info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Memenangkan Hanok

Dedi Kusuma Wijaya 10 Desember 2011

Seperti saya ceritakan sebelumnya (baca Memenangkan Elon), saya ‘beruntung’ diberi kepercayaan menangani kelas 4, kelas yang berisi berbagai macam anak dengan beragam model yang selalu membuat saya garuk-garuk kepala. Kalau ada Elon yang badungnya minta ampun, kali ini saya ingin bercerita tentang Hanok, anak lain yang berada di kutub yang lain dengan Elon, tapi punya kesamaan: sama-sama menguji kesabaran.

Kalau di kelas pasti ada anak yang tergolong ‘jagoan’: punya kemampuan atletis bagus, suka berkelahi dan berbicara kasar dengan teman, biasanya akan ada juga anak yang tergolong ‘ringkih’, tidak banyak gerak dan tidak banyak bicara. Biasanya sih anak yang seperti ini adalah anak yang cerdas dan suka belajar. Beda dengan Hanok, ia menghadirkan paduan yang pas antara kesunyian, kepasifan, dan ketertinggalan dalam pelajaran. Hanok berpostur paling kecil dan kurus di kelas, tingginya sepantaran dengan anak TK saja. Penampilannya sangat khas, baju putih merahnya selalu kebesaran dengan kancing yang ditautkan sampai ke leher paling atas (mirip dengan orang pakai dasi), dilengkapi dengan celana pendek yang ‘pendeknya’ sampai ke bawah lutut, dengan kaus kaki panjang seperti pemain bola. Berdirinya juga sangat khas, badan sedikit dicondongkan ke kiri dengan satu kaki menekuk. Berbeda dengan anak kampung lainnya yang snagat aktif, Hanok sangat minim gerakan. Kalau berjalan selalu tertinggal di belakang, tentunya karena selain memang kurang aktif, badannya juga pendek sehingga langkahnya kecil-kecil.

Di kelas, Hanok bagi saya adalah alat fitness kesabaran. Setiap saya minta pendapatnya tentang apa saja, 4 dari 5 kesempatan dia pasti tidak akan menjawab. Segala cara sudah saya gunakan untuk membuatnya secara instan berbicara saat ditanya, mulai dari membujuk, memotivasi, memuji, mempersuasi, melakukan I-words, sampai ke cara-cara yang sedikit memakai ‘kekerasan’, tetap saja menyuruhnya berbicara sama sulitnya dengan membuat para koruptor buka mulut. Setiap pagi saya melakukan jurnal pagi –sebuah metode yang kuadopsi dari hasil kunjungan ke SD Batutis, Bekasi- yang isinya mengajak anak untuk berbicara dengan memberikan sebuah pertanyaan setiap paginya. Saat tiba giliran Hanok, dia pasti hanya diam saja sambil mengeluarkan seringai khasnya itu. Kalaupun berbicara, pasti tunduk-tunduk dan suaranya nyaris tak terdengar. Akhirnya saya harus selalu mendekatinya, bertanya ulang-ulang, mengeluarkan lagi semua jurus, dan efeknya anak-anak yang lain pasti sudah tidak sabaran dan lalu sibuk bermain sendiri dengan teman yang lain.

Pengalaman ini saya alami terus menerus dengan Hanok. Kadang ketidakmauan bicaranya ini ditambah lagi dengan keengganan maju ke depan. Biasanya saya meminta anak-anak untuk maju ke depan untuk mengerjakan soal atau melafalkan suatu hal. Saat tiba giliran Hanok, ia biasanya tidak mau maju. Saat saya tanya, tidak menjawab. Saat saya sudah hitung mundur (dalam hitungan lima sudah harus berdiri di depan kelas), biasanya dia hanya sebatas berdiri dari kursi dengan paha masih seperti tertarik magnet di kursi. Setelah itu dia akan menyeret kakinya pelan-pelan, tapi tetap mempertahankan pegangannya di meja. Kalau diperingatkan lagi untuk maju, biasanya dia dengan gerakan seperti siput pincang akan merepet lagi di dinding, sampai akhirnya kutarik untuk maju ke depan. Sudah tampil di depan kelas, tetap saja Hanok akan nyengir, menundukkan kepala sambil menunjukkan sikap malu-malu, lalu tidak mau berbicara. Dalam beberapa kasus, dia kusuruh duduk lagi, dalam beberapa kasus akhirnya jawabannya harus kudiktekan, dia cukup mengulang saja. Seperti misalnya saat diminta maju berdoa, bahkan sekadar melafalkan doa Bapa Kami (doa standar yang sudah dihafal mereka sejak kecil) pun Hanok tetap membisu. Akhirnya kalau Hanok yang memimpin doa, saya harus mendiktekan doanya kata per kata, karena kalau agak panjang dia pasti melihat lagi kepadaku dengan nyengirnya yang menggemaskan semi menyebalkan itu tanda tidak bisa mengikuti.

Bukan cuma tidak mau berbicara, satu lagi kebiasaan Hanok yang bikin saya garuk-garuk kepala adalah kemalasannya datang sekolah. Padahal rumahnya sangat dekat dengan sekolah, cukup berjalan 30 meter saja.  Sekali waktu karena sebal dengan sering absennya dia, saya membawa anak-anak yang lain untuk datang menjemputnya di rumah. Saya mengetuk di pintu depan, tidak ada yang menyahut. Anak-anak yang lain langsung berhamburan ke sekeliling rumah seperti tim Densus 88 mengepung Dr. Azahari, dan langsung segera memberitahukanku kalau Hanok ada di belakang rumah. Saya pun ke belakang rumahnya yang langsung berbatasan dengan hutan. Ia sedang duduk menundukkan kepala di tanah, persis seperti trenggiling posenya. Saya pun dengan lembut menghampirinya, mengajaknya ke sekolah, mengatakan bahwa anak-anak sudah menunggunya, dan serangkaian rayuan lain. Tapi Hanok tetap saja tunduk dan tidak mau berdiri. Pelan-pelan saya tarik tangannya, dia tetap bertahan. Akhirnya saya angkat saja dia sekalian ke rumanhya. Ternyata sedang tidak ada di rumahnya waktu itu. Anak-anak lain langsung sibuk membantuku: “Pak, di situ kamarnya Hanok, suruh dia ganti baju pak”, “Pak, ini kasnya (lemari baju), ayo kita cari baju seragamnya”, “kita buka langsung saja bajunya baru tarik ke sekolah Pak”. Tapi Hanok tetap berdiri mematung di tengah rumanhya, walau sudah kusuruh mandi dan berganti baju. Akhirnya karena dia tetap mematung, saya mengatakan bahwa kami akan pergi memanggil teman yang lain (hari itu ada beberapa anak lain yang tidak masuk sekolah dan kami berencana memanggil mereka) lalu kembali lagi menjemput Hanok. Dia hanya diam saja.

Setelah selesai memanggil dua anak lain yang tidak masuk sekolah, saya meminta anak-anak langsung kembali ke sekolah, dan saya sendiri yang akan pergi ke Hanok dan membujuknya. Masuk ke rumahnya, Hanok hanya berdiri saja di jendela. Saya lalu bertanya mengapa dia belum berganti baju, dan dia lagi-lagi diam saja. Kutarik dirinya, dia mencengekeram terali jendela seerat mungkin. Sambil memutar otak dan memaksa diri sabar, saya pun bertanya kepadanya, kenapa dia tidak mau pergi sekolah. Diam. “papa mama larang pergi sekolah, kah?”, kataku. Diam. “mama di mana?”. Diam. “mama di manaa?”. Akhirnya dia menjawab: “ada pergi Larat” (kota yang terletak 4jam perjalanan laut dari Wadankou). Kutanya lagi, papanya di mana, adiknya di mana, dan seterusnya, sampai akhirnya dengan berbisik ia mengatakan bahwa ia diminta untuk menjaga rumah oleh papanya, karena papanya sedang pergi ke kebun dan tidak ada orang di rumahnya. Akhirnya kubiarkan saja dirinya, membuatku kembali sendiri ke sekolah.

Secara konsisten saya selalu singgah di rumahnya untuk mengajaknya ke sekolah. Akhirnya pelan perlahan Hanok pun mulai datang ke sekolah dengan reguler. Bahkan tadi pagi sewaktu saya berjalan ke sekolah, saat melintasi rumahnya saya mendengar suara bapaknya: “Hanok, bapak guru su pi sekolah itu, cepat baganti!”. 

Walau sudah sering pergi sekolah, saya tetap merasa belum memenangi Hanok. Boro-boro memahami materi pelajaran, menjawab pertanyaan pun masih enggan. Ia juga masih bingung saat ditanyai hitung-hitungan, bahkan hitungan dasar seperti 5+4. Hanok sudah bisa menulis, hurufnya juga sudah bisa dibaca, tapi lamanya minta ampun. Satu kalimat bisa dituliskannya dalam waktu 10 menit. Jadinya kalau saya memberikan catatan singkat di kelas, saya sering jadi bingung sendiri karena Hanok selalu belum selesai saat teman-temannya telah selesai. Kalau mau diskip, kasian dianya, tapi kalau ditunggu maka kelas akan menjadi gaduh karena anak-anak yang lain sudah sibuk melakukan aktivitas yang lain.

Kadang-kadang, tangan saya seperti ingin memukulnya saja saking frustrasinya. Saat darah saya sudah menggelegak di kepala saya sudah ingin mengucapkan kata-kata yang saya yakin membuatnya semakin down. Untunglah saya selalu memvisualisasikan angka 100 di jidatnya yang legam terbakar matahari itu untuk meyakinkan diri saya, bahwa satu hari pasti akan kutemukan ‘sela’nya anak ini, untuk membuatnya lebih dapat tune in dengan pelajaran.

Celah ke arah yang lebih baik itu muncul saat saya menyadari ada beberapa perilaku menarik dan tak terduga dalam diri Hanok. Saya biasanya mengajak anak diskusi dengan memberikan pertanyaan untuk meminta pendapat anak-anak, yang berbicara saya beri bintang (bintangnya ditempelkan di dinding, dan anak dengan bintang terbanyak tiap bulannya akan mendapat reward). Kadang-kadang saat anak-anak mulai berebutan mengacungkan tangan, saya akan semakin ‘memanaskan’ suasana dengan menaikkan ritmeku, sedikit melompat-lompat seperti pembawa acara kuis yang sedang memandu babak bonus 1 miliar. Nak, di saat seperti itu tiba-tiba saya terkejut karena Hanok mengangkat tangan. Tentu saja saya langsung  memberikan kesempatan kepadanya untuk menjawab. Dengan melonjak-lonjak saya mengatakan: “ia, silakan Hanok!”. Dia langsung dengan mantap menjawab: “bintang!”. Saya menahan ekspresi terkejutku dan langsung dengan tenang bertanya lagi: “ia Hanok, nanti dapat bintang, tapi apa jawabannya?”. Dan Hanok pun langsung mematung lagi, diikuti tertawaan dan lontaran kata-kata temannya yang berkomentar tentang jawaban Hanok tadi. Di kesempatan lain ia juga begitu, mengangkat tangan lalu maju ke depan, tapi seketika baru sadar kalau ia tidak bisa menjawab. Suatu waktu jawaban spontannya ini membuat saya bingung juga, karena saat ditanya di jurnal pagi: “apa perasaanmu saat ini?”, Hanok yang diam saja tiba-tiba berkata: “mau ketapel burung!”. Hah, apa?

Dari beberapa petunjuk itu, saya lalu melihat, bahwa Hanok sesungguhnya menyimpan potensi dalam dirinya, tapi ada sebuah dinding tak kelihatan yang membatasinya. Di kesempatan lain Hanok bisa berdiri sambil menyalin catatan selama 1,5 jam tanpa henti, dan tanpa mempedulikan semua temannya sudah pulang dari sekolah.

Selain itu, sewaktu les ada pengalaman menarik lagi terkait Hanok. Saya saat itu akan melakukan les membaca, dan melakukan assesmen untuk membagi kelas menjadi anak dalam level-level tertentu dalam kemampuan membaca. Saya mengetes semua anak, kecuali Hanok. Saya mengasumsikan bahwa dia pasti otomatis masuk level paling bawah, dan harus belajar huruf per huruf. Saya terkejut ketika tiba-tiba dia bersuara sambil mengangkat tangan: “pak, saya belum ditanya”. Baiklah, saya tes saja kalau begitu, batinku. Dalam beberapa detik kemudian saya terkejut, karena Hanok ternyata bisa membaca. Tidak lancar, tapi kemampuannya jauh di atas bayanganku. Saya lalu mengelompokkan dia bersama Wiro dan Weli untuk belajar dari kartu suku kata. Ternyata dari ketiganya Hanok yang paling lancar, dan yang menarik saat giliran Weli yang saya tunjukkan kartu untuk dibaca, Hanok sibuk membaca kartu yang lain sambil berbicara, sampai anak yang biasanya anak yang saya suruh bicara ini malah kusuruh tenang pada waktu les saat itu.

Peristiwa itu mulai membangkitkan keyakinanku bahwa saya dapat membongkar bata demi bata dinding penghalang dalam diri Hanok. Petunjuk lainnya kudapat ketika meminta Hanok untuk tampil ke depan menyelesaikan soal matematika. Ia hanya membatu, seperti biasa, sembari memegang spidol yang terbuka di tangan kanannya. Tangan kirinya tampak dicakarkan di papan tulis dengan pelan secara berulang-ulang. Menurut psikologi Freudian, itu adalah cue dari kecemasan yang dipendam. Setelah penemuan itu, saya lalu semakin rajin memperhatikan Hanok. Memang benar ia tampak melakukan manifestasi kecemasan itu di beberapa kesempatan lain.

Puncaknya sewaktu kemarin saya memberikan les menghitung. Materinya adalah melakukan penjumlahan dua bilangan puluhan, misalkan 18+18. Karena anak-anak banyak yang belum paham, saya memulai dengan meminta mereka menuliskan bentuk perhitungan bersusunnya saja, lalu meminta tiap anak maju ke depan mencoba, termasuk Hanok. Saya mengulangi contoh berulang kali kepada anak-anak, sampai saya pikir mereka pasti sudah bisa mengerjakan. Saya pun memberi 15 nomor contoh soal, dan duduk menghimpun tenaga sambil menunggu mereka mengerjakan. Dari kejauhan saya melihat Hanok dengan serius menghitung menggunakan lembaran daunnya (karena ia kesulitan menghitung dengan jari, saya memintanya mengumpulkan daun-daun di halaman sekolah sebagai semacam lidi hitung). Saya pun berpikir, ouw mungkin saja dia sudah bisa mengerjakan. Semoga saja.

Saat beberapa anak sudah selesai mengerjakan, sudah saya koreksi pula pekerjaannya, saya lalu menghampiri Hanok. Saya yang sudah kelelahan pun seperti terhenti nafasnya saat melihat bahwa Hanok menghitung 72+8 = 9, dan 30+5 = 11, serta sederet hasil-hasil yang tidak jelas didapatinya dari mana.  Saya bingung, dalam beberapa saat saya sudah berpikir apakah anak ini harus dipukul saja, seperti yang dilakukan guru-guru lain di sini, atau direlakan saja bahwa ia memang tidak bisa belajar? Dalam emosi yang tinggi itu, saya lalu memegang bahunya, dan memintanya untuk melihatku. Dia menunduk, namun kepalanya kupegang dan kutatapkan ke diriku. Sambil menatap tajam matanya dan mendekatkan wajahku, saya berkata: “Hanok, jawab bapak! Hanok pu pikiran ini di mana sekarang? Hah? Ingat mau bikin apa ka sekarang?” (pikiranmu melayang ke mana, emang sedang mau ngapain sekarang?). Ia pun menjawab: “mau tidur...”. Saya seketika merasa bahwa metode seperti ini bisa membuatnya bicara, jadi kulanjutkan lagi:

“ Hanok, biasanya Hanok di sekolah juga selalu ingat rumah saja kah??”, sambil terus menatapnya tajam.

“ia...”, katanya lirih.

“Jadi dari pagi Hanok ini ingat makan, ingat tidur, ingat bermain saja kah?” Tanpa perlu menunggu jawabannya, saya berondong saja dia, “Hanok, kalau di sekolah, pikiran harus di sekolah! Hanok, bapak pernah pukul kau kah??”

“tidak pak...”

“Itu karena bapak tahu kau ini tidak bodoh!”, teriakku, sudah seperti orang main teater saja. Beberapa anak yang menghampiriku lalu kusuruh pergi menjauh, dan aku pun melanjutkan, “Hanok tidak bodoh, Cuma pikiran tidak pernah di sekolah. Kalau kau ada di sini, pikiran harus di sini juga! Hanok pikir bapak tidak lapar kah? Bapak juga mau tidur siang! Liat, kalau pulang sekolah bapak langsung pulang kah? Tidak to, bapak kerja dulu! Betul tidak?”

“ia pak..”, dia mulai berbicara, pertanda bagus, pikirku.

“Hanok, bapak tanya, kau ingat rumah, rumahmu di mana? Dekat sini to? Rumah bapak di mana, jauh dari sini! Kalau Hanok ingat mama, saya juga ingat saya punya mama, bukan Cuma kau saja yang ingat! Coba liat kelas ini, liat itu tempelan-tempelan, karton, crayon, buku pr yang bapak kasih, itu bapak semua yang beli! Sudah tahu to bapak tidak dibayar untuk ajar kalian? Terus kira-kira untuk apa bapak tetap ada di sini, tetap kasih les? Karena bapak mau kalian bisa, karena bapak percaya semua anak, termasuk Hanok, juga bisa hitung, bisa baca, tidak bodoh!”

Berondonganku itu rupanya hari itu meruntuhkan dinding pertahanannya. Semua teka-teki lalu terpecahkan. Hanok malas pergi ke sekolah, karena merasa bosan di sekolah. Ia sudah terbiasa bersantai di rumah, dan memang sudah lama ketinggalan dari teman-teman lainnya di sekolah sehingga selalu dipojokkan oleh guru, teman, dan orang tuanya. Ini menyebabkan pikirannya tidak pernah ada di sekolah, bahkan ketika ia hadir di sekolah.  Saya lalu melanjutkan dengan memintanya mengerjakan soal yang tadi salah semua itu. Saya menjelaskan lagi secara singkat cara penulisan, cara menghitung dengan penjumahan bersusun. Ini bukan cerita fiksi, tapi memang peristiwanya sungguh klimaks, tiba-tiba Hanok bisa paham penjelasanku! Ia dengan pelan perlahan lalu menghitung 72+8 tadi. Diambilnya daun hitungnya, disusunnya di meja, dan dengan lancar ia menuliskan angka 80 di buku. Wow, dia lalu kutes dengan dua soal lagi, dan dengan pelan tapi pasti, dengan menggunakan daun-daun hitungnya, Hanok bisa menyelesaikan soal itu! Semua lelahku seketika hilang, saya seperti sedang memenangi sebuah big match. Saya lalu berkata pada Hanok: “Hanok, senang kah tidak kalau bisa kerja?” Dia mengangguk pelan, tapi saya sungguh bisa merasakan ada energi baru yang tersuntikkan ke dalam dirinya.

Menurut Thomas Armstrong, tolok ukur keberhasilan seorang anak dalam pendidikan bukanlah tentang keberhasilannya mencetak hasil yang bagus dalam ujian, tapi berkaitan dengan aspek ipsatifnya. Aspek ipsatif berbicara mengenai perkembangan seorang anak dibandingkan dengan kemampuannya sebelumnya, bukan dibandingkan dengan kemampuan anak lain di kelas. Saya sungguh sependapat, kemenangan Hanok hari itu begitu kecil, hanya sebatas bisa mengerjakan penjumlahan bersusun dengan nilai puluhan –keterampilan yang normalnya dimiliki anak kelas 1 SD-, tapi dengan melihat betapa beratnya perjuangan yang dilakukannya, dilakukanku, untuk membuatnya mengerjakan soal itu, saya dapat merasakan keberhasilan itu, keberhasilan memenangkan Hanok hari ini. Semoga saya bisa memenangkan dia lebih sering lagi, agar satu hari angka 100 sungguh tercetak di dalam karyanya sebagai siswa.

Wadankou, 29 Oktober 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua