Memenangkan Berani

Bunga Ramadani 23 April 2014

Mengelola rasa “tidak aman” adalah hal yang tidak bisa diejawantahkan begitu saja dari teori. Berhadapan langsung dengannya, mengalami dan memaknai, itulah yang aku sebut dengan belajar. Ini sungguh tidak pernah semudah mengucapkan kalimat “beranilah keluar dari zona nyaman”. Lebih dari itu, zona nyaman dan tidak nyaman sendiri seringkali memiliki batas yang tidak terdefinisi dengan tegas.

 

Aku teringat masa-masa ketika aku pertama kali bergabung dalam sebuah komunitas sekolah kehidupan dan sekolah kepemimpinan bernama Gerakan Indonesia Mengajar. Tempat dimana orang-orang muda dan antusiasmenya akan kehidupan bangsa yang lebih baik, berkumpul dan mencatatkan jejak dedikasi mereka untuk negeri ini.

Malam ini, di bulan ke-11 penjelajahanku di tanah Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, tiba-tiba satu konsep meradang begitu hebat. Ini tentang konsepsi “mengubah rasa cemas menjadi rasa antusias”. Konsepsi yang aku sampaikan sendiri dengan nada optimis kepada Bapak Hikmat Hardono, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar, di suatu pagi yang penuh semangat. Tepat satu hari setelah kami, Pengajar Muda VI menyelesaikan pelatihan fisik dan mental di Gunung Kareumbi bersama dengan Wanadri.

Itu adalah rekaman ingatanku satu tahun yang lalu. Malam ini, aku masih bergumul dengannya. Pengelolaan rasa cemas. Mengubah cemas menjadi antusias ? Bisakah ?

Ada pepatah yang mengatakan, “ship stays in harbour is safe, but that’s not what ship is made for. Daerah penugasanku di Kepulauan Tanimbar, telah memaksaku untuk beradaptasi dengan berbagai moda transportasi laut. Mulai dari speed besar, speed kecil, speed sangat kecil, motor laut, hingga perahu ketinting. Aku menikmati sensasi kepuasan dan rasa syukur mengarungi lautan luas. Tenang ataupun bergelombang, semua memberi makna yang spesifik bagiku. Hal yang mustahil aku dapat jika aku tidak mengambil pilihan itu. Pilihan untuk berani meninggalkan hiruk sesak ibukota. Ajaib, aku bertahan dan konsisten.

Ini adalah hari kedua Paskah. Setelah sebelumnya larut dalam sukacita syukur di tengah-tengah jemaat desa Adaut. Setelah melewati malam-malam penuh pujian, yang ditahbiskan dengan prosesi Jalan Salib yang begitu magis, aku pun beranjak.

Hujan besar mengguyur tanah kami malam itu. Matahari merajuk dengan angkuhnya. Awan tebal hitam sebentuk senyuman, memayungi langkahku menuju tepian dermaga. Bermain dengan ketidakpastian jadwal kapal bukanlah sebuah anomali di sini. Benar saja. Motor laut berlabuh tenang di tepian.

Masyarakat Adaut dikenal senang menantang lautan. Seperti lagu anak, nenek moyang mereka katanya adalah pelaut ulung. Aku pikir itu hanya metafora belaka, hingga akhirnya aku mendapati itu benar adanya.

Siang itu, sepulang ibadah Paskah, sontak kepastian mengenai keberangkatan kapal muncul juga. Positif. Aku bergegas memanggul tas ranselku yang belum benar-benar kering, sembari menyeret dry bag 10 liter, menuju kapal motor “Selaru Lan Eras” yang cat putihnya sudah terkelupas di sana sini. Dengan sigap, aku lemparkan dry bag kepada ABK yang ada di bibir kapal, dan dalam hitungan detik menyusuri tangga berkemiringan 45 derajat yang pegangannya licin dibasuh oleh rintik kecil.

Dry bag-ku sudah lebih dulu terduduk manis di bilik depan kapal, aku merapat. Tidak lama, seorang perempuan berparas manis khas Indonesia Timur melambaikan tangan ke arahku. Ah, Ibu Camat ! Personanya yang selalu bersemangat terus saja membuatku kagum. Ibu Camat mengambil tempat di sisiku. Di siang tanpa hangat matahari, kami berlayar ke kota.

Ketika segaris terakhir atap megah geraja Adaut menghilang dari pandangan, detik itu juga kapal yang kami tumpangi bergulat dengan gelombang tinggi dari berbagai penjuru. Angin kencang, hujan besar, dan tubuh kapal yang tidak lagi melaju seimbang, menemani kami dengan penuh ketidakpastian. Limbung. Kabut tebal menyelimuti Selat Egron yang di hari biasa pun dikenal cukup ‘ganas’. Apalagi ini, ketika Angin Timur tanpa ragu membuktikan kekuatannya.

Aku geser tubuhku dengan terburu. Air hujan menembus atap kapal yang telah lapuk. Masih mencari keseimbangan, aku sempatkan melihat keluar. Nihil. Pulau Angwarmas dengan tebing terjalnya yang bertahta anggrek putih tidak lagi terlihat. Begitu juga dengan Pulau Nuyanat di seberangnya. Kali ini, pasir putihnya lolos begitu saja dari pandangan.

Ibu Camat terlihat gelisah. Setiap kali gelombang tinggi mengayun kapal, nama Tuhan tidak pernah hilang dari bisikannya. Beberapa awak kapal terlihat santai sambil sesekali meyakinkan kami bahwa kondisi ini tidak perlu dicemaskan. “Ah, Ipar takut ya ? Takut kah ? Ini katong su siap gen-gen ini (Kami sudah siap jerigen)”, ujar salah satu dari mereka menggoda ibu Batlayeri yang pucat dan diam di tempat.

“Sebentar kalo katong su lewat Egron sepanggal la lewat Matakus, su aman sudah” (Nanti kalau kita sudah lewat Egron dan masuk ke Matakus, kita pasti sudah aman), satu ABK lain mencoba meyakinkan kami. Dua jam lebih bergulat di dalam kapal yang menari bersama gelombang, menjadi dua jam terlama di hidupku.

Tidak mau berpusing mencari dimana Pulau Matakus, karena memang pulau-pulau tidak lagi terlihat. Aku putuskan untuk memejamkan mata saja. Fatal. Perut yang mual, dingin yang menembus kulit, ditambah tangisan anak-anak yang mulai pecah, membuatku gamang. Teringat satu pengalaman dari Mas Prie, teman satu timku di MTB yang sempat mengalami hujan badai seperti ini hingga harus tertahan untuk bermalam di Matakus. Well, no. I hope it won’t happen to me.

Harapan jika melewati Matakus maka gelombang akan reda ternyata tidak terbukti. Awan gelap terus saja berkolaborasi dengan berbagai keajaiban semesta yang lain. Memaksa kami berada dalam ship of fear yang konstan.

Ada yang bilang, belum menjadi orang Adaut kalau masih ada rasa takut ketika berlayar. Aku mengamininya. Seperti yang sudah-sudah, kali ini pun aku mengkonversi ketakutan itu.

Detik, menit, dan jam pun berlalu hingga aku melihat sesamar mercusuar dari balik jendela berkabut. Aku tahu aku akan segera menjejakkan kaki di tempat destinasi hari ini, Saumlaki. Thanks God. I was safe and sound.

Pengalaman ini tidak meninggalkan apapun kecuali sebentuk rasa syukur, dan secuil berani yang ditiriskan dari sisa-sisa kecemasan hari ini. Aku pikir aku terberkati. Aku tahu, kecemasan akan selalu ada. Saat-saat dimana kita merasa insecure, bukannya tidak mungkin untuk terulang.

Tapi seperti halnya kata Kartini, bukankah tiga perempat dunia ini dimenangkan oleh pemberani ? 


Cerita Lainnya

Lihat Semua