Maniso Mangga
Dedi Kusuma Wijaya 18 Desember 2011
Judul ini bukan tentang cara pembuatan manisan mangga, atau typo. Maniso, adalah istilah khas orang Maluku. Kita pasti lebih sering mendengar kata manise, yang secara spesifik ada pada frase ‘Ambon manise’. Walau mirip, maniso artinya sangat berbeda dengan manise. Maniso kurang lebih setara artinya dengan ungkapan dalam bahasa orang Suroboyo, ‘sibuk sakkarepe dhewe’. Sibuk gak jelas mungkin kira-kira terjemahan bebasnya. Istilah maniso sering digunakan dalam berbagai konteks. Orang yang terlalu banyak pacaran sehingga melupakan orang lain atau tugasnya, misalnya, bisa dikatakan ‘maniso dengan itu cewek / cowok saja’. Kalau seharian seorang ibu memasak terus sampai tidak sempat melakukan hal lain, berarti dia ‘maniso par (untuk) makan saja’. Sehingga judul tulisan saya di atas kira-kira berarti terlalu sibuk dengan mangga sehingga melupakan hal lain.
Hal itu yang terjadi di kampung saya beberapa minggu belakangan ini. Karena bulan September-Desember adalah musim mangga, semua orang mulai sibuk mencari mangga ke sana kemari. Sesuai tradisi, Gereja pun menetapkan ditutupnya sasi mangga. Tutup sasi adalah sebuah tradisi Gereja Protestan Maluku yang diadopsi dari budaya tradisional Maluku, yang tujuannya untuk melestarikan alam dan mencegah perilaku yang tidak diinginkan. Jadi dalam ibadat mingguan pendeta selalu menutup sasi sebuah objek, yang biasanya adalah tanaman. Tujuannya agar objek yang ditutup sasinya ini bisa aman dari kepunahan atau tidak menyebabkan warga maruk dan menghabiskan objek itu. Karena sedang musim mangga, gereja pun menutup sasi mangga, yang artinya orang dilarang memanjat pohon mangga dan mengambil buahnya. Tujuan ditutupnya sasi ini tentunya agar pada waktu buah ini matang dengna baik (bulan Desember), hasil yang didapatkan warga bisa banyak.
Tapi dasar manusia kodratnya kepala batu, sasi Gereja ini tetap saja diakali. Sebenarnya rakyat percaya kalau melanggar sasi bisa mengakibatkan banyak hal tidak baik, seperti sakit bahkan sampai kematian. Tapi warga menganggap bahwa kalau tidak bisa memanjat pohon mangga, berarti kalau mangganya jatuh halal untuk diambil. Jadilah mereka sibuk mencari pohon mangga dan menunggu mangga jatuh atau dijatuhkan oleh burung. Itulah sebabnya saat malam hari orang-orang desa, dari anak kecil sampai orang dewasa langsung sibuk menuju hutan untuk mencari pohon mangga dan menunggu kelelawar datang dan menjatuhkan buah mangga dari pohonnya. Awalnya orang berangkat waktu subuh saja, tapi mulai ada yang berangkat tengah malam agar mendapat mangga lebih banyak, dan ada lagi yang berangkat lebih awal lagi sehingga dari jam 10 malam sampai subuh sudah banyak warga yang maniso dengan pencarian mangga ini.
Maniso mangga ini lama kelamaan membuat keadaan desa sudah mulai tidak normal lagi, dan sekolah pun mendapat imbasnya. Saya selalu dibuat pusing karena tiap pagi pasti ada saja anak yang tidak datang karena sibuk ‘pilih mangga’. Malah pernah sekali waktu yang datang sekolah hanya enam orang saja, membuat saya setengah naik pitam dan lalu bersama murid-murid yang datang berkeliling ke rumah-rumah mencari anak-anak yang bolos itu. Anak-anak dan orang dewasa pun mulai beringas. Kalau awalnya mereka mencari mangga dengan menunggu yang dijatuhkan kelelawar, mereka pun mulai melempari mangga dengan batu, dengan dalih kalau jatuh kan tidak melanggar sasi (tak peduli jatuhnya karena apa). Ini membuat anak-anak yang datang sekolah, saat pulang langsung menghambur makan siang lalu berlomba-lomba pergi ke hutan berburu mangga.
Di sekolah, anak-anak tiap hari sibuk dengan mangga. Mereka makan mangga pun seperti makan apel, tanpa dicuci tanpa dikupas langsung digigit dan diemut saja. Kebetulan ada pohon mangga di depan sekolahku, sehingga saat ada buah yang kelihatan masak anak-anak sibuk melempar batu ke sana kemari, dan saat ada yang jatuh langsung berebut mangga itu. Saya heran juga, apa yang membuat mereka begitu tergila-gila. Saya saja sudah bosan makan mangga saking seringnya anak-anak ‘menyetorkan’ mangga mereka kepadaku, sehingga saat ada mangga langsung saya berikan ke anak yang lain.
Yang membuat hal semakin rumit adalah karena guru-guru mulai maniso dengan mangga juga. Saat pulang sekolah, selepas apel seorang guru sudah mewanti-wanti pada anak-anak agar jangan sibuk mencari mangga karena sedang disasi. Anak-anak hanya manggut-manggut saja. Selesai sekolah, saat beberapa anak masih ada, si guru ini malah mengambil batang bambu dan mencongkel mangga itu dari pohonnya! Guru ini bersama seorang guru lainnya juga setiap hari sibuk melempari mangga di depan sekolah dengan batu sampai kunci ruang kelas. Kalau ada buah yang berhasil jatuh, yang manis harus disetor kepada mereka, sementara anak-anak mengambil yang masih mentah saja. Salah satu fitur yang paling menarik adalah ketika upacara bendera. Latihan upacara sudah dilakukan dua kali, tapi upacara belum kunjung bisa dimulai karena tidak ada bendera merah putih. Bendera dibawa oleh salah seorang guru dan diletakkan di rumahnya. Seorang anak pun diutus untuk pergi ke rumah guru itu, meminta bendera sekaligus memanggilnya datang ke sekolah (di sekolah saat ini Cuma ada empat orang guru termasuk saya). Setelah ditunggu 15 menit dan anak-anak kelas 1 sudah kepanasan, si anak tadi datang dan berkata: “Bapak Yan seng ada di rumah, rumah takunci. Dia lagi pi cari mangga!”. Ha, apaa? Akhirnya kami memakai bendera lama yang sudah sobek di sana sini untuk dikibarkan di upacara bendera pertama di sekolah ini setelah bertahun-tahun.
Demam mangga memang sedang mewabah di desa. Demam dalam arti sebenarnya, karena mangga yang ada di desa kebanyakan mangga yang sangat manis dan lunak, sehingga membuat eneg saat dimakan. Ini membuat banyak orang yang ‘sakit mangga’, yang tak lain tak bukan adalah panas dalam dan batuk serta kerongkongan gatal karena kebanyakan mangga. Awalnya saya heran, kenapa saat saya tanya anak yang ini sakit apa, anak-anak selalu menjawab: “sakit mangga pak!” Oalah ternyata sakit karena kebanyakan makan mangga. Bagaimana tidak, saat saya berangkat ke sekolah orang-orang sudah menggotong mangga sekarung, bahkan mama piaraku pun membawa oleh-oleh untuk keluarganya di Saumlaki mangga sekarung.
Semua kemabukan tentang mangga ini membuatku tertarik untuk ikut mencari mangga besok. Doakan saja saya dapat banyak mangga dan tidak sakit mangga yah!
Salam mangganisme dari kampung Banda Kecil J
Wadankou, 13 Oktober 2011
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda