info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Tersier

Danang Aditya Nizar 31 Januari 2015

Salah satu fitur dari Bawean yang paling terkenal mungkin adalah budaya rantaunya yang khusus tertuju ke Semenanjung Malaya (Malaysia dan Singapura). Bahkan kata ‘Bawean’ dan ‘buruh migran’ seperti sudah menjadi sebuah padanan kata, seperti ‘Batak’ dan ‘pengacara’. Walaupun mungkin terdengar kurang nyaman, namun jangan meremehkan pekerjaan mereka sebagai buruh migran. Di pulau yang aksesnya masih sangat tergantung kepada keadaan cuaca ini, jangan harap Anda dapat menemukan rumah gedhek yang jelek. Sejauh mata memandang akan terlihat rumah-rumah batu—bertingkat, bahkan sampai tiga—diselingi pemandangan motor-motor bagus. Apabila sedang beruntung, mungkin Anda juga akan kedapatan melihat Harrier bersliweran di satu-satunya jalan lingkar yang ada di pulau ini. Semuanya berawal dari Semenanjung Malaya.

Menurut catatan sejarah, masyarakat Bawean telah merantau ke Singapura sejak tahun 1800an. Hal ini menjadi menarik karena sebenarnya secara tradisi masyarakat Bawean bukanlah pelaut, berbeda dengan suku Bugis. Pada awalnya mereka yang bekerja di Singapura adalah untuk mencari biaya kepulangan selepas melaksanakan ibadah Haji. Maka pola merantaunya pun berbeda dari masyarakat Minang, yang memaknai tradisi merantau sebagai sarana untuk mencari pengalaman dan sebagai proses inisiasi kedewasaan bagi para bujang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vredenbregt (1962), mayoritas perantau di Singapura pada saat itu mengaku berada di sana untuk ‘tjari kelebihan’. Sementara hanya 4% responden yang mengaku merantau untuk ‘mentjari pengalaman’. Bahkan ada semacam pepatah Bawean yang mengatakan bahwa, ‘kalau mau makan enak2 pergi ke Djawa; kalau mau dikubur ke Malaya; kalau mau tjari uang dan pakaian ke Singapura’. Hal tersebut tercermin jelas dari jawaban salah satu responden pada penelitian tersebut,

“You may be sure we did not go to Singapore because we were hungry on Bawean; to the contrary … we could go fishing after the rice harvest and then make extra money. Still, this never gave us the same income as our village-mates, who returned from Singapore. They wear splendid clothes, and they also bring back presents for their relatives …”

Maka pantaslah apabila dikatakan bahwa Semenanjung Malaya adalah ibarat ‘tanah yang terjanjikan’ bagi masyarakat Bawean. Sampai saat ini—separuh abad setelah penelitian tersebut dipublikasikan—masyarakat Bawean masih merantau ke Malaysia dan Singapura; bukan untuk mencari makan, tapi untuk mendapatkan uang, pakaian, dll. (baca: tablet, smartphone, motor, parabola, pemutar mp3, mobil).

Dengan latar belakang motivasi tersebut, tak heran apabila mudah ditemukan keluarga yang memiliki tv, mesin cuci dan DVD player tapi setiap harinya cukup puas dengan menu jhuko kereng (ikan kering). Entah saking ‘maju’-nya atau apa, masyarakat Bawean senang untuk langsung memenuhi kebutuhan tersier, melompati pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Sehingga urutannya: tersier, sekunder, barulah primer. Mereka pun dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan urutan tersebut dengan menjadi buruh migran kerah biru di Semenanjung Malaya atau menjadi pekerja kapal—pekerjaan yang semakin naik daun dari tahun ke tahun. Lantas bagaimana dengan prioritas pendidikan? Variasi profesi? Silakan dikira-kira sendiri. Ingat, kata kuncinya: Harrier, eh salah, maksudnya Tersier.

Tanjung Slamet, 30 Januari 2015

 

Vredenbregt, J 1964, ‘Bawean migrations’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 120, no. 1, pp. 109-139


Cerita Lainnya

Lihat Semua