Dan Kami Akan Menjadi Lebih Kuat

Dedi Kusuma Wijaya 12 Juli 2011

 

Salah satu kutipan yang juga menjadi pegangan hidupku adalah milik sang legenda, Nietzche: ‘Sesuatu yang tidak membunuhmu hanya akan membuatmu lebih kuat’. Di dalam setiap kegagalan, kesialan, kecerobohan yang kulakukan, saya selalu ingat akan kalimat ajaib ini, tak peduli banyak yang bilang seharusnya kutipan yang lebih tepat adalah ‘sesuatu yang tidak membunuhmu hanya akan membuatmu menderita’. Malam ini, di tengah angin kencang yang menghentak atap rumah bapak camat yang saya tempati dan mata sayu kepala sakit karena kecapekan, saya memaksakan diri untuk menulis betapa latihan menjadi lebih kuat itu sedang dialami tim kami di Maluku Tenggara Barat saat ini. Sebelum anda membaca tulisan ini lebih lanjut, ketahuilah bahwa 7 orang yang diutus ke MTB ini sama sekali tidak menghujat nasib yang menggariskan kesulitan di awal masa karya kami, atau menyalahkan kondisi geografis, masyarakat, dan sejenisnya. Kami tetap bersemangat di serpihan-serpihan kecil energi kami ini.

Satu setengah minggu lalu, saya dan teman saya, Bagus, menempuh perjalanan laut sejauh 1,5 hari untuk sampai ke Saumlaki. Kami baru seminggu di desa, itupun saya malah belum tiba di  desa tugas saya karena tingginya ombak. Perjalanan yang jauh, makanan yang berbeda, dan mungkin sepinya desa membuat kondisi fisiknya tergerus. Karena kondisinya semakin melemah, Bagus langsung dibawa ke RSUD Saumlaki oleh Camat kami yang sudah ikut mengantar dari awal.  Di rumah sakit, sebagai penjaga saya dan Arum punya banyak tugas tambahan: mulai dari membelikan makanan sampai obat dan infus untuk rumah sakit! Atas alasan medis, ia harus dibawa ke rumah sakit di Ambon. Namun perjuangan mencari tiket begitu sulitnya, karena tiket pesawat keluar dari Saumlaki hanya berjumlah 28 dalam sehari, sementara begitu banyak pihak yang membutuhkan: pemerintah kabupaten, dinas-dinas, polisi, tentara, pengusaha, dokter, dan sebagainya. Semua pihak menggunakan pengaruhnya untuk mendapat tiket, sehingga hari ini kami pun belum bisa ke Ambon, walau sudah mencari tiket sejak 6 hari lalu.

Hidup di tanah Tanimbar ini membuat kami sungguh sadar bahwa sinyal telepon begitu pentingnya, bukan hanya untuk membunuh kesepian, tapi juga untuk memastikan waktu ketemuan, mengetahui kabar yang lain, dan sebagainya. Tampaknya kami memang harus terbiasa dengan cara orang-orang setempat yang tidak pernah mendapatkan kabar real time. Salah satu cara penyesuaian itu adalah dengan cara menitipkan surat ke orang yang akan ke daerah bersangkutan. Saat akan berangkat ke desaku, saya sempat menitipkan surat untuk disampaikan kepada Matilda yang berisi pesan tentang waktu janjian kami, tempat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Karena saya sudah berangkat lebih dahulu ke Saumlaki (ibukota kabupaten yang adalah tempat berkumpul kami), sehingga Matilda yang tidak bisa dihubungi tentang perubahan jadwal ini tiba di Larat (kota tempat ketemuan) saat kami sudah ada di Saumlaki. Kebetulan pada saat itu ferry yang akan ditumpangi datangnya telat, sehingga mau tidak mau ia harus mencari tumpangan speedboat yang akan ke Saumlaki, agar dapat tiba tepat waktu. Untunglah pada saat itu secara kebetulan ia bertemu dengan kepala dinas pendidikan yang sedang berkunjung ke Larat, dan akan kembali ke Saumlaki dengan speedboat juga. Maka ikutlah Matilda, sembari di perjalanan ia mengajak bapak kepala dinas untuk menyinggahkan speedboatnya di desa Labobar, tempat Sandra bertugas. Karena juga tak bersinyal, kami tidak mendengar sama sekali kabar dari Sandra. Sampai di tepi pantai desa Labobar, gelombang sudah tinggi, sehingga kepala dinas hanya memesankan pada anak-anak di tepi pantai untuk segera memanggil bapak guru Sandra. Si anak pun berlari ke rumah, dan segera kembali lagi dengan kabar bahwa bapak guru sedang sakit, tidak bisa bangkit dari tempt tidur. Bapak kadis pun segera turun dari speedboat dan bergegas menuju ke rumah Sandra. Sampai di sana, di dalam kamar sekujur tubuh Sandra sudah diselimuti, dari kaos kaki, kaos tangan, sampai ke topi maling yang menutupi seluruh wajah itu. Segeralah Sandra diangkut ke speedboat juga untuk menuju ke Saumlaki. Baru lepas dari Labobar, secara ajaib speedboat yang mesinnya masih baru dan mengkilat itu tiba-tiba mogok di tengah jalan, dua mesinnya rusak. Keadaan menegang di atas speed, karena di tengah laut tanpa mesin membuat mereka terhanyut. Bisa saja terulang cerita-cerita orang terhanyut yang banyak ditemui di MTB sini. Sejam terombang ambing di lautan, dari kejauhan tampak ferry mendekat ke arah mereka. Syukurlah si ferry berangkatnya terlambat! Jika tidak, mungkin dua temanku bersama petinggi dinas pendidikan sudah berpelesir bersama ombak entah ke mana. Sopir speedboat segera menggantungkan baju di pucuk speedboat sambil melambaikan tangan. Ferry pun datang menghampiri, dan di bawah tatapan mata para penumpang ferry yang sangat excited dengan pemandangan kapal hanyut di bawahnya, mereka ditarik dengan tali menuju ke kota Larat kembali. Sekitar enam jam kapal cepat tanpa mesin itu ditarik oleh ferry yang berkecepatan kura-kura tua renta. Sampai di Larat, rombongan bersama Sandra yang demam dan sangat lemas menginap smelam, lalu esok harinya brangkat ke Saumlaki. Perjalanan ke Saumlaki, konon, adalah seperti main di Dufan tapi berjam-jam lamanya. Kapal terbanting naik turun, karena mereka berjalan cepat menghantam gelombang.  Lima jam perjalanan, tibalah mereka di Saumlaki, disambut oleh saya dan Arum yang sudah menunggu di rumah sakit. Sandra ternyata sudah empat hari demam tinggi sebelum bapak kadis datang membawanya. Di desa tidak ada layanan kesehatan, sehingga ia hanya meminum obat paracetamol yang ada di kotak P3Knya. Hari ini teman saya ini sudah empat hari di rumah sakit, berjuang melawan menggigilnya malaria dan infeksi lambung yang menyertai dia, mungkin karena makan yang tidak terorganisir baik di desanya.  Banyak cerita Sandra tentang tantangan di desanya, namun untuk detailnya biarlah dibaca di tulisannya sendiri. Menangani dua orang sakit, kami dan juga pihak IM mengusahakan sebisa mungkin untuk terbang ke Ambon mendapatkan perawatan medis yang lebih baik. Sayangnya perjuangan mendapatkan tiket pesawat adalah satu cerita tersendiri lagi. Sejak hari senin kami sudah mencari tiket, yang penuh sampai hari sabtu. Sudah memesan tiket hari sabtu, ternyata tiket kami tidak ada tanpa alasan yang jelas. Dengna usaha keras, ibu camat saya melobi pihak penerbangan untuk mendapatkan tiket di hari minggu. Sudah diiakan, pada hari minggu pagi kami mendapat kabar bahwa tiketnya dibatalkan. Jadilah kami menunggu lagi sampai hari selasa. Banyak tantangan yang kami temui di awal tugas ini, bahkan di saat kami semua belum mulai mengajar. Rapat kami untuk membicarakan pengajaran terpaksa ditunda karena ada teman yang sakit. Banyak kesukaran yang dijumpai oleh masing-masing dari kami bertujuh, dan juga 65 teman lainnya yang sedan memulai karyanya di tempat masing-masing. Yang kami lakukan, masalah yang kami hadapi tentunya sudah ditemui dan sudah dirintangi oleh orang-orang lain, minimal penduduk desa tersebut. Biarlah semua ini menjadi bagian dari proses penempaan kami untuk menjadi orang yang lebih kuat, karena masih ada setahun tantangan membentang di depan.

Karena kami akan dan selalu menjadi lebih kuat.

Saumlaki, 9 Juli 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua