Bapak, Orang-orang Itu Mabuk
Dedi Kusuma Wijaya 17 Desember 2011Dari lima desa di Kecamatan Molu Maru, desaku, Wadankou, terkenal sebagai desa yang paling kepala batu. Karakter warganya keras, dan selalu rajin memprotes segala sesuatu dengan blak-blakan. Desa ini juga tidak pernah patuh 100% pada pemerintahan kecamatan, selalu saja ada warga yang mbalelo. Seringnya penyebabnya ada karena kecemburuan pada penunjukan desa tetangga, Adodo Molu, sebagai desa ibukota kecamatan. Hubungan Wadankou dan Adodo Molu persis seperti hubungan Indonesia dan negara tetangganya, selalu penuh keributan tentang batas wilayah dan sentimen antar warga. Pak Camat setiap kali berkunjung ke Wadankou selalu saja dipusingkan dengan adanya warga yang nyelonong teriak saat Pak Camat sedang berbicara, yang sering berujung pada ketegangan. Hal ini akan menjadi lebih komplet lagi saat warga sudah menenggak sopi (minuman keras khas Maluku) dalam jumlah banyak dan menjadi out of their mind.
Sudah beberapa kali saya menyaksikan warga yang berkelahi saat pesta karena terlalu banyak minum. Saya sendiri pernah dihardik oleh salah seorang pemuda yang mabuk, sebelum pemuda itu ditarik oleh seorang warga lainnya. Orang-orang yang sering nyeletuk tidak sopan saat Pak Camat sedang datang itu biasanya juga warga yang sedang dalam pengaruh alkohol tingkat tinggi.
Hal yang paling membuat saya sedih terkait hal itu adalah pengaruhnya terhadap anak-anak. Memang anak-anak sudah terbiasa melihat keributan karena mabuk dan menganggapnya sebagai hal yang biasa saja. Tapi saya tetap saja khawatir, terutama kepada para anak laki-laki, karena tidak ingin kelak mereka menjadi seperti itu juga. Saya sering bertanya di kelas, apakah anak-anak kelak kalau besar mau menjadi seperti orang-orang mabuk yang lalu sibuk berkelahi. Mereka selalu menjawab tidak mau, dan setelah itu biasanya saya lalu menjelaskan tentang perlunya mereka punya cita-cita yang tinggi, untuk menjadi orang yang lebih berharga bagi dirinya dan orang lain.
Hari ini, peristiwa orang mabuk dan berbicara tidak karuan itu terjadi lagi. Kisahnya dimulai dari meninggalnya Kepala Desa Wadankou karena tenggelam di lautan dekat kampung. Karena keadaan kepala desa kosong, maka pemerintahan sementara harus dipegang oleh seorang caretaker yang ditunjuk oleh pemerintah kabupaten, yang bertugas menenangkan suasana desa sambil mempersiapkan proses pemilihan kepala desa yang baru. Untuk posisi caretaker ini, pemerintah telah menunjuk seorang PNS staf kecamatan. Yang menjadi masalah, banyak warga Wadankou yang tidak bisa menerima penjelasan dari pemerintah perihal caretaker ini. Banyak yang merasa tidak setuju kalau dipimpin bukan oleh warganya sendiri, ada juga yang merasa bahwa ini adalah bagian dari niat kecamatan mengontrol mereka, dan seterusnya.
Hari ini, sekretaris kecamatan beserta beberapa staff datang untuk menyiapkan upacara pelantikan caretaker kepala desa pada senin lusa. Saya datang bersama para staff ini, dan saat para staff sibuk rapat di rumah sekretaris desa, saya sibuk bermain dengan anak-anak yang selalu berkerumun di depan rumahku. Saat itulah tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang bertelanjang dada berteriak dengan kata-kata kasar yang intinya menolak dipimpin oleh orang dari kecamatan. Bapak Sekcam langsung marah dan meminta para Linmas (Hansip) menahan orang itu. Keadaan menjadi semakin panas, karena orang yang tampaknya sedang mabuk itu langsung dirubung oleh warga. Seorang bapak majelis Gereja langsung berteriak kepada para staff kecamatan bahwa dia yang akan ‘membereskan’ orang ini. Anak kecil ada yang menangis, anak yang lain sibuk berkerumun di sekitar orang yang rupanya sedang mabuk itu. Saya hanya bisa menghela nafas panjang melihat kejadian ini, merenungi betapa anak-anak sungguh mengalami krisis keteladanan kalau tiap hari melihat pemandangan seperti ini. Apalagi saat seorang anak berkata bahwa bapak itu adalah bapak pembina sekolah minggu mereka. Hatiku seperti ingin memaki juga, jika seorang guru agama saja menampilkan perilaku seperti itu, pada siapa anak-anak ini akan mencontoh perilaku positif? Saudara piaraku berdiri di sampingku di depan pintu dan berkata: “walau saya warga desa ini, saya sudah malas tinggal di desa ini, yang orang-orangnya punya perilaku seperti ini”.
Saya berdiri, melihat keramaian di kejauhan, sambil menerawangkan pikiranku entah ke mana. Beberapa saat saya lalu menyadari bahwa Nindy, anakku yang paling bersinar itu, duduk di depan sendirian, tidak ikut mengerubungi temannya. Saya lalu menghampirinya, duduk sambil merangkul pundaknya dan berkata: supaya tidak jadi seperti itu, kita harus sekolah yang tinggi. Orang yang berpendidikan, yang pintar, akan bisa mengendalikan dirinya dengan lebih baik. Sambil kuelus kepalanya, ia hanya manggut-manggut memahfumio perkataanku.
Semoga saja anak-anak ini, bisa berjuang di garis keterdidikan, untuk mengubah wajah desa tercinta ini.
Wadankou, 22 Oktober 2011
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda