info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Akhirnya: Upacara Bendera!

Dedi Kusuma Wijaya 17 Desember 2011

Sewaktu SD dulu, saya (dan mungkin juga sebagian besar dari pembaca) sudah sangat kenyang dengan kegiatan rutin tiap Senin yang bernama upacara bendera. Pasti masih lekat di ingatan kita beratus cerita seputar upacara bendera ini. Ada yang semangat sekali karena menjadi langganan pemimpin upacara atau pengibar bendera, ada pula yang sangat tidak semangat sekali karena perannya hanya sebagai anggota barisan yang berdiri tegak menyambut matahari pagi. Saking seringnya upacara, ada beberapa siswa yang mengibarkan bendera I hate Monday  karena adanya upacara. Apalagi kalau upacra diikuti dengan prosesi pemeriksaan kuku dan kerapihan, saya paling takut karena malas gunting kuku, dan selalu mendapat tebasan rotan di kukuku.

Selepas melayangkan memori ke masa-masa upacara saya (dan tentunya anda juga) dulu, saya ingin mengajak anda untuk menyelami memori anak-anak SDK Wadankou, tempat saya mengajar sekarang ini, terkait upacara. Upacara di sekolahku sudah bertahun-tahun punah. Upacara terakhir diadakan hampir dua tahun lalu, itupun pelaksanaannya masih sangat jarang sekali. Saya sebenarnya sudah mau menginisiasi upacara sejak awal, tapi selalu ada saja alasan untuk tidak melaksanakan upacara. Saat saya tanya apakah upacara bendera sering diadakan sebelumnya, jawaban kepala sekolah juga ambigu, tidak jelas. Barulah setelah seorang guru menjelaskan baru saya ngeh, kalau sudah sangat lama sekolah ini tidak mengadakan upacara. Wah, kalau begitu, ada satu memori masa sekolah yang belum dimiliki oleh murid-muridku ini: memori upacara itu.

Mendengar kabar itu, di satu hari Jumat saya langsung memutuskan, untuk tanpa basa basi hari Senin kami harus langsung mengadakan upacara. Saat itu kebetulan kepala sekolah sedang ke Saumlaki, jadi dari seorang guru honorlah saya baru tahun bahwa di sekolah ini tidak ada kelengkapan upacara seperti susunan acara, teks pembukaan UUD 1945, dan seterusnya. Saya mau menulis teks-teks itu dengan tangan saja, tetapi saya tidak tahu pasti susunan acara itu apa saja, dan juga tidak hafal (dan malas juga sih nulisnya panjang banget) pembukaan UUD 1945. Saya pun memutuskan untuk pergi ke ibukota kecamatan di Adodo Molu untuk mengeprint kelengkapan upacara ini (di desaku tidak ada printer). Dengan mengganti ongkos bensin 10 liter plus jalan kaki 40 meniran, saya pergi ke Adodo dengan satu tujuan: mencetak teks-teks yang dibutuhkan. Untungnya teman saya, Bagus, kebetulan sedang mengetik ulang teks-teks tersebut untuk memperbaharui teks milik sekolahnya. Jadilah saya mendapatkan teks yang saya butuhkan itu.

Saya tiba kembali di desa hari minggu jam 5 sore. Saat itu anak-anak sedang berkumpul di pantai untuk bermain bola, lompat tali, dan sebagainya.  Turun dari speedboat saya langsung menghampiri salah seorang rekan guru saya yang sedang ada di pantai untuk meminta persetujuannya mengadakan upacara senin besok, dan langsung berjalan lurus ke sekolah sambil menggiring anak-anak yang oleh Bapak guru tadi langsung dibubarkan acara main-mainnya. Dan dengan persiapan yang sangat apa adanya inilah saya memulai latihan upacara bendera pertama. Untunglah pada saat 17 Agustusan kemarin anak-anak sempat mengikuti lomba baris berbaris di kecamatan, sehingga sudah tidak sulit lagi melatih pengerek bendera, walau latihannya tidak bisa dilakukan dengan bendera karena tidka ada bendera latihan di sekolahku. Singkat cerita, setelah melakukan latihan, termasuk latihan baca khusus di malam hari untuk para pembaca acara, pembukaan UUD dan janji siswa, mereka pun mementaskan upacara pertamanya ini keesokan harinya.  Dan inilah beberapa kejadian lucu, eh salah, menarik, yang mengisi upacara pertama itu.

1.       Setelah dengan susah mempertahankan anak-anak kelas 1 & 2 untuk tetap berdiri dalam barisan (mereka masih bingung apa tujuannya diberdirikan tidak jelas di lapangan) dan setelah gladi sekali lagi, upacara siap dimulai. Maslaahnya hanya satu tetapi sangat krusial: bendera belum ada! Rupanya bendera dibawa oleh Pak Yanto, salah seorang guru. Pak Yan tidak kunjung datang, sehingga seorang murid pun diutus untuk berlari ke rumahnya untuk memanggilnya ke sekolah. Setelah 10 menit berlalu dan anak-anak mulai kepanasan hebat, si utusan pun datang dengan berkata: “Pak Yan seng ada di rumah pak, rumah takunci! Pi cari mangga kapang pak.” (Pak Yan tidak ada di rumah, mungkin pergi cari mangga, di hutan). Dan puyenglah saya. Akhirnya dicarilah bendera tua di kantor kepala sekolah untuk dinaikkan. Dan kemudian berkibarlah bendera merah putih yang bagian putihnya sudah sobek macam digigit tikus, yang membuat pengibar bendera perlu sangat hati-hati dalam mengikatnya agar tidak bertambah sobek.

2.       Pada sesi upacara pertama ini, Pak Edi, yang terkenal galak dan juga ikut membantu saya melatih upacara ini bertindak sebagai pembina upacara. Karena banyak kekurangan di sesi pertama ini, Pak Edi gatal untuk mengatur anak-anak. Akhirnya kekhidmatan upacara sedikit berkurang karena pembina upacara yang biasanya diam saja di tempatnya ini berteriak-teriak sana sini. Mulai meneriaki anak kelas 1 yang sudah seperti belut direbus gerakannya, pemimpin upacara yang lupa balik kanan, pengatur upacara yang terlambat melapor, dan lain lain.

3.       Pemimpin upacara punya cerita sendiri lagi. Bagian yang sering salah pada saat latihan adalah pada saat amanat. Seringkali pemimpin tidak mengistirahatkan barisan pada saat amanat dan lupa menyiapkan lagi. Setelah dilatih terus, pada saat pentas beginilah hasilnya. Pembawa acara memmbacakan: Aaamanaaat. Dengan lantang si pemimpin langsung berteriak istirahat di tempaaatttttttt, grak! Mantap. Dan amanat pun dimulai, pembina berkata: selamat pagi rekan guru dan anak-anak sekalian, shalom. Anak-anak baru menjawab shalom, tiba-tiba sudah ada suara lagi, siaaaappppppppp, grak! Pecahlah tawa semua anak, sementara si pemimpin tampak telah menyadari kesalahannya. Dan amanat pun berjalan lagi. Sampai di akhir amanat, setelah pembina mengucapkan sekian dan terima kasih, pemimpin langsung sigap lagi berteriak. Istirahat di tempaattttt, grak! Dan anak-anak ketawa lagi. Dan dia membetulkan lagi jadi siap, grak. Dan saya cukup garuk-garuk kepala saja.

4.       Pembacaan UUD 1945 selalu jadi bagian yang paling susah, karena itu dipilih anak yang kemampuan membacanya paling bagus. Masalahnya, anak ini, dan kemudian terbukti di upacra berikutnya juga, tidak bisa membaca satu kata: ketertiban. Kata ini selalu dibaca menjadi ketertibaan (dengan dua a). Mungkin kosakata ketertiban belum diketahui oleh mereka (mungkin ini juga yang membuat anak-anak ini susah tertib di sekolah kali yah?) Setelah kulatih berkali-kali, tetap saja ketertibaan muncul.

5.       Pembacaan yang paling sulit adalah pembaca doa.  Entah apakah karena doa yang ditulis olehku ini bahasanya terlalu sulit atau bagaimana, tapi di upacara perdana (dan juga upacara berikutnya) pembacaan doa selalu menjadi item yang paling tidak khusuk. Di pembacaan pertama, Tunik, siswa kelas 5 membaca dengan sangat terputus-putus, plus salah-salah baca lagi, membuat beberapa orang sampai membuks lagi mata yang sudah ditutup. Di pertemuan kedua, Lince membaca doa dengan sangat pelan, seakan-akan ia sedang berdoa sendirian di kamarnya saja. Ini tetap saja membuat orang membuka matanya juga saking sayup-sayupnya suara si pembaca doa.

Di luar semua kelucuannya, saya sungguh menghayati makna upacara bendera dari pengalaman anak-anakku ini. Selepas upacara pertama, terjadi satu fenomena yang mungkin jarang ditemui di kota: terjadi demam upacara bendera di mana-mana. Di kelas, saat anak-anak ada waktu lowong (misalnya saat diminta mencatat dan telah selesai sementara teman lain belum selesai), anak-anak pasti sibuk bermain upacara. Ada yang berlagak seperti pemimpin upacara, berteriak siaapppp graaakk, hormaaatttt graaakkk, ada juga yang pura-puranya jadi pengerek bendera. Biasanya ini kalau mereka sudah bertiga, jadi satu orang di tengah menaruh buku di tangannya (pura-puranya bendera) dan mulai bergerak jalan dari sisi kelas yang satu ke sisi yang satunya lagi. Demam upacara ini terjadi merata di semua kelas. Sampai tadi saya mendengar seorang anak berkata begini sambil mengajak temannya: “heh, mari katong main upacara” (yuk, kita bermain upacara). Wauw, sampe ada permainan upacara-upacaraan (coba, di kota mana ada permainan upacara-upacaraan).  Lagu Indonesia Raya juga menjadi hit di kalangan anak-anak, terutama (entah kenapa) anak kelas 1 & 2. Mereka terus menerus menyanyikan lagu kebangsaan ini, ada yang sambil berlagak jadi dirigen pula.

Tadi siang, saat berjalan pulang dari sekolah, Santini, siswa kelas VI, melaporkan kepadaku bahwa ia sudah hafal janji siswa. Ia lalu melafalkannya di depanku. Saya bingung, dan berkata: “heh, Santini belajar dari mana? Dari upacara yang dulu sekali kah?”. Santini: “tidak pak, yang baru-baru ini saja”. Wauw, jadi hanya dari dua kali upacara saja ia sudah bisa menghafal janji siswa! Saya bertahun-tahun sekolah tidak pernah kepikiran untuk menghafalkan janji siswa. Bahkan ia pun juga agak hafal dengan doa, yang saya sendiri sebagai penciptanya bahkan tidak pernah punya keinginan menghafalkannya.

Dari rangkaian peristiwa seputar upacara perdana ini saya jadi berpendapat bahwa upacara bendera ternyata punya peran besar terhadap anak-anak. Yang pertama adalah upacara bendera menjadi tempat mereka tampil di ‘panggung’. Anak-anak kota banyak yang terbiasa ikut lomba ini itu, tampil di pentas seni sekolah dan sebagainya, namun bagi anak-anak kampung ini, upacara itulah tempat mereka tampil. Tampil membaca janji siswa di upacara sudah membuat anak-anak merasa seperti berada di depan panggung, dan menciptakan pengalaman ‘berprestasi’ bagi mereka sendiri. Bukankah itu yang diperlukan anak-anak, pengalaman tampil, pengalaman merasa berada sebagai center of attraction?

Dampak kedua bagi anak-anak, tentunya membuat mereka lebih mengenal dan (semoga) mencintai Indonesia. Setiap minggu belajar menyanyikan sebuah lagu nasional baru (sejauh ini mereka Cuma tahu Satu Nusa Satu Bangsa, Satu Nusa Satu Bangsa dan Garuda Pancasila saja), mengibarkan sang merah putih, melantunkan Indonesia Raya, saya jadi semakin bersemangat untuk lebih mengenalkan Indonesia bagi mereka.

Bagi saya sendiri, melihat merah putih, walau compang camping, berkibar kembali setelah lama tertidur di sudut tenggara Indonesia ini, membuat hatiku penuh, darah merah putihku menggelegak. Semoga usaha super sederhana saya menghidupkan upacara bendera ini bisa menjadi satu hadiah kecil bagi bangsa tercintaku ini dalam memperingati hari jadi ke 83 Sumpah Pemuda.

Wadankou, 27 Oktober 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua