12 ‘Rasul’ Dedi
Dedi Kusuma Wijaya 11 Februari 2012Setiap di desa, saya tidak pernah lepas dari anak-anak. Setiap berjalan ke manapun itu, ada saja anak-anak yang mengikutiku. Jadi kalau saya berjalan dari rumah ke pantai misalnya, pasti ada saut dua anak yang berjalan di belakangku. Kalau saya ke warung, demikian juga yang terjadi. Kadang rombongannya banyak, sampai saya teringat sebuah adegan yang ada di film yang merupakan adaptasi dari Injil: Yesus diikuti oleh rasul-rasulnya. Pernah sekali waktu saya duduk di kursi di luar rumah, dan anak-anak duduk rapi di depanku mendengarku bercerita. Saat saya berdiri, mereka lalu bangkit berdiri juga. Seorang anak sampai nyeletuk: ayo murid-murid Yesus, jalan lagi ikut guru. Saya memang tidak bisa disamakan dengan Sang Guru, tapi bolehlah saya sedikit memainkan imajinasiku.
Dari sekian banyak anak yang ada di sekolah, saya memang mengenal semua anak. Hanya saja memang ada beberapa anak yang boleh dibilang menjadi ‘rasul-rasulku’. Mereka yang paling sering datang menghampiriku, apakah saat itu saya memutar film, membacakan cerita, membuka perpustakaan berjalan, mengajar bahasa Inggris, atau sekedar duduk-duduk saja. Anak-anak ini juga yang paling mempunyai keterikatan emosional yang tinggi denganku, dan benar-benar menjadi pengikut setia. Setia ini maksudnya kalau saya minta tolong beli obat nyamuk mereka berebutan membelikan, rajin setor mangga, jagung, kawuli, dan buah apapun itu sesuai musim. Hehe. Tapi sebenarnya yang paling penting itu, mereka adalah yang bergerak mengikuti perubahan yang saya bawa. Mereka mau belajar dan mau diajar olehku, dan sebagian besar memang tergolong anak-anak yang paling aktif dan cerdas di sekolah. Jadi sebagaimana di Injil penulis menceritakan siapa saja para rasul Yesus, saya juga akan menceritakan 12 ‘pengikutku’ yang paling setia ini.
1. Nindy. Bintang paling cemerlang di Wadankou ini (saya menulis satu tulisan terpisah tentang dia) boleh diibaratkan sebagai Rasul Petrus bagiku. Kalau Petrus adalah tangan kanan Yesus walau bukan seorang yang pintar, Nindy adalah ‘anak emasku’ sekaligus adalah anak terpintar sesekolah. Nindy selalu menangis setiap saya akan pergi dalam waktu yang lama, dan selalu paling semangat belajar dariku. Ia punya kapasitas belajar yang tinggi, dan sangat mendengarkan nasehatku. Saat saya minta dia untuk banyak membaca, saya melintas di depan rumahnya dan dia sedang menidurkan adik bayinya sambil membaca komik Kuark. Saya minta dia untuk mengurangi berkata kasar, dan makian saat ini sudah hilang dari kosakatanya. Nindy sudah bisa menyalakan laptopku, memasang speaker, harddisk eksternal, memutar lagu, film, bahkan menscan dokumen. Ia juga fotografer paling jago sesekolah, sehingga saat ada acara yang saya butuh diabadikan di dalamnya, saya akan meminta Nindy untuk memfotonya. Walau kadang suka ngambek, anak jenius yang hitam manis seperti aktris India ini selalu jadi orang yang paling bisa kuandalkan.
2. Tesi. Kalau Nindy duduk di kelas VI, Tesi di kelas V. Seperti Nindy, Tesi adalah siswi serba bisa lainnya dan juga termasuk bintang sekolah. Ia menjadi andalan saat paduan suara, baris berbaris, dan cerdas cermat. Anak bersuara sopran yang cita-citanya ingin menjadi penyanyi ini juga sangat sering mengikutiku, namun tidak sepenurut Nindy. Karakter umum orang Wadankou memang lumayan keras kepala, namun Tesi boleh dibilang termasuk yang paling keras kepalanya. Kalau sedang marah ia tidak segan-segan memukul orang dan mengeluarkan makian. Tesi juga sangat suka merajuk, walau sekarang ini sudah agak berkurang. Ia sering mempersuasiku dengan luar biasa untuk beli es. Saat akhirnya dia kuberi uang untuk membeli es dan es ternyata sedang tidak ada, ia berbalik mempersuasiku untuk membelikan biskuit untuknya dengan segala macam alasan lagi. Walau seirng ngototan dan memaksakan kehendaknya, Tesi tetap rajin membantuku dan kadang menunjukkan bahwa ia mendengarkan nasihat-nasihatku. Suatu hari ia pernah menghina anak-anak Adodo Molu (desa ini memang seperti Indonesia-Malaysia, bertetangga tapi sering bentrok), sehingga dia kumarahin sampai dia menangis. Saya merasa agak bersalah, sampai satu hari, berminggu-minggu setelah kumarahin itu, terjadi sesuatu. Saat itu Lodik,anak kelas VI sedang menghina anak Adodo. Tesi tiba-tiba memarahi Lodik, sambil berkata: “kita tidak bisa bilang desa lain jelek. Semua desa itu baik, kita harus berteman dengan mereka!” Dan hatiku begitu hangat mendengarnya
3. Engge Sainlia. Ada dua anak bernama Engge, sama dengan di murid Yesus ada dua murid yang bernama Yohanes. Engge Sainlia sering disebut sebagai Engge besar, karena posturnya yang lebih tinggi dari Engge Waratmasa, yang duduk di kelas V. Engge besar sendiri duduk di kelas VI. Dibanding anak-anak lainnya, kepribadian Engge jika diceritakan tergolong ‘aman-aman’ saja. Ia kadang juga ngambek, tapi tidak lama seperti beberapa anak yang lain. Bersama Tesi dan Nindy ia menjadi tiga orang paling cerdas dan paling punya rasa ingin tahu yang besar di sekolah. Ayahnya bekerja sebagai mandor bangunan di Wanam, dan sudah pernah merantau ke beberapa kota di Papua. Engge dulu pernah diajak pergi oleh bapaknya ke Jayapura dengan naik pesawat, sehingga ia menjadi satu-satunya anak sekolah yang pernah menginjakkan kaki di kota besar dan sekaligus naik pesawat.
4. Engge Waratmasa. Engge yang satunya, secara akademik tidak secemerlang Engge yang satunya maupun Nindy dan Tesi, namun punya semangat belajar yang sangat tinggi. Dia selalu meningatkanku untuk makan siang atau memijatku saat saya sedang sakit. Memang dia setiap hari tidur di rumahku (yang memang tiap hari ditiduri banyak orang), karena mamanya adalah anak dari almarhum bapak Kades, bapak angkatku di sini. Karena sudah terbiasa tidur di rumahku sejak kecil, saat mama papanya sudah mempunyai rumah sendiri pun ia tetap selalu tidur di rumah tempat tinggalku ini. Engge sangat menyayangi dua adiknya, Mada yang sangat malas mandi dan Manohara, gadis tiga tahun yang selalu memanggilku dari kejauhan tapi saat kuhampiri pasti menangis tersedu-sedu.
5. Tuni, Malus, Baim. Tiga bersaudara ini adalah anak bapak Sekdes, tetanggaku. Tuni duduk di kelas V, Malus kelas II, sementara Baim masih TK. Ketiga bersaudara ini sangat saling menyayangi,, dan menjadi anak-anak pertama yang menghampiriku saat datang ke desa ini. Tuni bukan tipe anak yang senang belajar dan bertanya, sehingga dia tidak banyak berinteraksi di sekolah saat saya memberikan pelajaran ataupun eksklu dan les tambahan untuk teman-temannya. Tuni punya bakat dalam menggambar, sewaktu pertama datang ke sini saya memberikan mainan plastisin untuk anak-anak. Tuni secara mengejutkan bisa membuat bentuk-bentuk yang rapi dan tidak terbayang olehku sebelumnya. Dibanding anak lainnya, Tuni boleh tergolong paling pemberani. Tidak pernah sekalipun dia merasa ketakutan saat mendengar cerita setan seperti anak-anak lainnya. Tuni juga termasuk yang jarang ngambek, kalau ada yang ngambek dia langsung menegur dengan tegas. Hanya saja saat di kelas, ia sedikit ‘melempem’, karena malu tampil di depan. Adiknya, Malus sendiri tidak banyak berbicara, seringnya dengan rambut acak-acakannya dan suara yang cempreng hanya tertawa malu-malu saja saat melihatku, sementara Baim dengan gigi banhouwarnya (gigi tikus) dan air liur yang selalu menetes sangat menggemaskan, ditambah dengan pipi bulatnya yang menjadi objek cubitanku. Ketiga saudara ini sangat hobi bermain gerobak. Tuni sering mendorong gerobak dan dinaiki oleh dua adiknya ini, mirip dengan becak-becak Cina. Kalau tidak, mereka bahu membahu membantu mamanya menjual es pisang ijo atau bubur kacang ijo.
6. Ramona. Ramona, siswi terpintar di kelas III, adalah seorang kelinci Energizer. Ia sangat hobi berbicara dan tertawa cekakakan, dan tidak pernah sekalipun ngambek. Ramona sangat membanggakan kebun milik orang tuanya, ia pernah mengajakku ke sana dan mempersilakanku mengambil kacang tanah dan sukun kamat (sukun biji) di kebunnya. Walaupun sangat rame, Ramona adalah anak yang paling tidak membuat kepalaku pusing. Ia tidak banyak merajuk, sekali saya mengatakan tidak dia langsung patuh dan tidak tersinggung. Karena selalu bahagia, saya senang bercanda dan mengganggunya. Ramona punya pengalaman menarik denganku berkaitan dengan hal ‘gaib’ (baca ‘Percaya gak Percaya’)
7. Rani Bongso. Rani adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, sehingga seperti tradisi orang Maluku dipanggil bongso (bungsu). Bong adalah anak yang sangat aktif sehingga menjadi anak kelas 2 yang paling sering diandalkan dalam berbagai event, mulai jadi figuran tetap di upacara bendera (menjadi pembawa Pancasila, peran rutin kelas-kelas kecil), penari paling belakang dalam tari adat Tnabar Fanewa, sampai jadi satu-satunya anak kelas 2 yang bergabung dengan Paduan Suara. Ia tergolong pintar namun belum bisa membaca, karena terlalu banyak bermain. Wajah Rani sangat khas, matanya besar, sebesar pipinya, rambutnya berombak dan selalu dipotong sebahu, campuran antara menggemaskan dan cantik. Bongso adalah anak yang selalu berlari paling kencang ketika saya datang ke kampung, sekaligus yang pertama menggandeng tanganku. Pernah suatu kali ketika saya dan anak-anak pergi mencari mangga, Bongso dan Malus sepanjang jalan memegang tanganku, sampai jalan yang sebenarnya mudah itu menjadi sangat lama. Bongso juga terkenal sebagai juara joget. Setiap ada event di mana anak kecil diperbolehkan joget (seperti perayaan Natal atau perpisahan guru), bong menjadi bintang lantai dansa. Jogetannya tidak kalah dengan penyanyi-penyanyi dangdut ibukota :d
8. Sipora. Sipo adalah sepupu dari Nindy, dan kebetulan juga duduk di kelas VI. Ia termasuk anak yang pintar, sering menjadi langganan dalam membaca acara, undang-undang, dan sejenisnya. Di luar kecerdasannya, hal paling menonjol dari Sipo adalah keusilannya. Ia tidak segan-segan mengusili orang sampai menepuk perut orang itu, sampai satu kali ia pernah membuat Nindy mengamuk dan menjambak rambutnya. ‘Untunglah’, keusilan Sipo dilengkapi dengan kelihaiannya berkelahi. Dalam perkelahian dengan Nindy tadi, malah Nindy yang mengalami beberapa luka cakar hasil terkaman Sipo. Sipo jarang ngambek walau kadang suka marah, tetapi sering menguji kesabaranku karena berapa kalipun saya sampaikan untuk tidak mengambil barang-barangku tanpa ijin, tetap saja pada jam istirahat dia sering sudah masuk ke kelas, mengambil spidol dari kotak spidol dan mulai menggambar. Walau tidak pernah mencuri, kebiasaannya mengambil barang tnapa ijin ini cukup membuatku gemas. Tidak sampai ke tahap gondok, karena kalau dilihatin Sipo langsung memasang muka berdosa dan lekas-lekas mengembalikan barang yang dia ambil disertai tawa lepasnya yang selalu berhasil menangkal amarahku.
9. Demianus. Berbeda dengan beberapa teman Pengajar Mudaku yang lain, ‘pengikut’ku memang kebanyakan perempuan, karena anak laki-laki pada malas untuk datang les atau belajar bersama, dan lebih senang pergi mengail, main ke hutan atau main bola. Saya sendiri memang tidak terlalu sering melakukan aktivitas ‘anak laki-laki’ itu, dan lebih banyak berkonsentrasi ke kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Walau begitu ada satu anak laki-laki yang sering datang mendekatiku, Demianus namanya. Bercita-cita menjadi pendeta, Demianus memang tergolong yang paling adem dari anak-anak yang lain. Ia tidak mengeluarkan kata kotor, pun tidak senang berkelahi. Walau begitu secara atletis ia tergolong yang paling unggul dari teman lainnya, karena ia senang pergi membantu ayahnya yang adalah nelayan paling top di Wadankou. Demianus memanjat pohon kelapa lebih cepat dari saya menaiki tangga bambu, dan memainkan parang, jaring, dan kail selancara saya menggerakkan pulpen. Ayah Demianus sangat lihai menangkap teteruga (penyu), hewan yang tidak pernah akan kumakan karena tidak tega. Ia tidak selalu datang setiap malam, karena anak laki-laki biasanya kalau malam biasanya lebih sering saling mengganggu satu sama lain atau pergi ke rumah lain untuk nonton sinetron, tapi ia termasuk yang paling dengar-dengaran kepadaku. Demianus yang hampir tidak pernah lepas dengan bola plastik di tangan atau dimasukkan di dalam bajunya ini adalah salah satu anak paling helpful di sekolah, karena keserbabisaannya dan kesediaannya menolong.
10. Santini. Santini adalah kombinasi dari rapper dan stand up comedian. Siswi kelas VI ini jawara bicara, bicara dengan cepat tepatnya. Stok cerita lucunya tak pernah berhenti, dan selalu hobi menjawab dengan suara keras , tapi seringkali kok yah kurang tepat dan ujung-ujungnya dia langsung tertawa malu dan membuat semua kelas jadi ramai karena menertawakan perilakunya ini. Kombinasi Santini dan Ramona melahirkan pertengkaran terus menerus, tapi pertengkaran yang menyenangkan, karena mereka sangat ngocol dan penuh semangat.
11 dan 12. Aletha dan Lince. Dua siswi terakhir ini sama-sama duduk di kelas 5, dan cukup dideskripsikan sebagai anak yang tergolong tidak banyak bicara. Aletha mukanya lebih garang daripada Lince yang kenes, namun walaupun tenang dan bersuara halus, mulut Aletha gencar mengeluarkan kata-kata kasar. Hasilnya adalah kata makian yan unik karena diucapkan dengan tone yang tidak setinggi anak-anak biasanya. Sementara Lince hobinya adalah bermanja-manja sambil tertawa tidak jelas. Apapun pertanyaannya, Lince selalu menjawab dengan senyum khasnya itu.
Yang unik dari 12 pengikutku ini, tidak satupun yang adalah anak waliku di kelas IV. Entah kenapa, apa mungkin karena intensitas di sekolah yang sudah cukup banyak atau apa, saya tak mengerti.
Wadankou, 11 Februari 2012
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda