Berkenalan Dengan Saumlaki

Dedi Kusuma Wijaya 12 Juli 2011

Berkenalan dengan Saumlaki

Selama enam hari terakhir saya berada di kota Saumlaki setelah menghabiskan satu minggu di Desa Adodo Molo dan sekitarnya. Keberadaan saya kali ini cukup lama, karena masih harus menemani Bagus yang sedang sakit. Selama hampir sebulan di Maluku Tenggara Barat, sebagian besar waktuku memang dihabiskan di ibukota kabupaten ini, sempat berkeliling dan juga bercerita dengan berbagai macam orang di sini.  Kata Arum, kota Saumlaki itu jalannya mudah diingat, karena bentuknya kotak-kotak saja.  Dari pengetahuan saya yang juga tidak banyak tentang kota-kota Indonesia pada umumnya, biasanya kota terdiri dari pusat kota yang biasanya diisi dengan deretan toko-toko (biasanya dimiliki orang Tionghoa), warung-warung makan (biasanya dimiliki orang Jawa), lalu ada alun-alun atau pusat kumpulnya warga (kadang seperti di Makassar dan Manado pusat keramaiannya ada di tepi laut), rumah-rumah di pinggiran, dan jalan poros menuju ke kota lain (ini berdasarkan pengalaman perjalanan darat berkali-kali dari Jakarta ke Surabaya). Kota Saumlaki sendiri sedikit menyerupai namun juga berbeda dibandingkan pola saya tadi itu. Secara garis besar kota Saumlaki terdiri dari 3 layer jalan yang sejajar dengan ketinggian yang berbeda. Layer pertama adalah pinggiran pantai. Sayang pantainya bukan pantai rekreasi, tapi lebih banyak digunakan sebagai pelabuhan. Sepanjang pantai ada pelabuhan ferry dan kapal pelni, dan dermaga tempat merapatnya motor laut dan juga speedboat dari berbagai daerah di MTB. Di pinggir laut berjejer kios-kios,pasar, dan toko-toko yang kebanyakan dibuka oleh pendatang dari suku Buton dan Bugis. Toko-toko bangunan, kelontong, alat elektronik terdapat di layer kedua, yang adalah jalan poros yang sangat ramai. Jalan ini membentang dari pantai sampai ke terminal antar kota, dan masih terus lagi menuju ke luar Saumlaki. Di jalan inilah terdapat kios makanan, penginapan, counter hp, Yamdena Plaza (kompleks ruko-ruko yang berisi toko-toko), kantor pos, dan sebagainya. Layer ketiga terletak di dataran yang lebih tinggi, sehingga dari jalan poros bawah banyak belokan ke jalan poros atas yang kesmeua jalannya menanjak cukup tinggi. Di jalan poros atas yang adalah jalan baru (diselesaikan pada saat kunjungan Wapres Boediono November 2010) berjejer kantor-kantor pemerintahan, dari Kantor Bupati, DPRD, Dinas-Dinas, Kodim, dan Kapolres. Tersebar di antara jalan poros atas dan bawah adalah pemukiman warga, mulai dari Desa Katolik, Perumahan Dinas, BTN, sampai ke kawasan kos-kosan. Tapi di luar bentuk kota, sesungguhnya yang menarik adalah cerita di dalam kota itu, kisah orang-orang yang menghuni kota itu. Di Saumlaki juga seperti itu, banyak pengalaman dan kisah baru yang saya dapatkan. Yang paling pertama terlintas adalah kesan pertama saat tiba di kota ini. Seperti yang banyak saya dengar dan baca tentang angkot-angkot di daerah Indonesia Timur, angkot-angkotnya dilengkapi dengan musik jedang jedung yang sangat kencang. Jadi kalau yang rindu dugem, masuk saja dalam angkot lalu keliling kota. Musiknya pun sangat update, tidak kalah dengan putaran-putaran DJ. Malah yang lebih istimewa, banyak lagunya yang saat didengarkan kok tidak akrab dengan telinga kita. Setelah dicermati lebih lanjut, ternyata banyak lagu-lagu R&Bnya dibuat oleh anak muda Saumlaki, dengan lirik rap yang juga memakai bahasa Maluku. Ada yang liriknya ‘kau buat hati beta hancur seperti papeda’ dan sejenisnya. Sayang saya belum berhasil mendapatkan lagu-lagunya, yang pasti hasil rekamannya jernih dan tidak kalah dengan para penyanyi R&B ibukota.  Yang menarik, bukan cuma angkotnya, truk angkut barang pun dilengkapi dengan pengeras suara di atas mobilnya. Selain angkot yang berseliweran dengan suara keras, hal lain yang juga menjadi ciri Indonesia Timur adalah harga yang mahal. Saya sudah banyak mendengar cerita dari teman-teman yang keluarganya berdagang di Papua atau di Maluku kalau berjualan di daerah Timur itu ‘cepat kaya’. Saya merasakan sendiri, walau harganya memang ‘hanya’ lebih mahal 2000an, tapi kalau belinya banyak-banyak dan sering-sering yah kerasa juga. Itu kalau barang-barang kelontong, kalau barang elektronik, harganya bisa lebih mahal sampai tiga kali lipat. Seorang teman pernah bercerita, temannya datang membawa handphone satu kardus besar, dalam sekejap hp berharga asli 400ribu dijual 700-800 ribu ludes dalam waktu singkat. Hp yang paling laku adalah hp Mito, hp yang punya speaker gede itu. Hal ini tidak mengherankan, karena speaker tampaknya adalah kebutuhan sekunder orang Maluku. Di desa barang pertama yang dibeli orang ketika mereka ada uang biasanya adalah speaker salon, kalau punya uang lebih yah bisa dilengkapi dengan TV, vcd player, dan lalu microphone. Pengalaman paling menarik tentang beli membeli justru saat saya harus membeli air panas untuk teman yang sakit. Pergilah kami makan di sebuah warung, dan di situ kami meminta air panasnya satu termos. Asumsinya kemungkinan digratisin lah, atau kalau tidak mungkin harganya 5 ribu saja. Ternyata pas bayar, si bapak dengan muka datar menjurus ke menyebalkan menyebutkan bahwa harga air panasnya 15ribu rupiah! Ini lebih mahal dari harga bensin eceran seliter yang dijual 10ribu oleh penjual di pinggir jalan Saumlaki sini. Karena seminggu terakhir saya berkutat di rumah sakit, jadi rumah sakit sudah seperti rumah sendiri saja. Kami menginap di kamar VIP, di rumah sakit umum yang baru berusia tujuh bulan. Ruang VIPnya memang besar, ada sofanya, tapi tak ada ac ataupun kipas angin. Terus panas dong? Ternyata tidak, karena langit-langitnya tinggi, dan jendelanya yang banyak itu terbuka lebar-lebar. Dingin sih memang dingin, tapi pada saat malam datang nyamuk sebatalyon menyerbu kami semua. Bagus yang sedang sakit dan diinfus malah sibuk nepuk nepuk tangan semalaman, telinga saya juga diganggu terus dengan dengungan nyamuk yang seperti gergaji mesin itu. Malam berikutnya nyamuk mulai lenyap setelah empat buah obat nyamuk bakar dinyalakan. Tapi masalah belum selesai. Karena pakai genset, listrik di rumah sakit hanya nyala pada saat malam saja, dan sekali kali pada siang hari. Sehingga charge hpnya harus berebutan. Bukan Cuma listrik yang waktunya terbatas, air juga. Air malah hanya nyala dari jam 7-8 pagi saja, kadang dari jam 7-stengah 8. Makanya ketika air nyala kami langsung mandi, mencuci, dan mencari segala macam ember untuk menampung air. Sekali waktu pipa airnya bocor di belakang kamar, sehingga untuk mandi kami harus menadah air mancur mendadak dari pipa bocor itu dengan ember, lalu dipindahkan ke kamar bak mandi. Tapi tidak ada yang lebih heboh dari seringnya pihak rumah sakit meminta kami membeli obat dan infus di apotek luar, karena mereka sedang mengalami kelangkaan stok. Jadilah saya putar-putar membeli obat suntik, infus, dan lain-lain. Di luar beberapa keanehan yang ada, yang membuat Saumlaki begitu hidup adalah orang-orangnya yang sungguh ramah dan membantu. Di hari ketiga saya di Saumlaki, bersama Matilda saya iseng-iseng jalan mencari Gereja Katolik. Di depan gereja saya bertanya tentang jadwal misa kepada seorang bapak-bapak. Bapak itu ternyata mantan wakil ketua DPRD MTB, dan dengan semangat esoknya mengajak kami ke gereja, dan mengenalkan ke banyak orang. Kami dibawa berjalan-jalan ke pantai Weluan dan patung Kristus Raja (patung tertinggi di MTB), diajak makan di rumah makan, dan diberikan obat gratis oleh dokter kepala rumah sakit. Saat pertama kami tiba di Saumlaki, kami naik ke angkot, dan bertanya-tanya tentang kota. Si sopir angkot dengan semangat menjadi tour guide, ia mengantar kami berkeliling ke seluruh pelosok kota Saumlaki, menunjukkan kantor-kantor pemerintahan, rumah ibadat, penginapan, dan sebagainya. Bang Theo (nama si sopir) akhirnya menjadi taksi kami di sini, kalau butuh jemputan sisa telepon saja. Itupun tarif taksinya serelanya saja. Ada juga ustad muda yang rajin datang menjenguk teman kami yang sakit dan selalu membagikan ceritanya yang seakan tidak ada habisnya. Saat saya memosting blog ini, Pak Herman, petugas ICT Dinas Pendidikan pun dengan baik hati menyalakan genset agar saya dan Matilda bisa berinternet, karena saat ini listrik PLN sedang mati (semoga dia membacanya agar tahu kami berterima kasih atas keramahannya). Selama kami di Saumlaki, Bapak Camat Molu Maru (akan kuceritakan dalam tulisan yang lain) dan keluarganya sungguh menjadi tuan rumah yang tidak setengah-setengah. Mereka menyediakan makanan, tempat tinggal, dan berbagai macam hal lain baik untuk teman yang sakit maupun kami yang menjaganya. Akumulasi keramahan dan kesediaan membantu dari banyak sekali orang di kota ini membuat saya sungguh merasakan bahwa ketulusan itu memang membuat hati kita menjadi lebih hangat, apalagi kami yang terbiasa hidup di kota yang antar tetangga dihijabi dengan tembok tinggi, di kota yang kecurigaan mengikuti setiap perbuatan orang-orang. Bagi orang yang lahir dan besar di kota besar, kota Saumlaki mungkin seperti kata orang kota, ‘gak ada hiburannya’, tapi menemukan kebaikan-kebaikan itulah yang membuat untuk beberapa hal Jakarta, Surabaya, Makassar ‘lewat’. Salam dari tepi selatan Tanimbar...:) Saumlaki, 12 Juli 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua