info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Mengajarkan Hidup Bersih

Dedi Kusuma Wijaya 18 Desember 2011

 

Tadi sore, selesai ibadah unit, saya ngobrol-ngobrol dengan saudara piaraku di rumah, Daniel. Kami membicarakan tentang kehadiran Pak Agust Narantery, pegawai kecamatan yang akan menjadi caretaker Kepala Desa di desaku, mengisi jabatan kepala desa yang sedang kosong selepas mangkatnya almarhum kepala desaku. Ia berbicara tentang permintaan Pak Agust untuk mencarikan rumah baginya yang ada WC-nya di dalam rumah. Saya sungguh kaget ketika Daniel berkata bahwa di seluruh desa ini hanya dua rumah yang punya kamar mandi dan WC di dalam rumah, rumah tempat tinggalku dan satu rumah lain. Ini berarti seluruh penduduk yang lain membersihkan dirinya di pinggir sumur, atau buang air di MCK yang hanya ada beberapa dan tentunya di kamar mandi terbesar di desa, pantai dan hutan.

Informasi tadi membuatku berpikir tentang beberapa hal yang selalu saya ajarkan di sekolah, terkait kebersihan. Ada kesenjangan antara perilaku yang saya harapkan dengan fasilitas yang ada di desa. Dalam hal mandi misalnya. Saya selalu mewanti-wanti anak-anak ini agar mandi setiap sebelum ke sekolah dan di sore harinya. Secara konsisten saya selalu menanyakan apakah mereka sudah mandi atau belum di pagi dan sore hari. Awalnya masih banyak sekali yang tidak mandi, sekarang steelah terus menerus kuingatkan tingkat anak-anak yang mandi sudah lebih tinggi. Yang tidak mandi biasanya beralasan dingin. Saya baru ngeh, karena kebanyakan dari mereka mandi di sumur dengan hanya bermodalkan ember bertali untuk menimba air dari sumur (atau yang disebut perigi di sini). Mandi di alam terbuka seperti itu terang saja membuat mereka selalu kedinginan, sekaligus tidak bisa mandi menggunakan banyak air seperti yang biasa saya lakukan.

Selain mengenai mandinya, saya juga selalu meminta mereka agar mandi dengan sampo. Hal yang ini jauh lebih sulit lagi diwujudkan. Ada anak yang berkata bahwa kata mamanya, kalau mandi memakai sampo maka kutu di kepala akan semakin banyak (anak-anak di sini, terutama perempuan yang berambut panjang, rambutnya selalu penuh dengan kutu). Saya juga tidak tahu pasti apakah memang kutu akan semakin banyak jika rambut disampo, tapi saya bilang saja kepada anak itu bahwa dengan memakai sampo kulit kepala kita akan lebih bersih, dan kutu-kutu juga akan mati karena adanya sampo, selain juga rambut kita akan menjadi lebih kuat dan terlindungi (entahlah apakah kata-kataku ini benar). Sampo rupanya masih merupakan barang sangat mewah bagi masyarakat di sini, karena bahkan orang dewasa pun tidak memakai sampo. Yang menarik, anak-anak sering mengerubungiku, dan sibuk memegang dan menarik-narik rambutku seperti melihat benda dari planet lain saja. Mereka heran melihat rambut yang ‘halus’ katanya. Saya hanya memicingkan mata saja mendengar komentar anak-anak yang memilin-milin rambutku yang tidak panjang ini. Rupanya efek kekaguman atas rambutku ini ada tuahnya juga, ada anak yang mulai memakai sampo. Ada yang sudah rutin, tapi ada juga yang hanya sekali saja dan setelah itu tidak pernah memakai sampo lagi. Saat saya tanya, kata mereka waktu itu mereka meminta sampo kepada mama, dan hanya dibelikan dua sachet saja, setelah itu tidak ada sampo lagi di rumah. Baiklah..

Bukan Cuma sampo, sabun pun banyak yang tidak punya. Saat saya tanya di kelas, siapa saja yang mandi hari ini, 80% anak sudah mengacungkan jari (perkembangan yang cukup pesat lah). Saat saya lanjutkan lagi dengan siapa yang mandi memakai sabun, jumlah tangan yang mengacung berkurang sampai lebih dari setengah. Alasan mereka, tidak ada sabun di rumah. Saya terpaksa hanya bisa garuk-garuk kepala saja. PR saya berarti meminta orang tua mengeluarkan budget tambahan untuk membeli sampo dan sabun. Saya (dengan kacamata kota tentunya) agak bingung dengan kenyataan orang-orang yang malas mandi dan memakai sampo-sabun ini. Dengan keadaan desa di tepi pantai, di mana banyak orang yang basah dengan air laut dan diterpa angin pantai yang membuat badan lengket, tidak mandi pasti adalah ketidaknyamanan yang luar biasa. Entah bagaimana dengan orang-orang ini.

Satu lagi, tentang sikat gigi. Ini juga membuat kepalaku pusing, karena di awal mengajar hampir semua anak tidak ada yang menyikat giginya. Saat bicara (dan mereka senang sekali berbicara) anak-anak ini mengeluarkan bau yang awalnya membuat saya mual (pada awalnya, sekarang tidak terlalu lagi). Saya lalu menyuruh mereka untuk sikat gigi, tapi lagi-lagi, banyak yang tidak punya odol. Saya pun membawa odol ke sekolah, meminta mereka cukup datang dengan membawa sikat gigi, dan satu orang petugas piket bertugas membawa air untuk kumur dari rumah. Anak-anak pun datang, membawa sikat gigi yang bentuknya sudah seperti sikat gigi dari jaman Flinstone, entah sudah berapa gigi yang disikat menggunakan itu. Ternyata banyak yang tidak punya sikat gigi di rumah, sehingga sikat gigi ynag mereka bawa adalah milik orang tuanya, kakaknya, atau banyak yang tidak ada satu biji pun sikat gigi di rumahnya.

Daftar kesenjangan antara keidealan dan keberadaan perlengkapan ini bisa menjadi lebih panjang. Masalah alas kaki misalnya. Hampir semua anak-anak di desa ini cacingan (ditandai dengan perut yang buncit dan mata yang cekung) karena mereka ke mana-mana bertelanjang kaki, termasuk ke sekolah. Setelah diingatkan bolak balik untuk memakai sepatu ke sekolah, akhirnya tingkat pemakaian sepatu sudah lebih tinggi, walau masih ada saja anak-anak yang dengan alasan kaki sakit atau sepatu basah lebih suka nyekeran ke sekolah. Selepas sekolah, hampir tidak ada anak yang memakai alas kaki. Saat saya suruh pakai sendal, jawabannya tentunya bisa anda tebak: tidak ada sendal di rumah. Ada anak yang punya sendal, tapi tidak lama kemudian sudah melaporkan kalau sendalnya hilang, dan mereka nyeker lagi.  Anak yang berusia balita lebih membuat kepala pusing lagi. Mereka seperti tamagotchi, buang air di manapun dan kapanpun. Kadang-kadang di depan rumah sudah ada saja anak yang buang air kecil dan besar di celana. Akhirnya celananya dilepas, dan jadilah di desa ini, kalau anda berkunjung, ada banyak sekali anak yang tidak memakai celana, kadang ada yang benar-benar telanjang bulat berkeliaran ke sana kemari, sudah seperti tarzan modelnya.

Ada satu hal lagi yang tidak bisa saya tanggulangi: menjaga kebersihan kuku. Anak-anak di sini hampir bisa dipastikan kukunya selalu hitam di setiap waktu. Itu karena mereka suka sekali bermain di pasir, di hutan, yang tentunya membuat kuku mereka kotor. Saat diminta membersihkan, bingung juga karena mencuci tangan tidak semudah anak-anak di kota (harus menimba air, plus sabun juga tidak banyak). Untunglah sudah ada beberapa anak yang memiliki gunting kuku di rumah, sehingga saya tidak harus menggunting kuku semua anak yang panjang-panjang ini.

Well, di akhir semuanya, saya tidak tahu apakah saya bisa membuat mereka benar-benar bisa terbiasa secara reguler mandi dengan bersih, memakai sampo, sabun, menyikat gigi, memakai alas kaki. Saya tidak punya kemampuan untuk menyediakan perlengkapan mandi itu dalam jumlah besar. Yang bisa saya lakukan adalah terus menerus menggugah mereka untuk menyadari pentingnya hidup bersih, dan cara untuk hidup bersih. Mungkin that the best i can do for now.

Atau mungkin, ada yang berminat menyumbangkan sabun,sampo, dan sikat giginya? Hehe.

Wadankou, 30 Oktober 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua