Kisah Camat Apung

Billy David Nerotumilena 25 Agustus 2012

“Di balik sebuah tempat dahsyat, selalu ada pemimpin hebat”

Molumaru, 22 Juni 2012

(terinspirasi kisah Suster Apung)

Kisah ini pernah dikisahkan oleh Bagus dan Dedi PM II, tapi beliau merupakan pemimpin tingkat grassroot yang akan selalu menjadi inspirasi, motivator dan yang selalu menularkan semangat positif kepada kami, terutama penulis yang sekarang menjadi anak piaranya. Penulis sadar tidak akan lengkap apa yang dituliskan dan tidak pernah bisa mendeskripsikan semua hal tentang kebaikan, inspirasi dan dedikasi beliau, karena masa perkenalan yang singkat, tapi penulis ingin mengisahkan secara sederhana kisah hidup beliau, dari sudut pandang orang pertama, sesuai dengan yang dikisahkan secara langsung oleh Ibu Camat.

Aku adalah Marthen Ronald Bebena. Aku terlahir dari keluarga sederhana pada tanggal 26 Januari 1980. Aku memiliki seorang istri dan dua orang anak. Aku lulusan salah satu sekolah pendidikan tinggi ilmu pemerintahan, bergengsi di Indonesia. Pola pikir tegas dan pola sikap disiplin itu menjadi identitasku.

Suatu siang, di penghujung tahun kesepuluh di era millenium, sepucuk surat aku terima mengatasnamakan bupati Maluku Tenggara Barat. Ini berita suka atau duka? Hening sejenak, berpikir dan hanya ada logika yang mencoba menempatkan posisi sebagaimana mestinya, ya...aku di Molumaru” kan. Konotasi yang aku anggap paling tepat untuk mendeskripsikan secara harfiah, dibuang atau diasingkan. Aku dipercayakan untuk mengemban amanah menjadi Camat Molumaru, sebuah kecamatan baru di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Surat itu aku terima sore hari, padahal pagi harinya, tidak ada indikasi apapun, pada saat aku menghadap Sekda pun aku ditanyakan mengenai persiapan penerimaan CPNS, karena aku merupakan ketua panitia di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Tapi tanpa pemberitahuan apapun, sore harinya aku terima surat itu. Perjuangan dalam meraih posisi strategis di birokrasi Pemerintah Daerah, Maluku Tenggara Barat, terasa akan tidak ada gunanya. Semua atribut nyaman dan aman tersisihkan menjadi bagian yang terbuang. Apakah ada kedengkian dan kebencian di balik keputusan, hanya Tuhan dan Bupati yang tahu itu. Aku sadar bahwa ini tugas, aku haru laksanakan, aku tidak mau terlarut dalam menuruti kata hati “manusiaku”, aku percaya ini rencana Tuhan.

Tapi jauh sebelum aku berangkat menunaikan tugasku itu, tepatnya tiga tahun sebelumnya, peristiwa luar biasa di pengalaman spiritualku lebih dulu terjadi. Aku mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Belanda. Namun, seminggu sebelum aku berangkat, melalui penglihatan dari salah seorang pendeta yang belum pernah aku kenal sebelumnya dan juga diperkuat dengan penglihatan juga dari kakak iparku, aku harus melupakan kesempatan untuk melanjutkan studi, karena aku akan dipercaya menjadi pemimpin banyak orang dan akan merubah peradaban di suatu tempat yang belum pernah aku ketahui sebelumnya, serta ini menjadi batu lompatan untuk karierku. Secara logika, tentu saja aku tidak akan mengindahkan hal ini, karena percaya pada hal yang belum terjadi. Namun, ada keinginan yang kuat dalam hatiku, pertimbangan dari istriku dan juga setelah aku bergumul dalam doa, aku memang harus mengambil keputusan itu, ya aku tidak akan berangkat melanjutkan studiku. Aku tidak tahu jawabannya apa, tapi aku percaya. Jauh setelah itu, tepatnya saat ini aku baru sadar bahwa pekerjaan menjadi camat ini yang Tuhan ingin percayakan kepadaku untuk aku kerjakan. Tugasku untuk menjadi camat sudah dinubuatkan oleh Tuhan, hauh sebelumnya dan aku sangat mempercayai itu sepenuhnya.

Meskipun masih penuh dengan pertanyaan dan dengan iringan air mata, aku meneguhkan hati untuk menunaikan tugas, berangkat dan menuju tanah antah berantah. Keajaiban pertama sudah mulai muncul. Tanpa relasi dan komunikasi apapun, pada waktu  berangkat, aku didatangi oleh Pak Teko, yang sebelumnya belum pernah aku kenal sedikitpun, yang menawarkan diri menjadi pelayan pribadiku, tanpa embel-embel tawar menawar gaji. Pada saat itu aku belum tahu apa kelebihannya, ternyata pada saat di berada di daerah penugasanku aku baru tahu bahwa, Pak Teko merupakan pengemudi speedboat yang tangguh dan cekatan, dan aku percaya ini bukan suatu kebetulan, Tuhan tidak akan pernah tinggal diam.

Pertama kali kujejakkan kaki di Pulau Molo ini dengan penuh keterasingan. Wow! Pantai indah, banyak rumah, tapi, mana penduduknya? Tidak ada yang sedikitpun peduli akan kehadiran kami, termasuk ketika rombonganku  menurunkan barang bawanku yang banyak. Baru aku sadar, ternyata budaya malu dan menghindar terhadap orang asing menjadi alasannya, kesan pertama yang cukup menarik. Semoga ini akan menjadi pertanda baik, selama tiga bulan aku akan ada disini.

 Waktu terus berlalu, ekspektasi tinggi ini ternyata masih terlalu dini, hari-hari awalku disini, pekerjaan tata laksana staf kecamatan adalah membersihkan dan mengangkat semua “kotoran”, baik limbah manusia, hewan ataupun sampah-sampah domestik di putihnya pasir pantai di Desa Adodo Molu. Ini hal mungkin dianggap hina, tapi ini sederhana, aku berusaha menumbuhkan kesadaran masyarakatku untuk menjaga kebersihan, dan ini membuahkan hasil. Tak lama setelah itu aku berkunjung ke salah satu desa, Desa Wadankou. Desa ini terkenal dengan karakter dan watak penduduknya yang keras. Kedatanganku dan tim disambut dengan kesinisan, teriakan melecehkan dan tidak ketinggalan lemparan batu. Secara manusia aku takut, tapi ada sesuatu di hatiku yang menguatkan untuk mengumpulkan semua penduduk di rumah kepala desa dan berbicara kepada mereka semua. Dan keajaiban terjadi, saat penduduk berhasil dikumpulkan, aku mulai berdiri di depan dan berbicara kepada mereka, mereka semua terdiam dan memperhatikan dengan seksama semua perkataanku, tidak ada lagi teriakan, cibiran atau bahkan lemparan batu. Itu semua karena keyakinan dan keteguhan hati. Setelah pertemuan itu, mereka bisa menerimaku dengan baik. Hal yang sama pun terjadi ketika aku juga berkunjung ke desa yang lain.

Aku menyadari aku merintis pembentukan dan penyusunan birokrasi baru. Oleh karena itu, aku dengan penuh ketulusan menjalankan tugas dan birokrasi yang multidimensi. Selain Camat, aku juga menjadi Kepala UPTD Dinas Pendidikan di Kecamatan Molumaru, aku pun juga tidak segan untuk turut aktif mengajar menjadi guru di SMA Negeri 1 Adodo Molu, satu-satunya  sekolah pendidikan tingkat atas di kecamatanku, yang hanya memiliki 1 orang Kepala Sekolah dan 1 orang guru. Aku mulai membangun kepengurusan birokrasi, dan aku bersyukur aku dipertemukan dan bekerja sama dengan orang-orang hebat yang menjadi staf kecamatan. Aku tidak berlebihan, karena tiap orang memiliki spesifikasi kompetensi yang mumpuni di bidangnya. Belum lagi Tuhan juga mempercayakan padaku diperkenalkan dengan Indonesia Mengajar, yang menjadikan Kecamatan Molumaru sebagai salah satu lokasi penempatan Pengajar Muda. Aku percaya ini semua bukan suatu kebetulan.

Aku membangun kepercayaan masyarakat bukan dengan pencitraan, tapi dengan teladan hidup dan kinerja. Aku tidak merokok  dan tidak minum minuman keras (sopi). Aku akan menindak wargaku yang mabuk atau melakukan kekerasan baik terhadap keluarga atupun kepada sesama. Dan aku bersyukur, tindak kriminal di Molumaru jauh berkurang, masyarakat lebih peka dan juga lebih peduli terhadap sesamanya. Aku juga bersyukur memiliki istri yang selalu mendukungku, menemani dan bersamaku dalam keadaan apapun. Istri yang mau merendahkan dirinya, meninggalkan pekerjaannya, berkeliling menjajakan hasil potensi desa seperti ikan garam, untuk penggalangan dana hari-hari besar, bagi wargaku yang tertimpa bencana, dan kegiatan sosial lainnya

Aku tetap mengandalkan Tuhan di setiap hal yang aku lakukan. Oleh karena itu aku tidak pernah gentar sedikitpun menghadapi niat-niat buruk yang akan mencelakakan atau menggangguku melalui ilmu hitam ataupun hal mistis lainnya, karena Kecamatan Molumaru masyarakatnya masih banyak menganut ilmu hitam, yang menjurus kepada animisme dan dinamisme. Pernah suatu kali, seorang pendeta yang ditugaskan disini, kabur dan tidak mau kembali karena terganggu dengan hal-hal gaib. Tapi, syukurlah Tuhan selalu menjaga dan membentengiku dari hal-hal yang seperti itu.

Geografis kewilayahan menjadi ujian tersendiri bagiku. Wilayah administratif yang terdiri dari dua pulau, serta sebagian besar masih berupa hutan rimba, menyebabkan aksesbilitas terbatas hanya melalui laut, dengan menggunakan long boat, ketinting (perahu kecil bermotor) dan sekarang sudah ada speed boat kecamatan. Jadi tidak heran, mobilitasku sangat bergantung pada transportasi laut. Jarak terjauh untuk menempuh Desa Nurkat yang menjadi wilayah terjauh bisa mencapai waktu tempuh 3 jam. Dan, aku dan timku harus siap dalam keadaan dan cuaca apapun. Pernah suatu kali perahuku terbalik, speedboatku terombang-ambing dibawa arus laut karena mesinnya mati, kehilangan jangkar sehingga tidak bisa berlabuh, longboatku nyaris tenggelam, dan banyak kejadian lain yang secara logika mengancam keselamatan nyawaku dan orang-orang yang bersamaku. Tapi aku tetap percaya, selama aku berangkat dengan niat baik untuk melayani, Tuhan tidak pernah tidur, sehingga dalam keadaan terburuk pun, selalu ada jalan keluar dan selalu ada pertolongan.

Dengan segala keterbatasan seperti tidak ada sinyal telepon seluler, tidak ada listrik, keterbatasan aksesbililtas dan sarana tranportasi, serta tidak ada alat yang menunjang kinerjaku, aku hanya bisa bersungguh-sungguh dan tanpa pamrih dalam melakukan semua tanggung jawab. Fasilitas pun tidak aku dapatkan sedikitpun, bahkan kantor kecamatan dan balai pertemuan pun kami masih belum punya, untuk operasional aku menumpang di sekolah-sekolah yang ada. Aku tinggal di rumah sederhana yang aku gunakan juga sebagai kantor operasional kecamatan, jauh dari rumahku yang nyaman di Saumlaki. Seiring waktu berjalan, ternyata aku tidak bisa meninggalkan tempat ini, tugasku disini yang harusnya hanya tiga bulan masa penugasan, harus diperpanjang yang tidak tahu sampai kapan. Aku tidak berkeberatan sedikitpun, karena perpanjangan pengabdianku ini berdasarkan pemohonan kelima kepala desa di Kecamatan Molumaru, yang memohonkan langsung kepada Bupati agar aku tetap memimpin Kecamatan Molumaru. Bagiku ini sebuah amanah dan sebuah kepercayaan yang haru diemban dengan penuh tanggung jawab. Aku juga tetap percaya ini rencana Tuhan.

Aku mencintai tugasku, aku mencintai masyarakatku dan terutama aku mencintai Tuhan dengan semua rencana dan jalan yang telah ditetapkannya. Aku akan mendedikasikan hidupku sepenuhnya untuk kemajuan Kecamatan Molumaru. Aku menjalankan tugasku sebagai sebuah pelayanan, dengan ketulusan juga akan selalu menjadi pembelajaran hidupku. Aku masih ingat tujuh tahun yang lalu, ketika aku dan keluargaku di Saumlaki menampung para pendatang yang tidak dipekerjakan dengan jelas di rumahku. Tapi, tanpa aku duga salah seorang di antaranya mampu membuat kerajinan sofa dan benda-benda mebel lainnya, sehingga aku putuskan untuk menjadikannya bisnis pribadiku dengan memperkerjakannya dengan baik. Pemasukan dan rezeki tidak pernah berhenti mengalir melalu bisnisku itu sampai sekarang. Dan akhirnya,oleh karena itu, aku masih tetap yakin Tuhan tidak pernah berubah, tidak akan pernah membiarkan hambaNya senantiasa berbuat kebaikan dan mengandalkan Tuhan dalam segala keadaan.

Salam hangat dari Maluku Tenggara Barat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua