Selamat Datang di Desa Solan

StevaniaRandalia 21 April 2015

Apa yang ada di benakmu saat mendengar kata “desa”?

Kemungkinan besar begini:

  • Jauh dari pusat kota
  • Jalannya rusak, berbatu, berlumpur, sulit diakses kendaraan
  • Tempat tinggal sederhana, bangunan seadanya
  • Kehidupan masyarakat yang juga sederhana dan seadanya
  • Tidak ada listrik
  • Tidak ada sinyal
  • Sepi
  • Menyatu dengan alam

 

Bagaimana kalau saya ceritakan, desa tempat saya mengabdi sebagai Pengajar Muda saat ini kebalikan dari semua yang kamu kira tentang desa?

Ya.

Desa Solan yang berada di Kecamatan Kintom Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah itu:

  • Hanya 45 menit dari Luwuk – ibukota Kabupaten Banggai
  • Jalan di depan DAN di dalam desa sudah aspal. Perjalanan dijamin lancar, halus, mulus.
  • Rumah keluarga-keluarga Solan kebanyakan sudah dilengkapi dengan: mesin cuci, perangkat Play Station 2, sound system besar (di sini disebut “salon”) lengkap dengan CD player.
  • Hampir setiap keluarga memiliki motor, beberapa memiliki mobil. Orangtua dan pemuda beraktivitas di sekitar desa menggunakan motornya. Anak-anak mendapat cukup hiburan. Di rumah induk semang saya, hadiah perayaan Paskah orangtua untuk anak laki-lakinya adalah reparasi perangkat Play Station
  • Listrik dari PLN eksis 24 jam di sini. Tidak ada jadwal pemadaman. Memang kerap kali padam akibat gangguan teknis, tapi frekuensinya tidak sampai mengganggu aktivitas secara signifikan.
  • Sinyal? Perlu cek & kirim e-mail? Update berita di detik.com? Buka & update status di Facebook, Twitter, Path, Instagram? Atau cari & putar media di situs berdata berat seperti Soundcloud & YouTube? Semuanya bisa, dengan kecepatan koneksi yang dijamin memuaskan. Bahkan sinyal di sini lebih kencang daripada di Kecamatan Nambo yang berjarak lebih dekat dari Luwuk (hanya 20 menit), atau bahkan dari Luwuk sendiri (di beberapa titik).
  • Sepi hanya terjadi di Solan jam 12.00 – 15.00 WITA: Waktu Indonesia bagian Tidur siAng. Di jam-jam selebihnya? Sound system besar di rumah tiap dusun mengumandangkan lagu dengan volume kencang hingga radius 2 meter pun masih terdengar. Lagu-lagunya bervariasi dari tembang Cita Citata hingga Bruno Mars!

 

Singkatnya, saat saya menceritakan kedaan-keadaan ini, celetukan yang keluar dari yang mendengar umumnya:

       "Wah beruntung sekali ya!" atau

       "Wah.. PM paling enak nih!"

Jadi apa masih bisa tempat saya mengabdi ini disebut Desa?

Ya.

Saya pun baru paham, ada 2 jenis desa: desa murni & desa transisi. Desa murni adalah desa dengan ciri-ciri seperti yang ada di awal tulisan ini. Solan termasuk golongan kedua: Desa Transisi. Dengan jarak yang dekat dari ibukota kabupaten, akses transportasi dan pemenuhan kebutuhan hidup yang mudah, lengkap dengan akses media yang mumpuni, Desa Solan didiami masyarakat yang “gak lagi ndeso”, tapi belum bisa juga dikatakan maju (menyerupai kota).

Lantas, kenapa belum juga maju?

=============

 

Dua minggu pertama menginjakkan kaki di Desa Solan dan menjalani masa transisi bersama Pengajar Muda sebelumnya, saya menyaksikan sendiri betapa bukan desanya Solan ini secara fisik. Pertanyaan “Kenapa harus ada Indonesia Mengajar di sini?” menggema terus di benak saya. Namun, lambat laun saya menemukan sendiri jawabannya, keping demi keping hingga jadi gambar yang utuh.

Hanya berselang dua minggu setelah masa transisi, Desa Solan diberitakan secara nasional di Metro TV dan TV One. Malam itu sekitar pukul 11, orang ramai berkumpul di depan rumah saya yang berada di blok luar Desa Solan. Penasaran, saya mengintip dari balik tirai jendela. Tidak lama, kakak asuh saya menggedor pintu kamar sambil berteriak,

“Step jangan tidur! So mau perang e’ Solan! Nanti kalo Kakak pangge’ bangun ‘dio!”

(dalam bahasa Indonesia: “Step jangan tidur ya! Solan sudah mau perang! Nanti kalau Kakak panggil bangun ya!”)

Saya membuka pintu dan sudah ada pedang panjang masih bersarung tergeletak di meja depan. Kembali ke kamar, saya mengintip pemandangan di luar rumah dan tampak pria muda naik ke motor sambil membawa parang. Di sekitar, kerumunan orang semakin riuh.

Malam itu adalah puncak kericuhan antara warga Desa Solan dengan desa tetangga bernama Kintom akibat ketidaksenangan warga Kintom atas perlakuan polisi Solan pada salah satu anak mudanya saat tahun baru 2015 lalu. Warga Solan tidak senang dengan reaksi warga Kintom, maka terjadilah kericuhan.

Syukurlah malam itu tidak terjadi perang sungguhan, hanya berujung pada aksi tutup jalan selama beberapa hari sesudahnya. Aksi yang cukup merepotkan bagi pebisnis dan pekerja Donggi Senoro LNG karena setiap harinya mereka harus melewati jalan poros di depan Desa Solan untuk menuju site-nya di Desa Uso, Kecamatan Batui.

 

Kemudian saya ketahui, cepat tersinggung, mudah dikompori, berkata-kata kasar terhadap satu sama lain, menggunakan kekerasan dalam rumah tangga dan institusi pendidikan adalah sedikit dari sekian karakteristik masyarakat suku Saluan yang mendiami Desa Solan ini.

(Menulis dan mempublikasikan ini saja mungkin mempertaruhkan keselamatan saya)

Kemudian saya ketahui, karakter-karakter mendasar tadi memicu banyak gesekan sosial antar warganya, baik sesama warga desa Solan maupun desa lain. Kerusuhan dengan warga Kintom adalah salah satu kejadiannya. Cekcok, ribut, perkelahian sudah tidak asing lagi di mata dan telinga saya selama 4 bulan tinggal di sini.  

Kemudian saya ketahui dengan jelas, perilaku anak-anak adalah cerminan perilaku orangtua. Anak-anak Solan tumbuh menjadi anak-anak yang agresif, ringan tangan, kasar, dan penyimpan amarah yang bila sedikit saja disulut akan meledak. Teriakan, tangisan, umpatan, pukulan yang melibatkan batu dan benda tajam hingga berujung pada pertumpahan darah adalah aksi anak-anak yang menjadi makanan rutin saya sehari-hari di SDN Inpres Solan.

Kemudian saya juga ketahui, kemarahan warganya tidak pandang bulu karena sekolah pun pernah dilempari batu. Hingga pendidikan di sini pun terseok-seok untuk maju.

Lantas saya pun tahu,

Tantangan sosial nyata-nyata menghambat kemajuan pendidikan, hingga menghambat kemajuan desa. Maju di sini secara mental, secara sosial, secara peradaban manusianya.

“Desa” tidak hanya untuk yang berada di sudut terjauh Nusantara dan terbelakang secara geografis, akses, dan fisik. “Desa” juga untuk mereka yang terhambat secara sosial walau berada dekat dengan pusat peradaban.

Maka jawaban dari pertanyaan “Kenapa harus ada Indonesia Mengajar di sini?”  sesungguhnya sudah terjawab di dalam benak dan hati saya. Pertanyaan berikutnya, cukup tangguhkah saya untuk menjalaninya?

 

Selamat datang di Desa Solan.

 

Solan, 21 April 2015

 

*****

Catatan Pelengkap:

Satu hari saja berselang setelah diunggah, tulisan ini menuai berbagai respon dari banyak kalangan. Terima kasih untuk tanggapannya :) Paling tidak berarti tulisan ini dibaca.

Dengan dibaca, semakin banyak orang yang terbuka wawasannya terhadap fakta keragaman tantangan pendidikan yang ada di negeri ini, khususnya di desa penempatan saya. Dengan mempublikasikannya, terlebih di situs Indonesia Mengajar, semoga bisa jadi PANGGILAN keras yang sampai ke mata, raga, dan jiwa orang-orang yang terpanggil dan bisa ikut bergerak untuk Desa Solan.

Sungguh apa yang saya tuliskan bukan rahasia lagi. Semua orang tahu, semua orang membicarakannya di Kabupaten Banggai ini. Bahkan saat saya berbincang dengan para petinggi pendidikan dan petinggi daerah di sini, yang menjadi kegundahan mereka adalah hal-hal yang saya tuliskan. Dengan leluasa di hadapan publik, mereka mengutarakannya.

Lalu kenapa tidak membicarakannya ke ruang diskusi yang lebih luas? Yang bisa saja mengundang solusi.

Karena dari lubuk hati, saya tidak membenci desa ini, tapi justru sudah terlanjur peduli.

Terlalu peduli untuk tidak melakukan sesuatu seperti membagikan kondisi lapangannya ke ranah publik agar bisa mengundang lebih banyak intervensi tambahan selain pengiriman Pengajar Muda.

Tidak ada tendensi untuk mendiskreditkan siapapun, terlebih desa penempatan saya. Semuanya semata rekam jejak hasil observasi partisipatoris saya selama menjadi Pengajar Muda 4 bulan ke belakang. Lagipula menuliskan adalah salah satu langkah yang bisa saya lakukan.

Walau saya tahu, menanamkan pemahaman yang sama dalam pikiran semua orang itu bagai menegakkan benang basah. Saya juga hanya manusia biasa yang tak luput dari salah.

Maka untuk segala yang kurang berkenan, saya mohon maaf.

Hidup adalah proses. Saya diberi kehormatan untuk berproses selama 1 tahun bersama masyarakat Solan. Alangkah indahnya kalau masyarakat Solan juga bisa berproses dengan membuka cakrawala kehidupan yang lebih baik bersama lebih banyak intervensi publik.


Cerita Lainnya

Lihat Semua