Billiar Kampung dan Hymne Guru

Dedi Kusuma Wijaya 24 Desember 2011

Cerita ini adalah sebuah komedi satir yang begitu lucu sekaligus menggetirkan bagiku, jadi kalau mungkin kesan yang ditangkap biasa saja, anda memang harus mengalaminya sendiri.

Cerita pertama adalah tentang sedang adanya mainan baru di kampung saat ini: meja biliar. Ceritanya, bapak guru Sainlia, bapak guru paling senior di sekolahku yang sekaligus tetanggaku, sudah menyiapkan uang untuk menjadi modal usaha anak tunggalnya, Ampi, atau yang biasa dipanggil Opa, yang usianya saat ini sekitar 21 tahun dan telah berkeluarga.  Bapak Sain telah menitipkan uang 8 juta ke pengusaha di Larat sebagai uang muka pembelian sepeda motor, yang nantinya akan dipakai oleh Opa untuk menjadi tukang ojek di Larat.  Tapi di kampung beberapa waktu terakhir memang sedang muncul idebisnis yang sangat hangat, yaitu usaha tempat biliar. Hal ini dilatarbelakangi kegandrungan warga kampung yang saat ke Larat selalu pergi bermain biliar. Mereka pun mulai hitung-hitungan tentang keuntungan yang bisa didapatkan kalau membuka usaha ini. Saudaraku di rumah termasuk yang berminat membeli biliar, tapi karena tidak punya uang sama sekali, ia sebatas menghitung-hitung potensi keuntungan saja. Tidak diduga, saat para anak-anak muda masih mendiskusikan masalah biliar ini, Pak Ongir, pengusaha paling sukses di kampung, langsung datang membawa sebuah meja biliar bekas yang sudah butut ke kampung dan membuka tempat biliar di rumahnya. Dalam seminggu, omset meja biliar ini sudah menembus angka 1,2 juta, katanya. Tanpa pikir panjang, Opa langsung pergi ke Larat, mengambil uang panjar sepeda motornya dan langsung membeli meja biliar anyar di Larat yang harganya 7 juta rupiah.

Pulang ke kampung, Opa langsung memasang tenda di depan rumahnya, membuat cor-coran segbagai tempat pijakan meja, dan membuka tempat biliar kedua di kampung.  Orang-orang, terutama laki-laki, mulai sibuk membicarakan biliar ini. Kata salah seorang guru rekan kerjaku, biliar milik Opa potensi larisnya lebih tinggi, karena masih ‘buka plastik’ (istilah untuk menyebut barang anyar) dan lokasinya terletak di jalan utama (bayangkan, kampung kecil ini juga sudah punya istilah jalan utama segala). Dan memang, dalam sekejap biliar milik Opa ini menjadi primadona di desa. Opa tinggal duduk-duduk saja menunggui mejanya yang bertarif 2 ribu rupiah sekali main, dari siang sampai malam sampai pagi lagi, tanpa perlu kerja keras. Sementara bapak-bapak lain, tiap pagi harus pergi menggayung sampan ke daerah budidaya rumput laut untuk memasang atau memanen, memikul rumput laut itu sampai ke tempat penjemurannya di kampung. Dan uang hasil penjualan rumput laut itu langsung ‘disetorkan’ kepada Opa lewat perantaraan meja biliar. Tanpa perlu keringat, Opa dalam dua bulan ini sudah meraup keuntungan sekitar 5 juta, hampir menutupi modal yang ia keluarkan.

Pesona biliar ini rupanya juga menarik perhatian guru-guru di sekolahku. Sebagai informasi, guru di sekolahku ada 4 orang PNS dan 2 guru honor, ditambah saya. 4 orang PNS ini adalah kepala sekolah, Pak Fecky dan istrinya, Ibu Watun, yang sedang hamil, bersama Pak Sainlia, ayah Opa si juragan biliar. Sementara 2 guru honornya adalah bapak Edi dan Yanto yang sepantaran dengan saya. Pak Edi, Pak Yanto, dan Pak Kepsek rupanya menggandrungi olahraga biliar ini juga. Pada kamis minggu lalu, mereka bertiga menyodok biliar sampa jam setengah 5 subuh, membuat pak kepsek datang dengan sangat mengantuk ke sekolah dan ujung-ujungnya memulangkan anak sekolah pada jam 9.15 pagi.

Kalau ketiga guru ini gandrung biliar,  sebaliknya dengan Pak Fecky. Ia adalah tipe family man sejati, yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, dan paling rajin datang sekolah. Ia beberapa waktu terakhir bercerita denganku, bahwa ia kaget karena anak-anak tidak tahu lagu Hymne Guru. Ia meminta anak kelas 6 menyanyikan lagu itu, namun mereka ternyata tidak tahu. Akhirnya Pak Fecky menjadi terobsesi Hymne Guru. Setiap ada kesempatan ia selalu berusaha mengajarkan Hyne Guru kepada anak-anak.

Nah, sabtu dua minggu lalu, saya harus ke Adodo Molu untuk bertemu dengan Pak Camat sekaligus menyiapkan acara pertemuan guru-guru. Karena saudara piaraku hanya mau mengatarkan di pagi hari, saya dengan terpaksa harus membolos sekolah pagi itu. Namun saya berencana untuk datang dulu ke sekolah dan meminta ijin kepada kepala sekolah. Dan pergilah saya ke sekolah. Sampai di sekolah, hanya ada Pak Fecky sendirian. Ibu Watun sedang sakit sehingga tidak datang, sedang keempat guru lain tidak muncul. Pak Yanto memang sewaktu itu sedang pergi ke Desa Nurkat tempat ayahnya bertugas untuk panen rumput laut, sehingga tersisa tiga bapak guru yang seharusnya masuk sekolah di hari Sabtu itu. Saya juga tidak enak meninggalkan Pak Fecky sendirian, tapi saya juga harus berangkat pagi itu, sehingga tidak ada jalan lain.  Sebelum pergi, saya dan Pak Fecky berdiri berdua, menghadapi anak-anak dari kelas 1-6 yang berbaris di depan untuk apel, dengan ruangan-ruangan yang masih terkunci karena kuncinya dibawa oleh Pak Edi.  Dengan berat hati, saya pun meninggalkan Pak Fecky dengan anak-anak yang sedang apel itu. Pak Fecky tampak sedikit kikuk dengan keadaan itu, namun saya pun berlalu.

Beberapa hari berikutnya, saat Pak Fecky datang ke Adodo Molu, dia menceritakan yang terjadi di sekolah waktu itu. Pak Fecky masuk ke kelas 3, memberi pengajaran untuk mereka. Sedang asik mengajar, anak kelas VI sudah mulai berhamburan keluar, diikuti kelas lainnya. Ia baru sadar kalau jam sudah menunjukkan pukul 09.00, dan tidak ada sebijipun guru yang menunjukkan batang hidungnya. Akhirnya Pak Fecky mengumpulkan semua murid di kelas 4 dan mulai menuliskan lirik Hymne Guru (lagi-lagi) di papan tulis.  Daripada tidak ngapa-ngapaen, ia memutuskan melanjutkan obsesinya mengajarkan Hymne Guru. Dan mulailah anak-anak menyanyikan lagu ‘Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru’ itu, di keadaan sekolah yang hanya seorang guru yang masuk.

Rupanya, para guru ini tidak masuk dalam kombinasi yang unik. Pak Sain beritndak sebagai penjaga biliar, sehingga kecapaian karena harus membantu sampai tengah malam. Sementara Pak Sain menjaga biliar, yang bermain adalah Pak Edi dan Pak Kepsek. Tidak heran ketiga-tiganya KO dan tidak mampu bangun untuk datang ke sekolah. Lebih lucu lagi karena ketidakhadiran mereka bertiga ini  ‘disambut’ murid-murid denga lagu Hymne Guru, yang isinya puja puji atas jasa para guru. Mungkin untuk kasus Wadankou, lagu Hymne Guru ini bukan merupakan wujud syukur atas kehadiran para pelita dalam kegelapan ini, tapi mungkin wujud kerinduan akan tidak kunjung datangnya para guru itu di sekolah...:p

Wadankou, 4 Februari 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua