Cinderella

Danang Aditya Nizar 21 April 2015

Masih ingat Nanik? Perempuan Pulau Gili pertama yang berkuliah di Jakarta, yang memulai hijrahnya pada Agustus lalu. Satu semester sudah Nanik habiskan waktunya berjibaku dengan materi Sastra Arab di Univesitas Al-Azhar Indonesia (UAI). Banyak hal yang terjadi selama 6 bulan tersebut; mulai dari Nanik yang saat ini sudah semakin akrab dengan perangkat Ibu Kota—kopaja, Whatsapp sampai banjir—hingga keputusan Ibunda Nanik untuk kembali bekerja ke Malaysia demi mencukupi kebutuhan yang semakin bertambah. Ibu dan anak yang sama-sama hijrah demi tujuan yang sama, walaupun dengan cara yang berbeda. Sampai akhirnya keluarlah berita bahagia itu: Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Nanik 3,89!

Apabila perantau suka mengatakan bahwa terkadang ‘Ibu Kota lebih kejam daripada ibu tiri’, maka capaian IPK tersebut merupakan bukti nyata bahwa Nanik telah berhasil mengalahkan kekejaman 'yang-lebih-kejam-dari-ibu-tiri' tadi itu. Dalam waktu singkat, sang gadis pulau yang lugu dan pemalu telah menjelma menjadi seorang mahasiswa Jakarta yang berprestasi. Nanik yang pada awalnya hanya bertahan hidup dengan Beasiswa Korporat UAI akhirnya dialihkan menjadi penerima Beasiswa Bidik Misi karena capaian akademisnya. Antek-antek ‘si ibu tiri’ yang terkadang menjadi momok bagi mahasiswa perantau—gaya hidup di Jakarta yang jauh berbeda, banjir, kemacetan—dapat Nanik atasi dengan kemampuan adaptasi yang ia miliki. Nanik pun sekarang menjadi semacam kisah manis bagi adik-adik kelas di almamaternya; karena setiap mendengar namanya, mereka seperti tersihir untuk mengikut jejak hijrah Nanik. Walau entah siapa Ibu Peri dalam kisah ini, namun harus diakui kisah Nanik memang mirip Cinderella kan? Singkat dan manis, atau mungkin lebih tepatnya: manis dalam waktu singkat.

Sebetulnya tulisan ini dapat berhenti pada paragraf tadi dan menjadikan Nanik sebagai kisah neo-Cinderella. Bagusnya lagi, kisah ini seluruhnya dijamin nyata dan bukan sekedar dongeng belaka. Namun apabila kita mengijinkan diri untuk memberi jarak barang sedepa dengan euforia tadi, apa betul IPK 3,89 tadi didapat Nanik semudah Ibu Peri mengubah labu dan tikus menjadi kereta kencana beserta kudanya? Nampaknya tidak. Dari keputusan Ibunda Nanik untuk kembali merantau ke Malaysia meninggalkan anak bungsunya—yang bahkan masih belum bersekolah—menunjukkan bahwa ini bukanlah kisah Cinderella. Pasti banyak juga perjuangan Nanik dalam menghadapi ‘ibu tiri’ yang belum ia bagikan. Dunia perkuliahan bagi siapa pun adalah dunia yang menantang, apalagi bagi seorang anak rantau yang sebelumnya hanya mengenal Malaysia dan pelaminan sebagai pilihan masa depannya. Betul memang, bahwa kisah Cinderella membawa pesan mengenai pengharapan. Namun sepertinya pendidikan (dan dunia nyata pada umumnya) butuh lebih dari sekedar pengharapan; pendidikan butuh diperjuangkan—dan itulah persis yang sedang Nanik lakukan. Ia memberanikan diri untuk menjemput dan memperjuangkan asanya agar dapat lepas dari jeratan Malaysia dan pelaminan sebagai pilihan masa depan. Maka kisah Nanik sepertinya bukanlah kisah neo-Cinderella, namun lebih pantas disebut sebagai kisah Kartini masa kini; karena ia berjuang—melebihi generasinya—untuk memenuhi haknya, dan juga hak generasinya.

Selamat Menghayati Kartini

Tanjung Slamet, 21 April 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua