Balada Berlaut

Dedi Kusuma Wijaya 12 Juli 2011

Balada Berlaut

Selama ini saya sering mengetahui banyak hal dari buku, dari cerita, dari nyanyian. Yah, saya sejak kecil selalu yakin bahwa bangsa kita adalah pelaut yang hebat lewat nyanyian nenek moyangku seorang pelaut. Apalagi mendengar cerita bahwa pelaut Bugis, bersama pelaut Viking adalah bangsa yang di masa lampau mampu melaut menyeberangi samudera. Di buku-buku sejarah juga diceritakan bagaimana pelaut-pelaut besar seperti Magelhaens dan Vasco da Gama pernah singgah di perairan Maluku. Tapi seeing is believing, setelah seumur hidup berkutat di kota, saya baru sadar betapa luasnya laut kita setelah mendarat di tanah Maluku, the island of Doves. Saya sering membaca peta, dan tahu bahwa Maluku terdiri dari banyak pulau, termasuk Kepulauan Tanimbar yang akan kami tempati selama setahun. Tapi saya cukup takjub juga saat tahu perjalanan dari ibukota kabupaten, Ambon, ke Saumlaki, ibukota kabupaten MTB, memakan waktu 1,5 jam dengan pesawat (sama dengan Makassar-Surabaya yang antar pulau besar). Dengan kapal? Dengan kapal paling cepat 2 hari, kalau ombak sedang ganas kemungkinan besar memakan waktu 3 hari lebih. Saya jadi ngeh mengapa dulu Provinsi Maluku harus dipecah menjadi dua provinsi lagi, karena keraksasaannya. Selama 20 hari di Maluku, saya sudah mendapatkan beberapa cerita tentang laut melaut di sini. Provinsi Maluku terdiri dari 10 kabupaten dan 2 kotamadya, dan sebagian besar perjalanan antar kabupaten-kabupatennya yang hampir semuanya terdiri dari pulau-pulau menggunakan kapal laut. Memang ada beberapa penerbangan, tapi masih terbatas di beberapa kota saja, itupun setiap penerbangan hanya menggunakan pesawat fokker yang memuat maksimal 30 orang (Kopaja saja masih bisa lebih banyak), dan biasanya hanya terbang paling banyak sekali sehari. Perjalanan dengan kapal laut, baik yang bentuknya kapal Pelni, kapal perintis, atau ferry memakan waktu berhari-hari. Sebagian besar perjalanan antar kabupaten, yah dengan kapal itu. Padahal saat di Jawa, saya naik bus dari Jakarta ke Surabaya sudah tak terhitung berapa belas kabupaten yang dilewati hanya dalam waktu sekitar 16 jam. Dari satu kabupaten ke kabupaten lain hitungannya kadang-kadang hanya 10 menitan saja. Pengalaman pertama saya mencicipi perjalanan laut adalah saat harus berangkat ke desa penempatanku di kecamatan Molu Maru yang terletak di sisi paling utara dari Kepulauan Tanimbar. Cara termudah dari Saumlaki ke Molu Maru, yang biasanya dilakukan oleh warga kebanyakan adalah dengan naik ferry yang berangkat seminggu sekali ke kota Larat, dan khusus pada minggu kedua dan keempat dalam sebulan ferry ini akan meneruskan perjalanan ke Molu Maru. Kalau ingin ke Molu Maru pada minggu ketiga misalnya, maka kita harus berhenti di kota Larat dan menunggu kalau ada kapal motor dari Molu Maru yang ke Larat dan nebeng pulang. Kalau tidak ada? Yah siap-siaplah nyanggong atau sampai nginap di pelabuhan menunggu kapal! Yah, kembali ke cerita awal, berangkatlah kami dengan semangat menaiki ferry. Seperti ferry biasanya, ada beberapa kelas di kapal ini. Ada kelas ekonomi,yang menyediakan tempat duduk seperti di halte. Ada di tv di ruangan kelas ekonomi, tapi tidak pernah dinyalakan. Ada kafetaria juga, tapi tidak seperti di Jawa, yang dijual hanya kopi mix, pop mie seharga 10ribu rupiah yang stoknya juga sangat terbatas, dan roti sobek yang dalamnya tidak berisi seperti roti tawar. Kursi di kelas ekonomi terbatas, sehingga kalau kehabisan tempat, sudah menjadi hal yang lazim untuk tiduran di dek, atau di bagian dasar kapal yang biasanya digunakan untuk tempat kendaraan. Karena populasi mobil tidak terlalu banyak di kabupaten ini, maka seringnya dasar kapal ini memang menjadi tempat tidur orang-orang, dilengkapi dengan barang-barangnya. Tapi yang saya rasakan, di Maluku ini ferrynya tidak sejorok di Jawa, setidaknya tidak banyak orang yang jualan, orangnya juga gak sepadat di Jawa, tidak ada musik Panbers yang mengalun kencang, dan wcnya tergolong bersih. Di kelas bisnis, kita bisa tiduran karena disediakan papan yang dilapisi karpet. Selain itu bisa juga menyewa kamar awak kapal, yang tingkat ‘kemewahannya’ juga bevariasi. Mulai dari kamar ABK, kamar mualim, sampai kamar kapten.   Dua kali naik ferry ini, saya menyewa kamar ABK yang berharga 200ribu per tempat tidurnya. Perjalanan dari Saumlaki ke Molu Maru total ditempuh dalam waktu 1,5 hari. Dari Saumlaki ke Larat memakan waktu 16 jam, setelah itu ferry transit dulu di Larat dari jam 10 siang sampai jam 2 malam. Jam 2 malam kapal baru berangkat lagi ke Molu Maru, sampai di Desa Adodo Molu, ibukota kecamatan Molu Maru jam 8 pagi. Karena belum ada dermaga, ferry harus melego jangkar di laut lepas, dan banyak kapal motor kecil yang datang menghampiri untuk mengangkut penumpang. Dari Adodo Molu, untuk sampai ke desaku harus naik speedboat lagi selama 20-30 menit, tapi di bulan-bulan sekarang ini sampai Oktober angin timur sedang berhembus kencang, sehingga ombaknya sangat tinggi, speedboat hampir tidak mungkin lewat. Jalan satu-satunya untuk ke desaku adalah dengan jalan darat menerabas hutan sejauh kurang lebih 8 km. Perjalanan laut superpanjang saya yang pertama ini ternyata hanya sekelumit kecil dari dunia laut melaut yang mungkin akan banyak saya temui di Maluku setahun ke depan. Banyak cerita-cerita menarik seputar perjalanan laut yang kukumpulkan selama 20 hari berada di sini. Jika dikategorisasikan, ada dua kategori paling menarik dari perjalanan laut yang paling sering diceritakan orang: kapal kebalik dan kapal hanyut. Untuk kategori pertama, yaitu kapal kebalik, cerita pertama yang kudapatkan adalah saat hari pertama saya berada di desa Adodo Molu. Seorang warga bercerita,  bahwa saat turun dari ferry, semua penumpang sontak menyerbu sebuah perahu motor. Karena kelebihan beban dan tidak seimbang, perahu itu langsung terbalik di depan ferry, bersama penumpang-penumpang lainnya. Salah seorang yang menjadi korban adalah dokter PTT yang baru sebulan bekerja di Adodo Molu. Tiga hpnya langsung rusak seketika, dan laptopnya tidak bisa nyala karena terlalu banyak terisi dengan air garam. Kata beliau total kerugiannya hampir mencapai 20 juta.  Bicara tentang kerugian materiil, ada cerita juga tentang kapal motor (di sini biasanya dikenal dengan nama motor laut) dari desa Nurkat. Nurkat adalah desa yang terletak di pulau Moro, satu dari dua pulau yang membentuk kecamatan Molu Maru. Serombongan guru dari Nurkat sedang dalam perjalanan kembali ke desa setelah mereka mengambil gaji di Saumlaki. Dalam perjalanan itu motor yang ditumpangi menantang gelombang besar. Karena awak kapalnya nekat menabrak gelombang, si motor pun tidak kuat menahan gelombang sampai akhirnya ia terbalik di daerah tanjung yang sebenarnya sudah dekat dengan pesisir Nurkat. Saat motor terbalik, semua orang tidak ada yang memakai lifevest (memang hampir tidak ada sejaranhnya penduduk setempat memakai lifevest. Karena saat itu mereka baru saja mengambil gaji dan membeli keperluan sehari-hari di Larat, sambil menyelamatkan diri orang-orang juga sibuk menyelamatkan barang. Alat paling favorit untuk menjadi pelampung dadakan adalah jerigen minyak, yang memang banyak di atas motor. Dua orang guru katanya dalam keadaan kalap berebutan mengambil jerigen, yang satu karena ingin menyelamatkan dirinya, yang satu karena jerigen berisi minyak itu miliknya. Akhirnya pemenangnya adalah guru pemilik jerigen minyak. Si guru yang kalah akhirnya berusaha berenang ke tepian, sementara guru pemilik jerigen juga tidak menjadikan jerigennya sebagai pelampung (harusnya dikosongin dulu biar bisa mengapung), tetapi berenang membawa jerigen minyak yang berat itu sambil juga menggandeng istrinya dan anaknya yang tidak bisa berenang. Saya tidak bisa membayangkan renang gaya apa yang digunakan untuk membawa barang dan orang segitu banyaknya. Nah, yang terjadi dengan guru yang satunya, ia berjuang melaawan ombak. Saat sudah mendekati pantai, ombak menghempaskannya lagi ke lautan, sampai ia membuka celana panjangnya yang karena berbahan jeans menghambat pergerakannya. Ia pun berjuang lagi, dengan berenang sambil menahan kantong baju agar uang gaji tidak hanyut dan tanpa celana. Akhirnya si guru yang malang ini pun selamat sampai di pantai, dan langsung pingsan di tempat. Sampai sekarang kalau ada ombak ia tidak berani ikut motor, sampai-sampai istrinya yang tinggal di Larat sudah berprasangka si bapak sudah punya istri baru di Nurkat karena tiba-tiba jarang pulang. Kisah kapal kebalik lainnya terjadi pada hari kedua saya berada di Adodo Molu. Saat itu bapak camat mengajak saya dan rekan seperjuangan saya, Bagus, untuk mengikuti kunjungan kerjanya ke desa lain di pulau Molu, yaitu Tutunametal. Sampai di Tutunametal saya turut menguping kehebohan yang terjadi, katanya ada motor dari penduduk desa itu yang kebalik di tengah lautan, untungnya pada saat itu motor lain yang sedang lewat di dekatnya. Kata warga, motor itu memaksakan diri untuk jalan dengan muatan yang berlebihan dan pada saat gelombang sedang tidak ramah. Tidak lama kemudian, ada kabar lagi bahwa sebuah speedboat dari Kecamatan Wuar Labobar yang sedang melintas di dekat Molu Maru terbalik, dan menewaskan satu orang. Konon katanya, si bapak almarhum ini berusaha menolong seorang ibu yang tidak bisa berenang, tapi pada saat ibu ini bisa diselamatkan, eh si bapak malah hanyut entah ke mana. Jenazah bapak ini baru ditemukan tiga hari kemudian, dengan keadaan badan sudah membengkak. Mungkin masih akan banyak cerita lagi yang saya dengar, tapi dua cerita dalam satu hari menunjukkan bahwa musibah kapal kebalik sudah menjadi keseharian, mungkin seperti metro mini yang nyeruduk motor di Jakarta atau becak nyemplung got yang biasa kutemui di Makassar. Kategori kedua selain kapal kebalik adalah hanyut. Dalam mengarungi laut, biasanya ada berbagai macam kapal, dari kecil sampai besar. Kapal yang paling kecil, yaitu ketinting tanpa mesin jarang hanyut, karena yah mereka tidak berani mengarungi lautan jauh-jauh, palig seputaran pulau saja. Yang paling besar, seperti kapal ferry atau kapal pelni juga tidak bisa disebut hanyut, karena mereka biasanya masih dilengkapi dengan peralatan radio dan navigasi yang baik, juga tentunya mesinnya lebih kompleks dan ada mekanis yang siap siaga di kapal. Di tengah-tengah ada speedboat dan motor laut, kendaraan paling menyenangkan di laut karena bisa menempuh perjalanan dengan lebih cepat. Speedboat secara umum lebih cepat dari motor laut, karena desain kapal dan juga mesinnya lebih mumpuni daripada motor yang biasanya dibuat sederhana dengan menggunakan kayu, mesinnya pun mesin Cina yang jenisnya berbeda dengan speedboat. Sebagai perbandingan, perjalanan Saumlaki-Larat dengan ferry ditempuh dalam waktu 16 jam, dengan motor laut sekitar 6 jam, dan dengan speedboat empat mesin malah hanya dilalap dalam 2,5 jam saja! Tapi si kendaraan lincah ini, speedboat dan motor lautlah yang paling rawan hanyut. Karena mesinnya kecil dan jalannya kencang, seringkali pengendara kapal tidak sadar mereka memasuki daerah lautan dangkal atau tiba-tiba ada karang, sehingga baling-baling mesin bisa patah. Dapat juga karena gangguan teknis yang tidak jelas penyebabnya apa mesin tiba-tiba mati di tengah jalan. Kalau mesinnya ada banyak sih, mati satu masih ada yang lain. Tapi kalau mesinnya Cuma satu dan itupun mati, maka si motor atau speedboat ini langsung bertransformasi menjadi kapal layar. Kecepatan lajunya pun menurun sampai seperseratus, karena kapal berjalan seiring arah angin. Arahnya pun tidak tentu, mengikuti keinginan si angin. Peristiwa inilah yang dikenal dengan nama hanyut. Peristiwa hanyut ini cukup banyak ditemui, terutama pada saat musim angin kencang. Di Kepulauan Tanimbar ada dua musim angin utama yang dikenal, yaitu musim angin barat di bulan Februari-Juni, dan musim angin timur di bulan Juli-Oktober. November-Januari biasanya keadaan laut sudah lebih tenang. Di areal Molu Maru, musim timur adalah musim yang paling jahat. Angin kencang menyebabkan kapal yang hanyut bisa mengalun tak tentu. Suatu waktu Kepala Dinas Kesehatan MTB sedang menyusul rombongan bupati yang berkunjung di sekitaran Larat untuk melakukan pelayanan kesehatan masyarakat gratis di sana. Mereka membawa segepok obat beserta beberapa tenaga medis. Sang kepala dinas ternyata beruntung mendapatkan kesempatan terhanyut. Di tengah jalan, mesin speedboat mereka tiba-tiba mati. Tidak ada cara lain, si speedboat pun bertransformasi menjadi perahu layar dengan jubah-jubah medis putih bersih menjadi layarnya. Selama 12 hari tenaga-tenaga medis yang malang itu terombang ambing di lautan. Sementara di Saumlaki pemerintah kabupaten sudah kalang kabut, sampai menyewa speedboat dan bahkan mencarter pesawat untuk berkeliling mencari rombongan yang hanyut ini. Karena hasilnya nihil, ibadat bagi orang meninggal sudah diadakan bagi ibu dokter dan rombongannya. Di hari ke 12 inilah mereka ditemukan terdampar di sebuah pulau di deretan kepulauan Aru. Semua penumpang selamat, dan mereka bertahan hidup dengan c memanfaatkan perlengkapan medis yang dibawa mereka: semua penumpang menginfus diri mereka masing-masing agar tidak kekurangan cairan, dan semua jenis makanan kesehatan yang diangkut dihabiskan, mulai dari bubur bayi sampai biskuit ibu hamil. Kata salah seorang pegawai kecamatan, cerita orang hanyut memang sering sekali ditemukan. Ada sekelompok orang dari salah satu desa di Molu Maru yang waktu itu ingin ke Larat, karena mesinnya rusak di tengah jalan dan angin sangat kencang, mereka pasrah saja dibawa ke mana oleh si ombak. Seluruh penumpang motor ini akhirnya menemukan sebuah pulau tak berpenghuni di sekitar perairan Banda. Di pulau ini penuh dengan tanaman pisang yang dimiliki oleh seorang warga pulau yang lain. Saat juragan pisang ini menemukan mereka, konon wajahnya sudah hampir tak terlihat, karena brewokan tak karuan. Terang saja, ternyata mereka terhanyut selama sebulan! Mereka katanya bertahan hidup dengan makan apa saja yang terhanyut di lautan dan ditemukan oleh mereka. Seringnya mereka makan daun-daunan yang tidak jelas terhanyut dari mana. Satu kisah hanyut lagi yang menarik adalah para pedagang dari Molu Maru yang juga ingin ke Larat di musim angin timur yang kejam itu. Mengulangi kisah-kisah yang sudah-sudah, cicit cicit seorang pelaut ini mengalami kerusakan mesin, dan mereka pun hanyut, kali ini lebih edan, sampai ke sekitar Makassar! Coba saja cek di peta untuk melihat betapa jauh lompatan mereka. Saya membayangkan, mungkin kalau saya pada hari kesekian saya sudah nyerah dan nyebur saja ke laut. Pertanyaannya, bagaimana mereka bertahan hidup? Saking tidak ada makanannya, mereka memakan kayu dari kapal sendiri! Yah, jadi saat ditemukan kapal mereka sudah menjadi sangat kecil, hanya dipas-paskan dengan penumpang saja. Saat kayu kapal sudah habis, mereka mulai memakan baju-baju mereka. Wah, ternyata yang biasanya difilmkan oleh Hollywood, sudah menjadi cerita umum di Maluku sini. Selain terhanyut, ada juga orang-orang yang suka ‘menghanyutkan’ dirinya. Konon di MTB bagian selatan, jika ada pasangan yang tidak direstui oleh orang tuanya, mereka akan kawin lari. Kawin lari mungkin hal biasa, tapi mungkin karena nenek moyangnya seorang pelaut, si pasangan lalu kawin lari dengan menggunakan perahu, membawa diri mereka sampai ke Darwin, Australia, yang dapat ditempuh dengan perjalanan sehari semalam saja dengan menggunakan perahu layar. Sampai di Darwin, mereka akan langsung merusak perahunya, menenggelamkannya, membuang semua harta benda mereka, agar dibawa ke Dinas Sosial Australia. Biasanya mereka lalu mencari suaka dan berharap hidup bahagia selamanya di negeri Kangguru. Sayang sekali karena beberapa tahun terakhir jumlah pencari suaka semakin banyak, para pasangan ini dipulangkan kemarin dengan biaya pemerintah Australia ke kampung halamannya. Kelanjutannya bagaimana, sayang saya sendiri tidak tahu. Itulah sedikit cerita saya tentang pernak pernik dalam berlaut di hari-hari awal saya di tanah rempah-rempah ini. Saya jadi penasaran rasanya hanyut, pasti adrenalinnya ratusan kali melebihi Tornado di Dufan. Tapi entahlah, saya rasa saya tidak perlu tahu rasanya,hehe... Saumlaki, 7 Mei 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua