Si Kembar dan Amel

Aik Vela Pratisca 31 Januari 2015

Seperti biasa, Ita dan Iti berangkat bersama ibunya dengan tangannya yang tak pernah lepas dari gandengan, hingga mereka duduk di bangku mereka. Mereka kembar dan sangat pemalu. Rasanya sulit bagi gurunya untuk memandirikan mereka bergerak di dalam kelas sendiri.

 

Mereka punya keistimewaan masing-masing. Ita cukup bisa mengikuti pelajaran di kelas. Sebagai siswa kelas satu yang masih belajar membaca dan menulis, Ita lebih bersemangat untuk menyalin apa yang ditulis ibu gurunya di papan tulis dibanding Iti. Bahkan, Ita sering membantu Iti yang tidak mau menulis dengan menuliskan atau menggambarkan apa yang gurunya contohkan. Iti tidak selincah Ita saat menulis, membaca, atau menggambar.

 

Lalu, ada pemandangan menarik ketika Ibu gurunya ini mengajak siswa-siswa sekelasnya bernyanyi dan bergerak. Iti mengikuti gerakan Ibu gurunya ini dengan sangat bersemangat. Seluruh gerakan lagu “Bangun Tidur” yang gurunya peragakan, diikutinya tanpa jeda. Sangat bertentangan dengan Ita yang saat itu hanya sekedarnya saja mengikuti gerakan gurunya.

 

Tidak henti melihat keunikan mereka yang tersembunyi itu, gurunya ini dengan sengaja sering mengunjungi rumahnya. Dan benarlah. Lebih terkejut lagi, mereka sangat lincah bergerak dan berteriak ketika bermain di rumah.

 

“Bu, Aik! Bu Aik!”

 

Mereka begitu riang dan tidak ada rasa canggung, hingga malu seperti yang biasa tampak ketika di sekolah. Mereka berlarian dan tertawa tanpa kebingungan mencari tangan ibunya untuk berpegang. Ada dua teman serumahnya yang sering bermain ke rumahnya. Dua teman itulah yang dirasa oleh gurunya ini, sebagai teman pemasung malu.

 

Semakin nampak karakter Ita dan Iti yang akan riang jika ada teman pemasung malu, gurunya ini berusaha mengakrabkan seorang anak yang bernama Amel. Amel anak yang ceriwis. Ia selalu riang dan suka berkelakar ketika pelajaran gurunya ini. Bahkan, sering makan ketika jam pelajaran karena saking beraninya berekspresi.

 

Strategi dimulai dengan mengajak Amel untuk mengajak Ita dan Iti masuk ke kelas tanpa menunggu ibunya mengantarkannya hingga bangku mereka. Awalnya Ita dan Iti merasa aneh dengan ajakan Amel. Tapi ternyata Amel tidak putus usaha. Amel merangkul pundak Ita dan Iti untuk ikut bersamanya.

 

“Payo, Ita, Iti! Bu Aik nak masuk kelas kita” (ayo, Ita, Iti! Bu Aik akan masuk kelas kita)

 

Ita dan Iti ikut. Mereka benar-benar mau berjalan ke kelasnya tanpa menunggu ibunya mengantar. Mereka berjalan bertiga bersama menuju kelas seperti teman yang sudah akrab.

 

Sungguh, keberanian seorang anak usia awal sekolah dasar ternyata bisa ditularkan dengan cara yang sangat sederhana, ajakan.

 

Late post

Karang Agung, 10 Desember 2014

21.22 WIB


Cerita Lainnya

Lihat Semua