Tom Hagen dan Keluarga Raunsai

De Rizky Kurniawan 1 April 2017

Tidak setetes darah sisilia mengalir dalam tubuh Tom Hagen, meskipun Vito Corleone tidak pernah mengadopsi Hagen secara formal tetapi Hagen menggap Vito sebagai sosok seorang ayah yang sebenar – benarnya ayah. Begitu juga hubungan saya dengan keluarga Raunsai, apabila semua memang benar telah dijodohkan, mungkin saya telah berjodoh dengan keluarga Raunsai, darah sunda yang mengalir dalam diri saya melebur bersama keluarga suku Ambai yang berdiam di atas perairan Teluk Ampimoi, bagian timur Kabupaten Kepulauan Yapen. Ya di sini saya merasakan “family is not about blood” bukan hanya kalimat puitis yang indah untuk menjadi caption instgram.

Memori 10 bulan yang lalu masih terbayang jelas dalam ingatan saya, ketika saya masih kebingungan tentang papua, baik alam maupun karakter masyarakatnya. Bapak datang ke tempat biasa PM Yapen bernaung ketika berada di Serui, dalam pertemuan pertama kami, beliau berkata “Asal Pak guru bisa makan apa yang tong makan, dan mandi pakai air yang tong pakai, semua aman”, sejujurnya apa yang beliau ucapkan tidak membawa ketenangan yang signifikan pada hati ini, karena kebingungan itu bukan hanya tentang makanan dan air. Bersyukur sesampainya di kampung, semua kebingungan tersebut perlahan semakin tersaru. Sayur tumis mie dan kacang panjang adalah makanan pertama yang disajikan Mama dengan penuh kehangatan, merupakan kombinasi keramah - tamahan yang menghilangkan keresahan yang selama ini meradang di dalam hati maupun perut.

Bapak adalah sekretaris kampung yang banyak bekerja melibihi dari tupoksi yang seharusnya, beliau mendidikasikan hidupnya untuk keluarga dan kampung. Apabila Bapak pernah menonton The Godfather, muungkin beliau akan sepenuhnya meyakini apa yang diucapkan Vito Corleone “A man who doesn’t spend time with his family can never be a real mean”.  Kedatangan saya pun awalnya untuk semata – mata kemajuan kampung, ya karena memang Bapak sangat peduli dengan kemajuan Ampimoi, namun seiring berjalannya waktu rasa itu berkembang, saya tidak hanya dilihat sebagai sosok yang dapat membantu pembangunan kampung terutama di bidang pendidikan, tetapi dilihat juga sebagai bagian dari kampung itu sendiri. Bapak pasti ikut semua kegiatan yang berkaitan dengan kampung dengan ikhlas, dari mulai pembagian beras, pemilihan Bamuskam, masalah kesehatan, pendidikan dan masih banyak lagi. Bapak memang anak kampung yang dibesarkan untuk membesarkan kampungnya, beliau memberikan contoh yang baik mengenai dedikasi. Bapak sangat dipercaya oleh masyarakat desa, karena seluruh tindakannya sudah teruji untuk kepentingan desa, ia dia seperti Vito Corleone. Selain itu sempat beberapa kali saya mengajak Bapak untuk berfoto bersama seluruh anggota keluarga, tetapi Bapak bilang “tong tunggu Hendrik (tinggal di Serui untuk melanjutkan SMA), baru tong foto sama – sama”, ya hal tersebut mengingatkan saya pada salah satu scene di film The God Father, di mana Vito Corleone menolak foto bersama sebelum Michael Corleone datang dan ikut foto bersama.

Mama dan Bapak itu seperti Widyawati dan Sophan Sophian, hanya mereka tidak dipertemukan dalam film Pengantin Remaja. Mama dan Bapak dalah teman masa kecil yang kembali dipertemukan dalam pernikahan adat. Mama adalah salah satu ibu rumah tangga yang paling handal berwira usaha di kampung, setiap harinya beliau berjualan bensin dan kebutuhan rumah tangga seperti minyak dan gula, saat saya tanya Mama megenai hal tersebut, beliau menjawab “Kan untuk bantu – bantu Bapak toh, jadi tong sore – sore kalo ingin kue kah atau sayur, tara perlu tanya – tanya Bapak uang”. Setiap sore biasanya saya dan Mama rajin memotong – motong sayur petatas atau pepaya untuk disajikan di malam hari sambil membicarakan apa – apa yang ada di Ampimoi maupun di Jawa sana.

Banyak yang bilang Nenek sudah berusia 100 tahun, tetapi saya pun tidak tahu pasti karena tidak ada dokumen resmi yang menyebutkan berapa usia pasti Nenek. Memasuki bulan April, hampir setiap hari Nenek bertanya “Berapa lama lagi kah koi ada di sini? Nanti tara ada yang menyanyi – nyanyi lagi malam – malam di para – para, nanti koi main – main ke sini lagi toh?”  Setiap kali saya mengambil foto nenek dan memperlihatkannya, beliau selalu mencubit saya sambil tertawa berkata “Koi mau bawa foto – foto sa pada orang Jakarta kah?”

Henrik adalah anak pertama dalam keluarga ini, semua orang di Distrik Teluk Ampimoi tau siapa Henri, dia adalah anak yang sangat bergaul tanpa memandang usia atau jenis kelamin, oleh karena itu saya juga tidak sulit untuk dengan Henrik. Setiap kali ada di Kampung, Henrik selalu membawa pemuda satu kampung atau mungkin satu distrik untuk sekedar diam di para para sambilv menceritakan keseharian atau bergoyang mendengarkan lagu daerah. Selanjutnya atau trio Owen, Jeskel, dan Dion, tingga serangkai yang usianya tidak terlalu jauh satu sama lain Layaknya saudara yang umurnya tidak terlalu jauh, pertengkaran yang diakhiri tawa merupakan hal yang terjadi setiap hari, yang lucu adalah bagaimana mereka suka berebutan perhatian saya ketika saya ada di rumah, mereka juga sering disebut sebagai staff ahli Pak Guru, karena ke mana – mana mereka selalu ikut bersama saya.

Terakhir ada duo Pesi dan Yacko, dua balita lucu yang baru lancar berlari kesana – kemari, setiap hari mereka masuk ke kamar saya saat saya sedang shalat, dan salah satu dari mereka pasti berkata “itu guyu mbayang”, rasanya ingin membawa mereka berdua ikut bersama saya kembali ke tanah pasundan. Tidak terasa tinggal dua bulan lagi saya menjadi guru di Ampimoi, tapi menjadi bagian dari Raunsai dan Ampimoi tentu tidak ada atas waktunya, semuanya akan terus tumbuh berkembang walau hanya dalam pikiran saya. Berat rasanya ketika terbesit dalam pikiran “Oh tinggal dua bulan, nanti gimana ya ngga ada owen, pesi, dan lain – lain” sejatinya saya tidak akan pernah pergi dari mereka, karena mereka sudah terlanjur bernaung dalam pikiran saya, selamanya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua