Memenangkan Elon

Dedi Kusuma Wijaya 17 Desember 2011

 

Dalam Injil, ada sebuah kisah terkenal tentang Yesus yang diibaratkan sebagai seorang gembala yang baik. Gembala yang baik adalah gembala yang memperhatikan semua dombanya, tanpa kecuali. Ia akan bela-belain untuk mengejar seekor domba yang terhilang dari kawanannya. Menurut kepercayaan Kristiani, perhatian terhadap domba yang hilang ini adalah bukti kasih yang sejati, yang tidak membiarkan satu orang pun terdampar di jalan yang salah.

Jika padang rumput adalah sebuah kelas, maka gurulah sang gembala dan murid-murid adalah dombanya. Jika domba saja tidak setipe (ada yang tipe penurut, suka memakan rumput gembala tetangga, suka memisahkan diri dari himpunan, merampas jatah temannya, dan lain-lain), apalagi murid-murid di kelas. Jika si gembala, eh guru, adalah seorang guru yang baik, tentunya dia dapat menghantarkan murid-murid dengan beragam rupa dan model ini ke jalan yang benar. Dan saya, sebagai seorang guru, tentunya juga mendambakan hal demikian. Saya ingin jadi guru yang baik. Dan untuk itu, saya harus bisa memenangkan setiap anak yang ada di kelas, memacu mereka dengan beragam cara agar semuanya bisa menjadi yang terbaik yang mereka bisa.

Kelas yang kutangani, kelas IV, adalah gudang dari anak-anak dengan tipe beragam. Ada beberapa anak yang sudah bisa sedikit membaca, sebagian besar masih terbata-bata, beberapa diam seribu bahasa sepanjang saat, beberapa terlalu malu untuk ngapa-ngapaen, dan beberapa tergolong sebagai ‘berandal’ kelas, biasanya ini adalah anak-anak yang dulu tinggal kelas. Salah satu dari mereka yang paling susah dimenangkan adalah anak dengan kategori terakhir, namanya Elon.

Elon, adalah tipe anak badung yang biasanya menjadi tokoh di tokoh komik. Anaknya cukup tampan, tinggi, dengan tas merah Mickey Mouse yang isinya selalu hanya sepatu (dia lebih nyaman nyeker sehingga sepatu hanya dipakai sesuka hati dia saja), dan sungguh mencintai berkelahi. Pertama kali mengajar, saya sudah tahu bahwa ini termasuk anak yang ‘sulit’. Dia belum bisa membaca, tapi banyak bicara (penuh umpatan kasar lagi)  dan kadang-kadang memukul temannya. Orang tuanya juga rupanya (seperti kebanyakan orang tua di desa ini) tidak terlalu peduli apakah anaknya datang sekolah atau tidak, sehingga Elon datang sekolah sama banyaknya dengan waktunya pergi mencari mangga atau berburu burung atau pergi mengail. Di hari kedua saya mengajar saya lalu tahu bahwa Elon adalah salah seorang dari beberapa anak yang tinggal kelas di kelas IV tahun lalu. 

Menghadapi Elon adalah perjuangan berat melawan ketidaksabaran. Tidak terhitung sudah berapa kali darahku memuncak sampai ke ubun-ubun melihat tingkahnya. Sesungguhnya Elon ini pintar dan cepat menangkap pelajaran dibanding teman lainnya, namun perilakunya yang slengean membuatnya selalu malas latihan menulis dan membaca. Kalau diminta menulis di kelas, yang biasanya dilakukan Elon adalah menulis sebentar, lalu tiduran di kursi. Variasinya adalah mengganggu teman yang lain, berbicara tidak jelas dengan logat Wadankou yang saya tidak pernah bisa paham artinya, atau berlarian ke luar kelas. Bahkan setelah saya menerapkan adanya kartu toilet dan menjelaskan bahwa anak-anak tidak bisa keluar seenaknya, tetap saja dia bisa tiba-tiba berlari ke luar kelas dan berlari mengejar anak kelas 3 atau 2 yang mengintip di luar kelas.

Walaupun berat, saya bertekad harus memenangkan semua murid saya, tidak terkecuali Elon. Saya teringat petuah Pak Bobby yang memberikan training kepada kami semasa camp di Hubla: “saat mengajar, bayangkan di setiap jidat anak muridmu ada tercetak angka 100”. Dan dengan tekad itu, saya memutuskan bahwa langkah pertama memenangkan si anak badung ini adalah dengan menjadikannya ketua kelas. Dengan itu saya bisa memintanya untuk lebih bertanggung jawab, sekaligus memberikan perasaan bahwa di sekolah dia berharga (semoga dengan itu dia mencintai sekolah). Pemberian peran sebagai ketua kelas ini memberikan sedikit perubahan walau tidak signifikan. Yang terjadi seringnya adalah Elon memukul teman-temannya yang tidak mau baris dengan baik, sehingga anak-anak lain lalu mengadu kepadaku. Setelah itu saya akan mengingatkannya lagi tentang perannya sebagai ketua kelas. Dan anak-anak lalu mengadu lagi. Dan begitu seterusnya.

Kalau pemberian peran ketua kelas adalah usaha untuk memoles perilakunya, saya secara personal memotivasinya dan memberikannya bintang di kelas (sistem reward di kelasku, anak yang berperilaku dan berperforma baik di kelas diberi bintang).  Hal ini lumayan berhasil, Elon sering terpacu untuk menyelesaikan tulisannya dan berlomba-lomba menawab pertanyaan. Jawabannya seringkali benar, yang membuat saya memberikan apresiasi padanya yang biasanya diikuti dengan selebrasi berlebihan. Ia melompat-lompat kegirangan sambil membanggakan keberhasilannya kepada teman-teman yang lain. Saya biasanya membiarkan saja selebrasinya ini, setidaknya untuk membuatnya menabung poin-poin keberhasilan dulu.

Pelan perlahan, saya bisa mememangi hatinya. Satu hari sewaktu akan diadakan acara 17 Agustusan di Adodo Molu, saya yang sudah berada di Adodo sejak beberapa hari sebelumnya datang ke desa bersama salah seorang staf kecamatan yang akan mengantarkan surat untuk kepala desa Wadankou. Saya iseng saja bertanya kepada anak-anak yang tidak ikut ke Adodo, apakah ada anak yang seharusnya ikut lomba tetapi tidak berangkat. Ternyata mereka menjawab bahwa ada Elon yang sudah ketinggalan kapal sehingga tidak ikut. Saya langsung bergegas ke rumahnya, dan meminta ijin kepada ayahnya untuk bersama saya berangkat ke Adodo. Akhirnya Elon pun bisa berangkat, dan tim baris berbaris yang diperkuat olehnya mendapat juara 2, prestasi yang sangat dibanggakan oleh Elon. Selepas lomba itu hampir setiap hari dia sibuk meminta saya menunjukkan video gerak jalannya di laptop. Saya merasa bahwa saya sudah hampir memenangi anak ini.

Sejak minggu lalu, saya menerapkan pendisiplinan yang lebih untuk siswa yang tidak mengerjakan PR. Yang tidak mengerjakan PR kuhukum push up, yang jumlahnya akan bertambah banyak seiring dengan berapa kali ia tidak mengerjakan PR yang sama (misalnya PR PKn, kalau tidak dikerjakan akan diberi kesempatan kedua, lalu kesempatan ketiga). Hari itu, semua anak akhirnya mengerjakan juga PR PKn setelah diberi beberapa kali kesempatan, kecuali tiga orang anak yang salah satunya Elon. Elon dengan gaya santai dan cueknya dengan semangat menjelaskan, bahwa ia sudah mau pergi mewawancarai Kepala urusan pemerintahan desa (tugas PKn waktu itu), tapi si bapak sedang duduk-duduk di pantai dan dia akhirnya malu untuk menghampiri. Entah kenapa saya tidak menerima alasannya dan tetap memintanya untuk melakukan konsekuensi dari tidak dikerjakannya Prnya. Hukuman push upnya tidak terlalu menyiksanya, tapi ia tampak sangat terpukul dan lalu menangis tersedu-sedu setelah itu. Ia langsung berkata kepada temannya bahwa ia tidak akan pernah datang ke sekolah lagi. Pada saat istirahat, ia langsung membawa tasnya dan dengan menangis pergi meninggalkan sekolah. Saya juga tidak membujuknya –dengan tujuan tidak memanjakannya-, hanya menjelaskan bahwa selama ini ia sudah banyak menunjukkan peningkatan, hanya hari ini saja ia tidak menjalankan tugas yang sudah diingatkan berkali-kali olehku. Ia tidak mendengarkan, hanya berjalan pergi. Saya menduga bahwa anak ini tidak anak kembali ke sekolah lagi, secara biasanya saat dia senang saja dia bisa pergi dan tidak kembali lagi saat jam istirahat.

Tanpa diduga, Elon kembali lagi ke sekolah, dengan tangis yang belum berhenti. Saya bisa merasakan luapan emosi yang luar biasa dalam dirinya. Ia merasa saya memberikan penghargaan dan kasih yang besar untuknya, tapi tiba-tiba saya menjadi orang yang ‘jahat’ pada dirinya. Saya baru menyadari betapa menangani manusia adalah seni tersendiri yang butuh sense yang tepat. Saya akhirnya meneruskan pelajaran, bersikap seakan tidak ada hal istimewa yang terjadi. Saya menjelaskan pelajaran, mengajak mereka bernyanyi, tapi saya tidak bisa memungkiri bahwa saya terganggu dengan gerak gerik Elon yang tetap sesenggukan dan tiduran di kursi. Akhirnya saya memutuskan untuk menghentikan pelajaran, mengeluarkan laptop, dan memutarkan sebuah video singkat tentang Lena Maria, gadis tanpa tangan yang berprestasi. Maksud saya memotivasi mereka, tapi rupanya pesan video singkat itu tidak tersampaikan dengan baik. Akhirnya saya membanting setir dengan memberikan pelajaran SBK. Untunglah strategi ini cukup efektif, saat sedang membuat origami tiba-tiba Elon muncul dan bertanya cara melipat kertas lipatnya.  Pelan perlahan, ia mulai semangat lagi, apalagi setelah menyelesaikan origami gerejanya, ia telah kembali menjadi Elon yang sediakala. Sorenya malah secara mengejutkan ia datang ke rumahku dan menjemputku untuk berangkat memberikan les untuk anak-anak ini.

Esoknya, Elon tidak masuk sekolah. Saya tidak terlalu peduli, sampai dengan semangat ia datang saat kelas sudah dimulai hampir dua jam. Saya membiarkannya masuk, dan saya memulai pelajaran menggambar denah. Ternyata penyakit lama Elon kumat: ia malas membuat denah. Bukan Cuma membuatnya dengan asal-asalan, ia juga sibuk merecoki temannya yang membuat denah, dan tidak membawa pena serta buku lagi. Karena sedang malas, segera setelah denah asal-asalannya selesai ia langsung mengembalikan pulpenku dengan cara yang sangat tidak sopan. Saya pun menasihatinya, tapi ia cuek bebek saja tidak mendengarkan. Kepalaku mulai panas, dan batinku terus menerus bertanya: ada apa sebenarnya dengan anak ini......?

Elon adalah spesialis menegangkan urat-urat di ubun-ubun. Ia mulai memukul salah seorang anak, dan lalu pergi ke luar kelas lagi. Di luar kelas, saat ia mau kupanggil datang, ia memukul salah seorang temannya, sampai pulpenku yang sedang dipakai oleh temannya itu rusak. Emosiku tak tertahan lagi, kupukullah meja dengan sapu lidi yang sedang kupegang (tadi kuambil dari Elon yang di dalam sedang memukul temannya dengan sapu itu). Semua orang diam, Elon langsung terdiam dan mulai terisak lagi. Akhirnya ritme kelas menjadi turun lagi, dan sambil menenangkan diri saya memaksa diriku untuk tetap bersikap tenang dan mengembalikan pelajaran seperti sediakala. Tidak lama setelah itu pelajaran usai, dan Elon pulang dengan mood yang sudah membaik. Namun untuk menjaga kewibawaanku, saat ia mencoba mencari perhatian di depanku, saya mengatakan bahwa Elon hari ini tidak berperilaku dengan baik dan karena itu bapak guru tidak mau berbicara dengannya. Ia langsung menangis, dan pulang.

Setelah peristiwa itu saya harus pergi ke kota Larat untuk koordinasi dengan rekan-rekan Pengajar Muda lainnya, sehingga belum sempat bertemu dengan Elon lagi. Saat saya datang tadi anak-anak langsung melaporkan bahwa Elon mau meminta maaf, dan banyak yang berkata kepadanya bahwa gara-gara perilakunya itu saya sudah tidak mau mengajar lagi (karena kebetulan setelah itu saya tidak hadir di sekolah). Entah apa yang akan dikatakannya saat sekolah dimulai senin lusa, tapi yang pasti, saya tidak akan berhenti berusaha untuk memenangkan Elon.

Wadankou, 22 Oktober 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua