info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Fakloutar Banyak

Dedi Kusuma Wijaya 29 Januari 2012

Beberapa hari terakhir ini saya membaca buku Indonesia Mengajar, yang merupakan kumpulan tulisan para Pengajar Muda Angkatan I. Saya secara khusus tertarik akan tulisan teman-teman Pengajar Muda yang bertugas di Halmahera Selatan, karena kurang lebih pengalaman yang mereka ceritakan tidak jauh beda dengan yang saya temui. Anak-anak yang diceritakan oleh mereka mirip dengan anak-anak yang saya geluti tiap hari. Memang setelah tujuh bulan di sini, saya mulai bisa mengetahui karakter umum anak-anak di sini, yang mungkin mewakili anak-anak Maluku kebanyakan (walau sangat mungkin juga tidak). Jadi saat anda bertanya anak Maluku itu seperti apa karakternya, saya sudah punya jawaban yang terdiri dari dua kata: mereka itu fakloutar banyak. Benda apa fakloutar itu? Akan kuceritakan sembari cerita ini berjalan.

Anak Maluku, dan juga orang dewasanya, sangat ekspresif. Saat sedih, mereka akan menangis tersedu-sedu, dan saat bahagia mereka akan bahagia sebahagia-bahagianya. Saya pernah menceritakan hal ini pada tulisan saya yang menceritakan kebiasaan acara joged di sini. Dalam suatu acara perpisahan, orang sebagian besar akan menangis tersedu-sedu sampai sesenggukan, namun saat acara joged yang merupakan penutup acara perpisahan (dan juga acara-acara lainnya) dilakukan, orang akan sangat berbahagia, mereka kuat berjoged sampai pagi, baik anak-anak maupun kakek-nenek. Dan begitu pula yang kutemui pada anak-anakku ini. Mereka bukan Cuma ekspresif pada saat sedih dan senang juga, tapi juga sangat cepat dan total bereaksi saat sedang marah atau bete. Kalau diibaratkan sumbu kompor, anak-anak ini adalah sumbu yang pendek dan sudah penuh direndam minyak tanah. Sedikit api saja akan membuat ‘apinya’ menyala.

Sebagai contoh sewaktu anak-anak sedang mengerjakan soal latihan untuk Olimpiade Sains Kuark. Penghapus yang saya berikan Cuma satu, sehingga kalau ada yang salah mereka harus bergantian menggunakan penghapus yang ada. Saat mau mengambil penghapus, anak yang satu akan tanpa ragu-ragu mengambil penghapus yang sedang dipegang oleh temannya. Yang terjadi adalah satu anak akan mulai berteriak, mengeluarkan makian, dan mukanya mulai cemberut. Kalau sudah seperti itu, mereka akan mulai membuat keributan.

Kelasku, kelas IV, sudah porak poranda karena cepatnya anak-anak ini tersulut. Ceritanya saat saya sedang pergi ke Saumlaki, anak-anak ini kebanyakan tidak belajar. Jadilah di kelas mereka saling mengganggu. Saat yang satu marah, ia akan mulai merobek hasil karya temannya yang selalu kutempel di dinding. Lalu yang karyanya dirobek, akan merobek yang lain. Dan karena saling merobek sudah terjadi, barang-barangku juga kena bagian. Peta Indonesiaku sudah tak bersisa saat saya datang ke sekolah, katanya anak-anak yang berkelahi sudah memusnahkan peta itu sampai sisanya entah ada di mana. Aturan kelas juga sudah sobek, celengan bolong, kardus-kardus untuk bahan belajar lenyap, gambar kerangka sudah tidak lengkap lagi karena tulang panggul dan kaki tidak melekat di tembok lagi.

Itu kalau perkelahiannya antar kelas. Pernah satu waktu anak kelas V dan VI saling mengganggu. Salah seorang anak kelas V menghina salah seorang anak kelas VI, sehingga anak kelas VI yang marah ini langsung menyerbu kelas V dan menyobek semua hiasan kelas mereka. Kelas V pun balik menyerbu kelas VI, dan akhirnya ujungnya mereka datang kepadaku sambil menangis-nangis karena semua gambar yang mereka gunting dan tempel di kelas telah hancur. Kadang mereka tidak sampai merusak, hanya sebatas berteriak-teriak saja. Tapi karena anak-anak ini terbiasa dengan volume speaker dan pita suara yang besar, tetap saja darahmu akan langsung melompat ke ubun-ubun mendengarnya.

Tapi bagi saya, masih mending kalau reaksi mereka itu marah atau berteriak, dibanding kalau mereka ngambek. Anak-anak ini suka ngambek, dan saat ngambek mereka tidak mau melakukan apa-apa. Baru-baru ini saya mengajak tiga anakku: Engge, Nindy, dan Tesi untuk pergi menemaniku yang akan pergi rapat ke ibukota kecamatan di Adodo Molu. Maksudnya adalah untuk tetap bisa menyiapkan mereka dalam mengikuti Olimpiade Sains Kuark. Saya saat itu tidak menyadari, bahwa hobi ngambek mereka ini akan membuat kepalaku pening. Tiga hari di Adodo, mereka bergantian ngambek satu sama lain. Ngambeknya pun sederhana, biasanya karena saling mengganggu, atau ada perkataan yang menyakitkan hati. Saat sudah begitu, pihak yang ngambek langsung cemberut dan melakukan hal-hal aneh. Nindy selalu berjongkok di luar rumah, tidak peduli itu sedang gelap atau sedang hujan. Tesi langsung menghilang, atau kalau tidak tidak mau melakukan apa-apa. Engge yang tergolong jarang ngambek juga sempat ‘melakukannya’ sewaktu mau ke gereja dan baju yang dipakainya kependekan. Ia langsung cemberut dan pelan perlahan mulai menangis. Kalau sudah ada yang ngambek, maka dua orang anak lainnya langsung berkata kepadaku: “Bapak, dia ini fakloutar banyak”. Dari sinilah saya menemukan kata itu, kata yang merepresentasikan karakteristik anak Wadankou: mereka hobi sekali fakloutar! Kalau diIndonesiakan, fakloutar ini kurang lebih berarti ngambek dan sekaligus merajuk untuk mendapatkan sesuatu.

Setelah mendapatkan kosakata ini, entah kenapa fenomena fakloutar anak ini semakin banyak terlihat. Tingkat kefakloutarannya pun bisa bermacam-macam. Fakloutar ringan itu yang masih dalam level merajuk. Ini biasanya terjadi saat mereka ada maunya. Hal yang dimaui ini biasanya kamera (mereka senang sekali berebutan memegang kamera dan melihat hasil-hasil foto berulang-ulang sampai baterainya habis), memintaku memainkan film kartun di laptop, sampai minta dibelikan es (ini salahku juga sih, kalau hari panas biasanya saya meminta mereka membeli es dan dimakan bersama-sama). Kalau si anak ini baru mencapai tahap fakloutar ringan, biasanya cukup suara saya buat meninggi, disamakan dengan nada mereka biasanya, tapi dengan penekanan yang ramah. Jelasinnya njlimet, yah?hehe.

Ada lagi fakloutar sedang. Faklutar sedang ini terjadi saat mereka mulai ada yang saling mengganggu, atau sehabis saya tegur dengan agak keras. Anak-anak biasanya langsung memakan muka kaku seperti patung lilin, bibir cemberut, dan berdiam diri. Penyebab fakloutar sedang ini biasanya kalau mereka sudah saling mengganggu dan satu orang mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan, atau mereka benar-benar desperately menginginkan sesuatu dariku dan mulai merajuk.  Untuk fakloutar sedang, treatment yang saya berikan biasanya adalah didiamkan dulu, didekati, dan lalu diajak bercanda. Kadang kalau momennya saya rasa pas saya berikan hadiah kecil, seperti permen atau uang untuk membeli es. Jadi walaupun agak membuat senewen, fakloutar sedang masih dalam rentang kendaliku.

Berbeda dengan fakloutar tinggi. Biasanya kalau ada anak yang sedang fakloutar tinggi, seorang anak sisa datang kepadaku dan melapor: “pak, anak ini di fakloutar. Di buat di pu mau-mau saja” (mungkin artinya anak ini lagi ngambek, kelakukannya seenak hatinya saja). Anak yang fakloutar tinggi inilah yang sungguh menguji kesabaran. Kalau kesabaran itu ada tes TOEFLnya, guru yang bisa mengatasi anak yang fakloutar tinggi dengan baik ini mestinya TOEFLnya sekitar 600an lah.  Si fakloutar tinggi ini biasanya langsung duduk sendirian, kadang menangis, sering juga disertai dengan kata-kata kontraproduktif. Contoh kata-kata itu adalah: “ah, bet pi mati sudah” (mending saya mati saja), “ah, pamalas!” (malas ngapa-ngapain), atau  “..........” (diam seribu bahasa dengan muka terlipat). Lebih menyebalkan kalau fakloutarnya saat sedang mengikuti sesuatu, seperti persiapan Olimpiade Sains Kuark ini. Mereka langsung minta diganti, atau bilang tidak mau ikut lagi. Kalau  guru-guru tidak menyisihkan kesabaran ekstra, pasti mereka dibiarkan saja tidak ikut kegiatan itu. Waktu natal kemarin, misalnya, karena saya harus ke Saumlaki untuk mengadakan acara kabupaten, saya meninggalkan naskah drama ke salah satu guru honor untuk melatihkan drama itu ke anak-anak. Nah, baru memasuki tahap casting, Sipora menolak peran sebagai Maria, karena ia tidak mau dipasangkan dengan Helmi yang menjadi Yusuf. Apalagi anak lain mulai menceng-cengin dia. Mulailah Sipo mengeluarkan jurus fakloutar tinggi. Ia ngambek, mati-matian tidak mau mengambil peran Maria. Bapak guru yang sudah tidak tahan lagi akhirnya merobek habis naskah drama, yang tidak kusediakan copyannya. Akhirnya bersama dengan terbangnya robekan kertas naskah, terbanglah rencana mengadakan drama Natal sekolah ini.  Pertanyaannya, kalau fakloutar lain sebabnya bisa diidentifikasi, bagaimana dengan fakloutar tinggi ini? Sayang sekali, penyebabnya sering kali tidak jelas. Tiba-tiba saja anak A yang lagi ceria-cerianya langsung murung. Atau yang B langsung menangis dan tidak mau bergabung dengan teman-temannya. Saat saya mengajar, bisa tiba-tiba satu orang sudah tiduran karena fakloutar. Atau mereka mulai tidak memperhatikan, atau mulai mengadu satu sama lain. Dan justru karena ketidakjelasan penyebabnya inilah yang membuat saya sungguh dilatih kesabarannya untuk mengatasi anak fakloutar ini. Kalau pendekatannya terlalu halus, anaknya tidak akan bergeming. Kalau terlalu keras, seperti dengan mengusir mereka atau membuat mereka mengundurkan diri saja, mereka akan melakukannya. Sudah ada beberapa kasus di mana karena anak ini dipukul oleh guru, akhirnya yang terjadi adalah putus sekolah. Apalagi guru-guru sering menggertak dengan mengatakan kalau anak tidak begini, tidak begitu, tidak usah datang lagi ke sekolah. Kalau di kota, sih, mungkin saja itu mempan, karena anak-anak yang butuh sekolah. Kalau di sini, anak-anak dengan mudahnya drop out, sehingga ‘menantang’ mereka untuk tidak masuk sekolah lagi sama saja dengan membuka jalan untuk ketidakmasukan mereka sampai seterusnya. Dengan keadaan seperti itu, tidak ada jurus yang pasti dalam mengatasi fakloutar. Harus memperhatikan banyak aspek, seperti siapa pelakunya, apa penyebabnya, situasinya seperti apa, dsb.

Jadi itulah sedikit cerita tentang pemetaan karakter anak Wadankou, yang membuat sebagai guru, saya sungguh dituntut mempunyai jurus ekstra dan kesabaran setebal tank. Semoga calon penggantiku di sini sudah membaca tulisan ini, sehingga siap sedia dengan amunisi untuk menghadapi anak-anak fakloutar ini J

Wadankou, 3 Februari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua