Tangan-Tangan yang Merekam Bahagia

Bunga Ramadani 13 Maret 2014

“Ibu mau pake gelang akar ? Macam tete-tete (baca : kakek-kakek) jaman dulu sa !”.

Begitulah komentar George Mutler Batlayar (biasa dipanggil Wane), siswaku kelas VI di SDN 1 Adaut. Aku jatuh cinta dengan gelang besar berwarna pekat hitam-coklat, yang melingkari tangan Wane dengan begitu kuat. Tangan yang dalam kesehariannya begitu lincah memainkan angka-angka di atas kertas, pun tangan yang begitu bersemangat ketika memberikan pukulan bola voli yang tajam.

“Gelang ini seng dipake sembarang orang Ibu. Biasa tete-tete sakti sa pake. Bet pung Bapak ada kasih ini par beta. Mangkali ontua su taruh mantra par lindungi beta”.

Masih menatapku yang sangat mupeng dengan gelang antik itu, Wane bercerita bahwa gelang yang terbuat dari akar bahar biasanya tidak dipakai sembarang orang. Lazimnya, orang-orang sakti jaman dulu, memberikan gelang itu untuk keluarga terdekat. Dengan disisipi mantra-mantra khas Tanimbar, jadilah gelang itu semacam jimat untuk menamengi si pengguna dari ‘kuasa gelap’, begitulah orang Tanimbar biasa menyebut kekuatan-magis-tidak-diinginkan yang memang sulit dijelaskan dengan logika dan akal sehat.

“Nah, kalau Ibu sungguh mau gelang akar. La nanti beta bilang par Bapak supaya biking satu la kasih Ibu kalau su mau pulang ke Jawa e”, Wane sepertinya mencoba mengakhiri kegalauanku dengan menjanjikan nanti di akhir masa penugasanku, Bapaknya, yang biasa berkebun di Tnyafar Kora, akan membuatkan satu gelang akar untukku.

 

Sudah delapan bulan aku tinggal di tanah Tanimbar yang begitu indah ini. Banyak hal membuatku begitu terkesima. Akar bahar adalah hal yang dengan mudah dijumpai di sini. Tapi baru sedikit saja yang mengolahnya hingga menghasilkan suatu bentuk produk kreatif. Memang, industri kreatif adalah hal yang belum berkembang di sini, pun sejalan dengan pengelolaan potensi pariwisata yang masih harus terus didorong. Tenun ikat khas Tanimbar, patung Tumbur, kerajinan anyaman, ataupun kerajinan alat musik tifa, adalah sedikit yang bisa aku sebut. Tapi gelang akar bahar ? I think that’s a very unique handicraft. I hope I’ll have one. Terimakasih Wane :)

 

---

Januari 2014

                “Kakak mau pake gelang anyam ka seng ?” tanya Bobby padaku, ketika kami tengah sibuk menata buku-buku untuk rumah baca. Bobby adalah siswa kelas XII di SMAN Selaru. Satu-satunya SMA yang ada di pulau sepanjang 60 kilometer ini. Bobby adalah anak yang cakap dan menyenangkan. Dia pernah mewakili Provinsi Maluku untuk mengikuti Jambore Nasional di Palembang dan Jakarta. Naik pesawat terbang dan bisa menjejakkan kaki di ibukota adalah hal yang luar biasa prestisius bagi anak-anak Tanimbar. Namun, Bobby tetaplah pemuda 17 tahun yang rendah hati dan tidak pernah menghilangkan senyum di wajahnya. Darinya, aku belajar tentang bahagia dalam kesederhanaan.

                “Hah, gelang anyam, mari kakak liat dolo !”, responku bersemangat sambil menggerakkan bola mataku menyusuri untaian gelang anyam warna warni yang melingkari tangan Bobby.  “Bagus ! Ale biking sendiri ya ? La coba biking satu kah, kasih par kakak Bunga boleh. Warna putih, ungu, deng kuning muda, macam Kakak pung ikat rambut ini”

Sulit untuk tidak merasa tergoda dengan gelang-gelang unik yang tidak ditemukan di toko ini. Namun cerita di balik munculnya gelang-gelang itulah yang sebenarnya menarik perhatianku. Bobby yang pada dasarnya humoris, sontak menjawab permintaanku, “Itu kak Bunga pung tali-tali pagar banyak, la pakai saja toh”, ujarnya sambil tertawa-tawa.

 

Jujur, aku sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskan munculnya tren gelang anyam ini di desa Adaut. Yang aku tahu, sekarang hampir setiap anak sekolah, dari tingkat SD, SMP, hingga SMA, memakai gelang yang dibuat dengan sukacita ini. Terlihat dari cerahnya warna-warna yang dipakai, dan senyum penuh kebanggaan yang tidak pernah surut dari wajah anak-anak ini. Mereka bangga bisa membuat gelang dengan kombinasi warna kesukaan mereka. Mungkin, ada sebuah prinsip baru yang dipedomani oleh anak-anak Adaut ini. “Katong baru bisa dibilang gagah kalau su dapat biking gelang anyam, apalai kalau su bisa kombinasi empat warna !”

Tari Rangratu, siswi kelas VI di SD Inpres 2 Adaut, menganyam satu gelang berwarna putih-kuning-biru untukku. “Ibu, bet anyam la kasih satu par Ibu !”, ujarnya di sepenggal sore berawan hitam tebal, ketika aku memberikan pelajaran tambahan untuk siswa kelas VI. Ternyata esok paginya Tari sudah membawa satu gelang anyam dengan perpaduan warna manis, seperti yang ia janjikan di hari sebelumnya.

Gelang anyam, yang awalnya dibuat oleh Bobby Haluruk, seorang siswa SMA dengan latar belakang kepanduan dan kepramukaan yang kuat, kini sudah menjadi semacam aksesoris primer dan kegiatan keterampilan yang wajib dikuasai bagi anak-anak Adaut. Virus ini menyebar dengan cepat, secepat virus sinetron Putri Duyung. Bedanya, gelang anyam ini memberi dampak positif bagi anak-anak. Contoh. Karena ingin segera menjajal kemampuan anyam-menganyam, plus ingin segera memakai gelang anyam, plus adanya persaingan ketat di antara anak-anak terkait ‘siapa yang punya gelang dengan warna paling menyala’, sekarang anak-anak Adaut rela menyisihkan sebagian uang sakunya hanya untuk membeli beberapa gulung kecil benang tenun.

Benang tenun adalah bahan utama yang digunakan untuk membuat gelang anyam. Sebagai informasi, Kepulauan Tanimbar, khususnya Pulau Selaru, memiliki perempuan-perempuan hebat yang mampu menghasilkan tenun-tenun ikat halus, namun dengan corak khas tegas. Sesuai dengan jiwa orang Tanimbar.

 Mama piaraku, Helena Melalolin, biasa dipanggil Mama Leni, adalah seorang perajin tenun ikat Tanimbar. Mama Leni juga dipercaya untuk menjadi ketua kelompok tenun ikat Pulau Selaru. Dari tangannya yang lincah, dan dari kesabarannya yang tidak berbatas, lahirlah warna-warni tenun ikat yang seolah berbicara lebih.

Warna-warni itu kini tidak hanya hadir di tenun ikat yang menjadi busana khas orang Tanimbar. Warna-warni itu kini juga hadir di pergelangan tangan anak-anak desa Adaut. Dengan penuh antusias, mereka memaknai masing-masing warna itu. Dengan penuh semangat, jemari-jemari kecil mereka menari dan menyulap untaian benang-benang, yang didapat dengan perjuangan.

Gelang anyam yang melingkari tangan-tangan mungil mereka, bukan sekedar aksesori belaka. Gelang itu adalah bukti. Gelang itu merekam dengan pasti, sepotong bahagia di masa kanak-kanak mereka. Bahagia yang sulit untuk dicuri oleh siapapun, atau apapun.

 

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua