Tentang 2 Murid dan Keluarga (#RefleksiBodohPengajarMuda8 edisi2)

Muhammad Catur Saifudin 21 September 2014

Kali ini saya ingin menceritakan tentang 2 murid yang menurut saya memiliki benang merah hidup yang cukup sama, markitsim (mari kita simak);

Yang pertama bernama Erlan atau beken dengan nama Tora, saat hari pertama mengajar di kelas 6 saya sempat kaget ada murid yang bernama Erlan, karena dalam catatan yang saya sempat tanyakan kepada guru kelas 5 tidak ada nama itu muncul. Saya semakin kaget ketika melihat perilakunya yang sering keluar masuk kelas, susah duduk di kursi, tidak pernah mau mendengarkan penjelasan guru, dan berbagai hal lainnya, perilakunya sangat menonjol dan mengganggu proses belajar mengajar. Di awal-awal saya bersikap tegas kepadanya, memintanya berprilaku sama dengan teman lainnya, tetapi alhasil dia tidak pernah mengindahkan semuanya dan bahkan nyaris tidak ada perubahan. Lalu saya mencoba bertanya kepada guru kelas 5 tentang track record anak tersebut, dan hal yang sangat mengagetkan adalah kenyataan bahwa ternyata Erlan memiliki masalah terkait keluarganya.

Ketika kelas 4 SD, ibunya pergi ke Malaysia dan akhirnya meninggal, tak lama kemudian ayahnya menikah lagi dan “menitipkan” Erlan kepada saudaranyya di desa sebelah, sedangkan ayahnya pergi merantau ke desa lain dengan ibu tirinya. Saat pindah ke desa sebelah, Erlan juga pindah ke sekolah terdekat dengan tempat tinggal barunya. Ketika berada di tempat barunya, Erlan tidak mau sekolah, bahkan kabarnya dia tidak seceria saat berada di kampungnya sendiri, Baku.

Pasca 1,5 tahun kepergiannya, 2 minggu menjelang Ujian Akhir Semester (UAS) Erlan kembali lagi ke Baku tinggal dengan kakeknya (Erlan lebih suka memanggilnya bapak) dan mengatakan ingin sekolah lagi di SDN Inpres Baku. Walaupun datang tanpa rapor, pihak sekolah mengizinkannya. 1,5 tahun tidak sekolah, tak adanya figur di rumah, kesendirian selama 1,5tahun itu, kondisi keluarga yang bermasalah menjadi pukulan tersendiri bagi Erlan.

Sejak mendengar hal itu, saya mencoba mengerti kondisinya dan akhirnya saya memutuskan untuk berubah menjadi lembut kepadanya, apabila dia berkeliaran kesana-kemari di kelas asalkan tidak mengganggu temannya, maka saya tidak pernah menegurnya, selain itu saya juga sering memberikan pujian kepadanya baik secara lisan maupun tulisan (menuliskan pesan cinta / pesan semangat di buku tugasnya) pada setiap gerak-gerik nya yang menurut saya baik seperti menjawab pertanyaan saya, berperilaku lebih baik, dan ternyata hasilnya cukup ajaib, hatinya menjadi lebih lembut itu tercermin dari perilakunya yang lebih bisa diatur, lebih menghargai guru, mau berpartisipasi aktif dalam proses belajar, dan beberapa hal lain.

Kembali saya teringat sebuah kata bijak, “mungkin murid-murid kita akan lupa mata pelajaran yang telah kita ajarkan, tetapi mereka tidak akan pernah lupa pada emosi yang kita bawa saat mengajar.

 

Anak kedua bernama Marati, dia sekarang duduk di kelas 2, setahun lalu dia adalah anak yang sangat periang, ketika udara dingin masih menusuk kulit, jalan-jalan masih sepi, anak-anak lain masih sibuk mandi atau sarapan, dia sudah berjalan kaki menyusuri jalan menuju ke sekolah yang kira-kira perlu ditempuh selama 40menit, dia berjalan sembari menebar senyum ke orang yang ditemuinya. Sesampainya di sekolah, masih sangat sepi, anak-anak masih banyak belum hadir, tanpa dimita oleh siapapun, dia bergegas mengambil sapu untuk menyapu kelas, selesainyadia tidak diam, dia masih mengambil ember dan menyiram bunga di depan kelasnya. Saat belajar, dia terlihat sangat antusias, sering maju mengerjakan soal di papan, singkat kata ia termasuk yang paling cepat menyerap pelajaran. Sebenarnya saat itu bapaknya pergi ke Malaysia, dan beberapa waktu yang lalu bapaknya kembali ke Indonesia.

Hinggga pada sekitar 3 bulan lalu bapak dan ibunya bercerai, entah apa alasannya. Ternyata hal itu menjadi pukulan tersendiri untuknya, saat ini dia sudah tidak seceria dulu, menyapu kelas hanya jika disuruh, menangkap pelajaran menjadi hal yang sangat sulit untuknya, bahkan di rumah dia sering murung sendirian. Sayang tak banyak interaksi saya dengannya, tapi setidaknya saya mulai share hal itu kepada guru yang lain.

Dari cerita diatas, terihat bahwa kondisi keluarga  memiliki pengaruh sangat besar terhadap anak, kondisi ekonomi memang penting bagi keluarga, tetapi kehadiran orang tua utuh di tengah-tengah keluarga menjadi hal yang utama. Jangan-jangan alih-alih memperbaiki kondisi keluarga dengan sudut pandang utama ekonomi ternyata malah memperburuk kondisi keluarga, kurang terpantaunya kondisi anak, mulai rapuhnya hubungan suami-istri, dan akhirnya keluargapun menjadi rapuh.

Terima kasih ya bapak-ibu karena sudah hadir dalam banyak aktifitasku, hadir dalam membentuk karakterku, hadir dalam banyak keputusan hidupku. Kesabaran dan keteguhan kalian dalam membentukku laksana minum obat dalam kondisi sakit, pahit tapi menyembuhkan.

Ah, memang terlalu banyak hal terdekat kita yang perlu disyukuri, “hanya” perlu memandangnya dari sisi yang lain bahkan mungkin dari tempat yang lain.


Cerita Lainnya

Lihat Semua