Benih-Benih Matahari

Citra Dita Maharsi Suaidy 27 Februari 2012

Beberapa nama tersirat untuk menamai anak-anak ajaib ini. Laskar, hmm.. selain harus ijin paten, udah sering, juga mirip dengan agama tertentu. Prajurit, emm.. No! Aku harus memulai dengan anti kekerasan. Ikhwanul, auwi! Saya tidak berafilisasi dengan partai tertentu. Jamaat? Apa bedanya Jamaat dan Jamaah btw? Iono. Gerombolan, yaelah, emangnya gerombolan si berat?

Aku namai mereka dengan benih matahari. Adakah alasan filosofisnya? Sudahlah.. jangan terlalu banyak berharap denganku. Aku namai seperti itu karena emang mereka hebat dan supaya aku terlihat pintar memberi nama. Hahahahaha.

Pekerjaan menghadapi manusia untuk banyak orang lebih mengasikkan daripada menghadapi mesin, daripada menghadapi komputer dan benda-benda mati lainnya. Nah.. Guru SD adalah pekerjaan menghadapi manusia yang lebih menyenangkan lagi. Yang dihadapi setiap hari adalah wajah dan tatapan mata polos tanpa prasangka. Kehausan mereka akan ilmu benar-benar dapat membuatmu bertahan sedikit lebih lama berada di sekolah.

Anak-anak. Apa yang engkau harapkan dari anak-anak berusia 10-11 tahun? Aku punya cerita tentang anak-anak SD berumur 10-11 tahun yang luar biasa.

Yang pertama, aku rasakan anak ini bakal menjadi PRku selama mengajar. Dia murid baru di SD ini. Raut mukanya tegas, matanya menyorotkan keberanian, postur tubuhnya mengingatkanku akan masa kecilku. Nona tomboy ini merupakan murid perempuan tertinggi di kelas V. Awal mula kami belajar dia adalah seorang anak perempuan yang kesulitan mengendalikan emosi dan egonya. Egonya sebagai jagoan kecil membuatnya tidak kesulitan melayangkan pukulan kepada setiap teman yang menggodanya. Konon, dia pernah menjadi preman kecil di kota besar tempat dia bersekolah sebelumnya. Cerita dari ruang guru, dia pernah memalak oto penuh penumpang di tengah jalan. Dia memaksa berhenti supir oto dengan cara berdiri di tengah jalan, untuk kemudian memaksa supir membayar upeti. Info-info negatif tentangnya kemudian menyusul. Anak gila, linglung, suka jalan-jalan tanpa arah.

Awal-awal semester aku cita-citakan untuk membiasakan anak-anakku dengan pengelolaan kelasku. Keterlambatan, pengumpulan tugas, pentingya kegigihan dan usaha, sayang teman dan yang lain. Nona manis jagoan dari kota besar ini termasuk yang beradaptasi dengan pengelolaan kelasku. Karena terlambat, di awal-awal minggu dia adalah pelanggan setia kursi berfikir. Kursi ini diletakkan di depan kelas di dekat papan tulis tempatku menulis menerangkan pelajaran. Di kursi ini anak-anak diperbolehkan tidak terlibat dalam pelajaran tapi tetap berada di dalam kelas. Keterlambatannya yang kesekian kali membuatku memberinya soal untuk dijawab. Kenapa terlambat, untuk apa datang sekolah tepat waktu, dan lain-lain. Memikul air, merapikan tempat tidur, membantu mama adalah deretan alasan yang dia tuliskan. Perjalanan pulang berikutnya aku sempatkan untuk melihat sekilas kesehariannya. Dia tidak berbohong. Adakah preman sebenarnya membantu ibunya sebanyak itu?

Pernah, dalam suatu kesempatan, aku berjalan bersisian dengannya. Bernyanyi dan bercerita dengannya. Melihatku kesulitan membawa dua tas penuh. Dia memegang salah satunya.

“Sudah ibu, biar be sa yang bawa.”

Adakah anak nakal mempunyai empati spontan seperti itu?

Dan apakah anak nakal itu?

:)

Nona manis ini kemudian aku ketahui sebagai seorang yatim piatu korban kerusuhan Timor-Timor. Dia kehilangan kedua orang tuanya sejak umur 2 tahun. Dia diangkat anak oleh tetanggaku sejak itu.

Aku ceritakan keunikan lain teman-teman nona manis ini.

Orang-orang Rote adalah orang-orang yang tahu cara membuat anak-anaknya bekerja dengan rajin dan tekun. Anak-anak di sini bangun jam 5 bahkan jam 4 pagi. Cuci piring, pikul air, buat kue adalah jenis rutinitas pagi mereka sebelum berangkat sekolah. Di salah satu jurnal anakku, cerita setiap paginya, dia selalu senang karena dapat membantu mamanya membuat bubur untuk adik. Kelangkaan air membuat anak-anak ini pagi-pagi harus memikul air dari sumur ke bak mandi, ke bak air minum, ke bak pendingin genset. Jarak dari sumur ke bak-bak tersebut bervariasi. 10 meter adalah jarak minimum kira-kira. Yang dipikul adalah 2 ember air ukuran sedang.

Berikutnya, jarak rumah mereka ke sekolah.

Kematian salah satu adik anakku membuatku mengajak anak-anakku belajar mengenai kepedulian dan simpati. Kamipun bersama-sama bertakziyah ke rumah duka.

“Jauh ko rumah Yakob?”

“Sonde ibu.. dekat sa. Di balik gunung sa. Son jauh bu.”

Kami ber 33 berjalan bersama-sama melewati luasnya padang rumput, rimbun hutan, permukiman umanitu, dan pohon-pohon lontar yang menjulang.

“Ayo ibu! Mai kotong bernyanyi bersama-sama. Potong bebek angsa! Nyanyi i love you jesus!”

Perjalanan duka itu menjelma jalan-jalan piknik. Yah.. Apa yang engkau harapkan dari anak umur 11 tahun? Keriangan yang muncul dari anak-anakku membuatku bertanya. Apakah baru pertama kali ini mereka berjalan bersama-sama satu kelas?

Di tengah perjalanan, nafasku berubah satu-satu. Jarak yang telah kami tempuh membuat kakiku meminta diistirahatkan. Tas berisi Laptop dan buku anak-anak sekelas yang harus aku priksa mulai terasa berat. Puasa pertamaku mengingatkan bahwa ada alasan staminaku tidak sekuat biasanya.

“Su dekat ko?”

“Sudah ibu.”

“Son ada yang capai ko?”

“Perlu sonde kotong duduk beristirahat?”

“Son usa ibu. Lanjut!!”

Baiklah..

Satu padang rumput dan satu tanjakan gunung kecil kami lewati untuk akhirnya sampai ke rumah duka. Aku duduk bersimpuh dan mengangkat kedua tangan mengucap syukur. Tuhan.. terima kasih, akhirnya sampai juga. :)

Jadi kawan-kawanku, para handai taulan, mamah bapak yang terhormat, betul, benar-benar, sungguh, aku bersaksi demi surga dan neraka, jangan pernah sembrono membawa berbagai definisimu kemanapun kau pergi. Setiap tempat mempunyai arti masing-masing. Atau engkau akan celaka. Jelas, aku dan anak-anakku punya definisi yang sangat berbeda mengenai “jauh” dan “dekat”.

Anak-anakku terbiasa menempuh jarak satu kilometer, dua kilometer, bahkan tiga kilometer untuk sampai ke sekolah. Berkilometer jalan yang mereka lalui adalah jalanan berbatu naik turun, bukan aspal mulus yang datar. Ya, setelah mereka memikul air, memasak bubur, mencuci piring, mereka harus berjalan jauh ke sekolah. Kali ini jauh versiku.

Ingatanku kemudian menerawang ke masa muda ketika hidup single di kos-kosan. Kegiatan mencuci piring, memasak, mencuci pakaian seminggu, biasanya dapat membuatku tidur beristirahat seharian penuh. Jadi, anak-anak ini punya modal lebih menjadi manusia yang lebih kuat dari gurunya ini.

Keajaiban lain dari anak Rote adalah sarapan mereka. Gula air dan kadang nasi kosong.

Gula air adalah air nira dimasak menjadi gula dan diencerkan dengan air. Ini merupakan sarapan populer di Rote. Sari Nira disadap petani lontar di puncak pohon lontar yang mempunyai ketinggian puluhan meter. Nira yang dimasak menjadi gula berubah bentuk menjadi cair kental berwarna kuning berwujud dan berasa sangat mirip dengan madu. Bisa jadi khasiatnya sama dengan madu. Menurut penduduk Rote, seteguk gula air dapat menahan lapar  hingga siang.

Nasi kosong. Nasi kosong artinya adalah nasi putih masak yang disantap tanpa lauk, tanpa sayur. Nasi kosong kadang termasuk sarapan mewah untuk anak-anakku. Pikul air dan sebagainya membuat mereka hanya sempat meminum seteguk gula air sambil berlari mengejar ketepatan waktu sampai di sekolah. Tentunya, ketiadaan beras menjadi hal klasik yang membuat mereka tidak sarapan.

Selanjutnya, mengenai prestasi mereka di sekolah. Akh.. apa makna prestasi? Jejeran piala? Tumpukan piagam?

Anak-anakku adalah anak-anak berprestasi versiku. Di kelas Bahasa Inggris kelas VI, angkat tangan menjawab berbagai pertanyaanku diacungkan oleh anak-anak dari deretan bangku depan hingga ke belakang. Mereka acungkan tangan hingga berdiri. Di kelas PPKN kelas V, ketika aku meminta mereka menyebutkan pulau-pulau besar di Indonesia, tanpa kuminta mereka semua maju melihat peta Indonesia yang aku bawa. Mereka berdesakan mencari jawaban. Mereka antusias belajar. Jurnal-jurnal yang mereka tulis setiap hari menghasilkan tulisan-tulisan satu halaman penuh, bahkan lebih. Mereka selalu punya cerita.

Anak-anak ini harus membantu orang tua sebelum berangkat ke sekolah, jarak berkilometer harus mereka tempuh untuk sampai ke sekolah, bahan bakar mereka adalah semangat membara dan gula air, terakhir, mereka antusias belajar. Tuhan, anak-anak ini luar biasa.

Pendidikan. Jika diijinkan memadankan dengan Education, Education berasal dari bahasa latin educare. Educare artinya “menarik ke luar”. Yang ditarik keluar adalah potensi-potensi unik setiap peserta didik. Pendidikan bertugas menemukan tipe kecerdasan masing-masing siswanya. Pendidikan memfasilitasinya, membantunya berkembang. Sehingga, seperti yang sering dikutip, setiap anak menemui juaranya masing-masing.

Jadi, apa yang bisa kau harapkan dari anak SD berumur 10-11 tahun? Kalau kau tanyakan apa yang bisa kau harapkan dari anak SD berumur 10-11 tahun di SD Inpres Oenitas Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao. Jawabannya adalah, silahkan berharap apa saja. Asal engkau bisa menarik keluar setiap potensinya, mereka adalah calon anak-anak terbaik. :)

So, Allah.. Bismillah.. dengan bantuanMU..

Malam ini malam ramadhan ke 16. Mumpung bulan ramadhan, aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengambil dan mengeksploitasi berkahNYA. Segala doa dan bujuk aku panjatkan kepadaNYA. Untuk menguatkan setiap hati yang sedang berjuang melakukan perubahan dan perbaikan. Aku benar-benar merayuNYA. Sebelumnya aku adalah cwe gaul* kebanyakan yang buta huruf arab. Tapi malam-malam ramadhan di kampung orang ini membuatku mencoba semua jurus sakti. Aku membaca Al Quran. Selain supaya kecantikanku tidak luntur karena aku harus mengayuh sepeda siang bolong berkilometer, juga supaya aku dapat membantu anak-anak ini mendapatkan haknya. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan memanusiakan.

 

*Ape loe?


Cerita Lainnya

Lihat Semua