info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Imperfection = Beautiful, loveable, valuable

Beryl Masdiary 23 Juli 2011

Jalan yang rusak selalu membuatku tersentak. Secara arti sesungguhnya maupun lebih dari itu. Dalam perjalanan pulang dari Bima ke Tambora, saya harus melewati Dompu, kabupaten lain yang diapit oleh semak belukar, teluk, gunung, padang rumput dan jalan yang sebagian besar masih beraspal kasar. Sepanjang terguncang dan berayun di dalam bis, sinyal handphone timbul tenggelam, dan laju bis yang bergerak cepat membuat saya agak kesulitan mengambil gambar dan live tweeting, kebiasaan yang saya lakukan jika saya kagum dengan seseorang atau sesuatu. Sebelum saya bergabung dengan Indonesia Mengajar dan belajar Indonesia dari dekat, saya sering berpendapat bahwa keindahan datang dari kesempurnaan. Sedikit celah membuat saya tidak puas, lalu asumsi saya malah memperluas celah itu, bukannya memperkecil atau memperbaikinya. Namun, sepanjang perjalanan, ketidaksempurnaan yang sempurna lah yang saya nikmati. Di kanan kiri jalan berbatu terbentang pemandangan unik layaknya padang rumput afrika. Di seputaran udara kering dan sedikit manusia, terdapat kawanan sapi, kuda putih, dan... satu lagi! Kerbau yang ‘berambut’ panjang di seluruh badannya! Saat itu luar biasa  terik, sangat berdebu, dan kami bisa dengan jelas merasakan udara panas yang sama dengan penumpang lain, saking berjejalnya para penumpang. Tetapi entah mengapa, justru pemandangan seperti itu yang menyelipkan rasa kagum dan membuat saya menyadari satu hal: keindahan bukan datang dari kesempurnaan. Justru, ketidaksempurnaan menyiratkan sinar keindahan yang unik, bahkan tak terlupakan. Mereka seakan menyapa dengan bahasa peri, bahasa yang bisa kau dengar hanya jika merunduk dan menatap lebih dalam... Lalu tibalah hari pertama saya mewarnai sekolah. Ada rasa yang tidak asing, seperti Deja Vu, ketika saya perhatikan sekolah ini, SDN 01 Labuhan Kananga.  Sekolah di tepi jalan pasir tanpa pagar dan plang nama, Apalagi lampu dan kipas angin. Kelas lokalnya hanya 3, dengan kelas filial di Doro Lede, yang bejarak 15 km ke atas gunung, beralaskan tanah berbatu, jalan menanjak dan dinding kayu tanpa atap. Sebagian besar anak-anak disini adalah anak suku Bima, dengan suku sasak (lombok) sisanya. They’re keep talking in their mother language. Tapi lalu tertawa lebar kalau saya berusaha bicara bahasa mereka. Banyak yang tak bersepatu dan main pukul-pukulan, tetapi langsung menyembunyikan tangan jika saya menoleh ke mereka. Guru-guru bicara dengan nada sungkan, “maaf ya Bu Riri, harus hidup a la kampung seperti ini karena mengajar di kampung..”. Saya hanya tersenyum, mereka mungkin tidak tahu kalau saya melihat satu hal: Di dalam sekolah yang tidak sempurna dan anak-anak yang terlihat tidak sempurna itu, ada binar cahaya. ada harapan. ada masa depan bangsa ini. Siang sudah tinggi ketika saya sampai rumah panggung berwarna-warni hari ini. Menyadari ada salah satu baju saya yang sobek, ina (ibu) mengatakan dengan sungguh bahwa ia yang akan menjahitkannya untuk saya. Ia yang akan melipat baju dan dengan senang hati bilang masakan saya caru poda. Sambil duduk diam memperhatikan beliau menjahit dan bercerita soal zaman beliau pergi ke sekolah dengan kuda melalui jalan setapak, saya memperhatikan tangan ibu.  Keriput sering terbakar matahari, berurat karena sering bekerja keras, dan kecil namun dipercaya melahirkan 11 anak. Tangan itu yang menerimaku seperti anak sendiri, yang menjahitkan dan mengelus tanganku ketika bercerita. Lagi, aku optimis dapat membuat tenun kebangsaan, mulai dari yang terkecil, namun dekat dengan hati. Jika ditanya mengapa saya tertarik bergabung dengan program ini, lagi-lagi saya akan bilang saya menemukan kepingan visi yang sama dengan penggagas gerakan ini. Pak Anies Baswedan. Mungkin sama seperti teman-teman lainnya, bahwa kami sepakat tidak stuck di satu momen, tetapi berusaha temukan keindahan. Jangan biasakan kirim ratapan, tetapi sampaikan harapan. Jangan mengutuk kegelapan, tapi nyalakan cahaya. Saya ingin semangat itu saya teruskan menjadi salah satu karakter anak-anak, warga Tambora, masyarakat Indonesia. Baiklah, setidaknya saya bisa mulai dengan 106 pasukan 01 Labuhan Kananga, dan 10 murid tetap les “apa aja asal sama Bu Riri”, yang kini tertidur pulas di lantai kayu rumah housefam, yang sudah mendeklarasi akan belajar dan menginap setiap malam. :-)


Cerita Lainnya

Lihat Semua