Belajar dari Sepatu

Ade Sri Rahayu 21 September 2014

Hari ini saya ada di kota. Salah satu agenda kecil saya adalah membeli sepatu.

Kamis lalu sewaktu mengajar ada murid saya yang dengan malu-malu berkata, ”Bu, ada yang mau saya bilang dengan Bu Guru.” Apri namanya. “Iya, ada apa Nak?” jawab saya.

Apri: “Ah tidak jadi, nanti Bu Guru malu.”

Saya: “Tidak apa-apa, bicara saja.”

Apri: “Tidak, Bu.”

Sejenak hening. Beberapa meit kemudian Apri kembali menegur saya, dengan ragu ia berkata, “Bu, ...”

Saya: “Iya, kenapa Apri?”

Apri: “Sepatunya Bu Guru, Bu, bagian belakangnya rusak.”

Saya lirik sepatu yang selama ini selalu setia menemani saya mengajar, dan, ternyata bagian belakang sepatu saya sudah terlepas jahitannya, menganga lebar. Malu sih, tapi bukan tentang malu itu yang ingin saya ceritakan.

***

Kembali lagi dengan hari ini.

Saya harus membeli sepatu karena memang butuh, sepatu saya rusak. Setelah masuk ke beberapa toko sepatu, saya akan menceritakan hasilnya. Toko sepatu yang saya kunjungi sebagai berikut:

1.       Toko sepatu pertama terletak diantara toko penjahit. Saya langsung menuju ke sudut yang menjajakan berbagai sepatu untuk perempuan. Saya ke sana bersama 3 teman saya. “Yang ini saja, bagus modelnya.” Pendapat salah satu teman saya yang feminim. “Jangan yang itu, kamu yakin mau pakai sepatu model begitu?” pendapat teman yang lain.  Akhirnya saya tidak memilih keduanya.

2.       Toko sepatu kedua saya masuki sewaktu dalam perjalanan ke bengkel. Saya ke sana bersama 2 orang teman. Saya tanya pendapat mereka tentang sepatu casual yang saya pilih. Jawabnya, “boleh juga, kelihatannya awet.” Pendapat teman saya yang lain lagi. Tapi tetap, saya tak memilihnya.

3.       Toko ketiga. Saya sendiri ke sana. Saya lihat beberapa model sepatu perempuan. Biasanya saya memilih sepatu di tempat laki-laki, tapi kali ini berbeda, saya sedang mendapat kehormatan untuk belajar menjadi guru. Saya pikir tak ada salahnya mencoba memberikan contoh yang baik. Saya pilih model sepatu perempuan. 2 model yang saya suka tak ada ukuran yang sesuai dengan kaki saya, kebesaran. Oke, saya pilih model ketiga. Tapi tidak juga saya beli. Saya ingin ke toko sepatu keempat terlebih dahulu yang direkomendasikan teman saya.

4.       Toko sepatu keempat. Letaknya di dekat supermarket. Setelah melihat-lihat beberapa menit saya memutuskan untuk keluar toko. Tanpa hasil juga, saya tidak membeli sepatu di sana.

5.       Toko kelima. Tipe toko pasar malam. Saya lihat ada model sepatu persis seperti di toko nomor 2. Saya tanya ke bapak penjual sepatu berapa harganya, beliau sebutkan sebuah angka. Saya bergeming. Ada noda di sepatu itu. Saya tak mampu melihat wajah Bapak penjual sepatu yang penuh harap. Barangkali belum ada sepatunya yang terjual hari ini. Saya pamit. Beliau turunkan harganya hingga 20%. Tidak berubah, saya tetap urungkan niat membeli sepatu di toko kelima.

Lama saya berfikir. Bapak itu menjual sepatu dengan kualitas beragam –mayoritas kualitasnya menurut saya seadanya, tempat berjualannya juga lebih tradisional dibanding dengan toko lain yang saya kunjungi. Saya yakin Bapak itu hanya satu potret dari ribuan pedagang sepatu lain yang sejenis di negeri ini. Yang terlintas dalam benak saya adalah dilihat dari kesederhanaan dan raut wajahnya, Bapak ini begitu ikhlas menjalani pekerjaannya sebagai penjual sepatu untuk menghidupi keluarganya. Terbayang-bayang barangkali di kota-kota besar di seberang sana ada sepatu yang harganya setara dengan harga seluruh dagangan sepatu si Bapak, dan dipajang dalam toko yang super nyaman.

***

Banggai, 20 September 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua