info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Maniso Mangga (part 2)

Dedi Kusuma Wijaya 11 Desember 2011

Dulu, saya pernah menulis tentang anak-anak yang sibuk sekali dengan mangga sampai melupakan sekolah. Saya merasa bertanggung jawab untuk melengkapi cerita itu dengan beberapa kisah lanjutan dari demam mangga ini.

Sehari setelah menulis tulisan itu, sehabis pulang sekolah saya duduk di rumah, menahan panas yang luar biasa. Karena mengantuk, saya pun membaringkan diri di kamar. Ternyata panasnya minta ampun, dan karena itu saya pun memutuskan untuk pergi mencari tempat anak-anak berburu mangga ini. Saya berjalan ke sumur air minum yang terletak di ujung desa. Menurut hasil pengorekan informasiku kepada anak-anak sehari sebelumnya, lokasi pohon-pohon mangga favorit anak-anak ini berada di belakang sumur air minum. Saya melewati jalan setapak terakhir di desa ini, menuju ke arah hutan. Sempat tersesat sedikit, saya mendengar keramaian dari kejauhan. Saya pun memutar jalan dan berjalan mengikuti sumber suara, yang saya yakin adalah anak-anak. Perlahan namun pasti, suaranya semakin lama semakin besar.

Benar saja, tidak butuh waktu lama saya sudah menjumpai sebuah pohon mangga besar yang dipenuhi anak-anak. Dua orang pemuda sudah ada di dahan pohon mangga itu, salah satunya saudara angkat saya di sini. Pemuda itu memotong mangga-mangga yang sudah masak, menjatuhkannya ke tanah. Sebagian anak-anak perempuan berebutan mangga yang jatuh, sementara anak laki-laki sibuk melemparkan kayu yang dipotong sudah mirip dengan bumerang ke arah mangga di pohon.

Hasil hela mangga (sebutan untuk menimpuki mangga ini lumayan juga), lemparan mereka cukup jitu. Kegiatan ini asik juga, saya sebenarnya ingin mencoba, tapi pasti percobaan pertama akan kelihatan konyol jadi saya urungkan saja (yah sebagai guru kan harus jaga wibawa). Tidak heran anak-anak suka bolos sekolah, selain kegiatannya seru, perasaan mendapat mangga yang jatuh itu seperti orang yang sedang kedatangan hujan uang. Apalagi ditambah dengan menikmati mangga itu langsung di bawah pohonnya yang rindang, membawa kesejukan yang tidak ditemui di desa yang sedang panas-panasnya.

Sambil mengamati pemandangan yang relatif baru bagiku ini, saya duduk-duduk bercengkerama bersama beberapa anak yang masing-masing sudah membawa kantong plastik, karung, dan kardus dari rumah untuk menaruh mangga. Beberapa cukup menaruh di baju yang dipakainya saja. Baru duduk sebentar, sudah ada anak yang menyetorkan mangganya kepadaku. Tidak lama beberapa pemuda juga melakukan hal serupa.

Dalam sekejap, sudah ada sekitar 12 mangga yang ada di depanku. Saya otomatis tergoda dengan mangga-mangga gratisan ini, dan meminta pisau salah seorang anak. Beberapa anak lain sudah pergi ke pohon-pohon mangga lain yang juga masih tersebar di hutan, tapi saya memutuskan untuk duduk saja di bawah pohon mangga yang tadi, sambil menyantap mangga yang diberikan anak-anak. Oh yah, mereka memberi mangga-mangga terbaiknya kepadaku, lho, yang besar-besar dan manis-manis. Slurpp.....

Karena manggaku banyak, saya membagikan beberapa kepada anak-anak yang duduk denganku. Satu mangga habis, langsung dilanjutkan mangga yang lain. Belakangan saya sudah tidak memotong mangga lagi, tapi mengupasnya dengan gigi, sama dengan metode yang digunakan oleh anak-anak. Setelah duduk selama kurang lebih sejaman, perutku mulai sakit karena kebanyakan makan mangga. Apalagi karena mangga yang banyak kumakan, mangga Famasa, membuat tenggorokan gatal kalau makannya terlalu banyak. 

Cukup sekali itu saja saya pergi ke pohon mangga. Sebenarnya ada keinginan untuk pergi lagi, tapi setelah itu saya lalu pergi ke Larat dan Adodo Molu selama seminggu. Sekembalinya di kampung, anak-anak memberitahukan bahwa pohon-pohon mangga sudah habis buahnya diambil (bagaimana tidak habis, sekali pergi ke hutan saja tiap orang bisa membawa pulang mangga sekarung).

Akhirnya demam mangga pun berakhir, orang-orang tidak sibuk mencari mangga dari tengah malam sampai subuh lagi. Anak-anak pun sudah mulai kelihatan di sekolah lagi, sesuatu yang membuat habisnya mangga ini sungguh kusyukuri. Memang pohon-pohon sudah mulai mengeluarkan buahnya lagi, tapi buahnya masih kecil-kecil. Baru sekitar Desember lagi buahnya akan masak. Sampai itu, saya merasa sudah cukup ‘aman’ dari absen massal murid-muridku.

Akan tetapi, tunggu dulu, beberapa hari ini anak-anak punya hobi baru: pergi patah jambu di hutan. Ternyata sehabis mangga, jambu sudah mulai berbuah. Oh, semoga tidak terjadi demam jambu lagi!

Wadankou, 29 Oktober 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua