut serta. Sekali lagi, betapa kebetulannya ketika ternyata saat mereka mau turun, Sandra naik ke atas ferry. Ternyata Sandra memang berkeinginan ke Larat untuk membeli perlengkapan sekolah. Dihinggapi kebetulan yang luar biasa itulah mereka memutuskan meneruskan perjalanan ke Adodo Molu, yang ternyata memang mendatangkan kebetulan yang begitu menarik, di mana kami bertujuh lalu bisa berkumpul bersama.

Telekomunikasi, memang masih barang yang tergolong baru di Kepulauan Tanimbar ini. Dari 70an desa yang ada di sini, desa yang bersinyal hanya sepertiganya saja. BTS pun hanya ada di beberapa titik, di Saumlaki, Selaru, Tutukembong, Seira, dan Larat. Di Kota Larat, kota kedua terbesar di kabupaten, BTS dengan ukuran besar baru saja dibangun Januari 2011. Sebelumnya pemancar yang digunakan hanya parabola yang mampu memancarkan sinyal dalam radius 100 meter saja, sehingga setiap hari orang berkumpul di sekitar parabola itu untuk menelepon. Itupun tidak bisa banyak-banyak, sehingga mereka bergantian menggunakan sinyalnya. Sekarang di Larat BTS Telkomsel sudah diperbesar kapasitasnya, walau kadang-kadang sinyalnya suka hilang dan untuk ber-BBMan harus menunggu sampai pukul 2 dinihari dulu. Tampaknya si BTS belum mampu mengantisipasi bertumbuhnya pengguna ponsel. Itu di Larat, di Tutukembong kualitas sinyalnya jauh lebih parah. Saat sedang liburan di Makassar, bapak piara Bagus menelepon dari Tutukembong, dan sepanjang pembicaraan suaranya seperti Robocop sedang batuk, gak jelas samasekali. Di Seira juga begitu, saat menelepon lawan bicara seperti mendengarkan suara dari telpon-telponan kaleng susu kental manis. Di Saumlaki, yang kualitas BTSnya paling bagus, tidak ada masalah dengan penggunaan ponsel untuk telpon atau SMS, namun untuk internet masih jauh dari harapan. Kalau hiperbolisnya, seperti lagunya Warna: ‘sekarang atau lima puluh tahun lagi, browsernya tetap saja tidak jalan’ :p. Mana warnet juga jarang dan kalaupun ada masih sangat lambat.

Pada akhirnya, di semua keterbatasan komunikasi itu, saya jadi belajar untuk sangat menghargai sesuatu yang beyond the gadget, yaitu komunikasi antara manusia itu sendiri. Saya sungguh menghargai setiap surat yang datang, setiap pertemuan yang tak terencana, mensyukuri setiap pesan yang tersampaikan, dan mau going extra mile untuk menghubungi seseorang. Jadi, setelah semua itu, memang kadang-kadang ‘kejamanbatuan’ itu menyenangkan yahh..:)

Saumlaki, 15 Januari 2011 


Cerita Lainnya

Lihat Semua