Bunga Empat Kelopak

Citra Dita Maharsi Suaidy 29 Februari 2012

Dia selalu menggambar bunga dengan potnya. Dia menggambar bunga dengan pot pada pelajaran sistem pencernaan manusia. Dia menggambar bunga dengan pot pada pelajaran cinta tanah air. Dia menggambar bunga beserta pot pada saat pelajaran merangkum cerita. Dia menggambar bunga dengan pot pada saat pelajaran sifat-sifat bulangan bulat. Dia selalu menggambar bunga dengan potnya pada saat pelajaran Matematika, IPA, IPS, PKN, SBK, Bahasa Indonesia. Dia menggambar bunga dengan potnya pada pagi hari, siang hari, sore hari, selama dia berada di kelas.

Bunga dengan pot berbentuk trapesium mengecil dibagian bawah. Gambar bunga beserta pot yang mengingatkanku pada belasan tahun yang lalu ketika aku seumurannya. Dulu aku juga menggambar bunga serupa, sama persis. Bunga yang entah apa namanya. Seuntai bunga berdiri tegak lurus di atas pot. Bunga besar berkelopak empat. Daun menjalar di kanan kiri batangnya.

Dia adalah salah satu bintangku. Di karton besar “My stars” dia adalah salah satu pengumpul bintang yang produktif. Dia tidak pernah alpha. Selalu datang tepat waktu. Tidak pernah memukul teman. Tidak pernah lupa membawa air. Di tempatku, murid-murid diwajibkan membawa air dari rumah ke sekolah setiap hari. Satu dirigen kecil, bervolume kisaran 3 liter. Tidak ada air bersih memenuhi kuantitas, kualitas dan kontinuitas di sekolahku. Sumur-sumur seringkali kering. Perpipaan PDAM adalah mimpi muluk. Sehingga air kamar mandi dan air untuk menyiram tanaman, bersumber dari air yang dibawa anak-anak.

Bintangku, dia juga selalu sabar duduk anteng pada saat aku mengajar. Awal-awal mengajar tangannya diacungkan untuk menjawab pertanyaanku siapa yang tidak mengerti bahasaku. Saat itu tiga tangan teracung.

Dia selalu sabar.

Bunga empat kelopak itulah satu-satunya penghilang kebosanannya. Di tengah-tengah pelajaran menulis percakapan, membaca cerita, membuat pohon faktor, greeting, yang terlihat sama sekali tidak dia mengerti.

Menggambar bunga seolah-olah adalah satu-satunya pekerjaan yang dia bisa dan sukai. Bunga itulah yang terus dia gambar selama 3 bulan aku mengajar. Ntah sudah berapa ratus bunga yang dia hasilkan di kelas-kelas yang ia ikuti.

Mereka menjawab dengan gelengan kepala ketika aku tanyai mengenai anak ini. Wajah menyerah, senyum sinis, tatapan “kalau yang satu itu relakan ”, adalah tanggapan seragam yang mereka berikan.

Mayang Tuak. Teman guru pernah bercerita, ada kepercayaan mayang tuak. Sari Nira dihasilkan dari bagian pohon lontar bernama mayang. Dalam satu pohon tuak (pohon lontar), ada beberapa mayang tidak menghasilkan nira.

Dalam satu kelompok, selalu ada yang tidak pintar. Selalu akan ada anak bodoh dalam satu kelas. Selalu. Bukan anak dengan variasi daya tangkap, bukan anak-anak dengan variasi kecerdasan. Delapan jenis kecerdasan, logis matematis, verbal, kinestetik, alam, interpersonal, dsb adalah informasi asing, tidak logis, mustahil. Seakan mereka mempercayai hanya ada dua jenis anak, bodoh dan pintar. Judul terbelakang pun pernah mereka berikan kepadanya.

Dia sekali lagi mengacungkan tangannya menjawab pertanyaanku siapa yang pernah dijuluki bodoh.

Sulung 5 bersaudara ini tinggal di depan rumahku. Rumahnya beratap anyaman daun lontar, berdinding susunan kayu pohon goewang, berlantai tanah. Orang Rote menamai tempat tinggal (rumah) seperti ini umanitu. Umanitu ini gelap. Tak ada generator set sumber energi listrik sebagai penghidup pelita, sebagai penghangat malam. Gelap.

Ayahnya seorang petani lontar. Kakinya pincang. Pincang karena pernah jatuh saat mengiris Nira di pohon lontar. Pohon lontar yang siap menghasilkan sari Nira mempunyai ketinggian 7 meter hingga belasan meter. Petani lontar memanjat pohon berketinggian puluhan meter itu tanpa menggunakan alat safety apapun. Mereka tidak mengenal APD (Alat Pelindung Diri) dan sejenisnya. Dengan kaki pincangnya, dia terus memanjat pohon lontar, mengiris niranya. Kemudian bersama istri merubahnya menjadi gula air siap jual. Sebisa mungkin memastikan anak-anaknya tidak kelaparan.

Bintangku, aku tidak menghitung berapa kali dia tinggal kelas. Informasi tentang kegagalannya terlalu banyak. Otakku ntah sejak kapan tidak lagi dapat menerima dengan baik data-data tentang kegagalan. Kaki ini hanya akan kencang berlari kalau dipompa dengan optimisme.

Hari ini dia belajar a-i-u-e-o dengan baik. Ba-bi-bu-be-bo. Ca-ci-cu-ce-co. Dia menulis huruf vokal dan suku kata awal itu dengan baik. Ejaan ca-pum untuk membaca capung menjadi hiburanku di tengah keletihan mengajar. Nona satu ini masih saja membaca caben untuk cabe.

"C-a, ca. B-e, be. Caaaaa-ben." 

Akupun menerawang. Tuhan, darimanakah datangnya n ? :)

***

Semasa SD aku pernah tergabung dalam gank Sailormoon. Gank saingan gank motor dan gank si berat. Gank terkenal dan paling ditakuti anak-anak SD. Gank Sailormoon. Meski anggota sailormoon, sayangnya aku belum pernah punya kekuatan magic apapun. Menjadi anggota sailormoon tidak lantas membuatku bisa berganti rupa mengenakan baju pelaut centil dan tongkat berkilau ajaib. Aku tetap manusia biasa. Tanganku masih saja tidak mampu mengeluarkan sinar untuk menembak para monster jahat pengacau bumi. Hingga saat ini, aku masih saja tidak bisa membelah lautan dan menghidupkan orang mati. Meskipun banyak lelaki mencari sayapku karena berfikir aku cantik bagaikan malaikat. Aku tetap saja manusia biasa. Manusia biasa penyuka tidur siang dan leyeh-leyeh cangkrukan. 

Disiplin ilmu terakhir yang memberiku sarjana adalah engineering, aku tidak punya background keguruan. Aku belum selesai mendalami psikologi anak. Rambutku kadang kriwul tidak tertata. Dan aku baru 3 bulan berpengalaman menjadi guru SD.

Tapi nak, engkau boleh mempercayakan tanganmu untuk ku genggam. Ku tuntun. Aku tidak menjanjikan kesempurnaan. Tapi aku menjanjikan kerja keras dan doa. Aku memang hanya punya kepedulian, semangat, dan mimpi-mimpi. Nak, tapi yakinlah, itulah yang selama ini menjaga ibumu ini tetap tegak di tengah badai. Itu adalah bahan bakar yang cukup untuk membuat kita kencang berlari mengejar ketertinggalan. Sabar, kuatkan hatimu.

In this Nation No child will left behind.

Retorika Presiden Amerika sebelum Obama, George W.Bush, di salah satu kampanyenya. Janji Presiden dari negara yang tercatat sebagai negara adidaya terkuat di bumi itu, tak akan ada satupun anak Amerika akan ditinggalkan bodoh, terbelakang, buta huruf. Negara terkuat pun masih merasa harus tetap menjamin kualitas pendidikan rakyatnya. Pendidikan masih terus menjadi komoditi politik karena urgensinya, karena pendidikanlah yang membangun peradaban suatu bangsa. Di negaraku, Indonesia, ada juga janji mencerdaskan segenap kehidupan bangsa. Janji. Kalau dia, mereka, tak punya cukup kemauan dan kemampuan melunasi hutang-hutang ini, sudahlah.. kamu saja. Bangun dan segera ambil bagian. Siapkan perbekalan, cari jalan keluar.

Ntahlah.. saat ini aku hanya menginginkan dia bisa membaca..

***

Hari ini, di pelajaran membuat puzzle peta Indonesia,dia menggambar rumah, lengkap dengan pekarangannya. Gambar berbeda pertama setelah 3 bulan ini.....


Cerita Lainnya

Lihat Semua