info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Empat jam untuk selamanya

Billy David Nerotumilena 11 Agustus 2012

Sebelum membaca kisah ini, bayangkan beberapa hal ini.......

Pertama, coba anda bayangkan wahana permainan paling ekstrem di di Dunia Fantasi, Jawa Timur Park, Trans Studio, atau dimanapun itu,

Selanjutnya, bayangkan itu diperbolehkan dinaiki oleh semua usia, tanpa tim teknis yang mendamping dan dengan resiko keselamatan nol persen !!

Terakhir, bayangkan itu dilakukan selama empat jam, masihkah menjadi sesuatu yang menyenangkan?

Apapun persepsi anda setelah membayangkannya, yang jelas ini bukan merupakan suatu kisah hiperbola, dan saya merasa apa yang kami alami lebih dari apa yang anda bayangkan tadi.

Hari itu, tanggal 25 Juni 2012, seminggu masa transisi di Desa Adodo Molu, setelah  melakukan prosesi  “snobak”, sebuah upacara adat untuk seremonial lepas sambut desa kami, siang itu digunakan untuk prosesi penyambutan saya dan Dhimas yang tertunda, serta melepas kepulangan Bagus dan Dedi. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIT, yang menurut pengetahuan lokal setempat, merupakan waktu yang terlalu siang untuk melakukan perjalanan laut pada waktu angin timur. Namun dengan segala pertimbangan demi untuk melancarkan kegiatan dengan Pemerintah Daerah Maluku Tenggara Barat, kami, tapi lebih tepatnya orang-orang yang bersama kami, memutuskan untuk tetap “berlayar”.

Jangan bayangkan kami akan melakukan perjalanan dengan kapal pesiar atau bahkan “senyaman” kapal ferry, yang kami gunakan saat itu, perahu kayu bermotor, biasa disebut dengan motor laut. Ukurannya kurang lebih panjang 15 meter dan lebar 2 meter, dengan tempat duduk penumpang di bagian depan, dua mesin kecil yang ada di tengah dan dek kecil untuk  penumpang dan pengemudi di ujung belakang, serta beratapkan terpal usang di setengah bagian.

Selain itu, percaya tidak percaya, daya tahan, daya tampung dan kapasitas penumpang motor laut itu, konon hanya diketahui oleh Tuhan. Waktu itu motor laut itu menampung kurang lebih 25 orang, dengan usia beragam, termasuk anak-anak, murid SDK Adodo Molu dan SDK Wadankou. Waktu tempuh normal hingga mencapai Pulau Larat, pulau tempat singgah sebelum menuju Saumlaki, dengan kondisi cuaca yang bersahabat berkisar antara 6-8 jam.

Tidak ada hambatan berarti selama dua jam perjalanan awal, ombak cukup tenang dan angin berhembus cukup teduh. Percaya tidak percaya lagi, ini juga buah kerja keras dari bapak “pemotong angin” di desa yang menggunakan kompetensi spiritualitasnya (bukan hasil pelatihan kompetensi pedagogis pastinya) untuk meneduhkan angin yang akan mengiringi perjalanan kami. Motor laut kami singgah di Desa Tutunametal, yang merupakan desa terjauh di Pulau Molo, Kecamatan Molomaru, sebelum melanjutkan perjalanan meninggalkan Pulau Molo.

Mulailah muncul konflik di tempat ini, karena dihadapkan pada pilihan, akan singgah terlebih dulu di Desa Nurkat, yang masih merupakan wilayah administratif Kecamatan Molomaru, namun terletak di pulau yang berbeda, Pulau Maru atau tetap melanjutkan perjalanan. Ibu Camat, yang saat itu bersama dengan kami, berkeras hati untuk singgah terlebih  dulu, namun beberapa orang termasuk bapak “nahkoda”, berani menjamin bahwa semakin cepat melanjutkan perjalanan akan lebih baik, dan saat itu kami hanya menjadi pendengar yang baik, seolah mendengar perdebatan cerita drama radio di RRI Maluku Tenggara Barat. Tapi apa boleh dikata, Bang Nasir sudah menjadi uzur a.k.a nasi sudah menjadi bubur, perjalanan dilanjutkan, melalui rute yang bukan lazimnya digunakan, tapi berputar arah, dengan konsekuensi waktu tempuh yang lebih lama.

Mulai saat itu, dialah pemegang kartu as (bukan menyebut merk) dalam permainan hidup mati kami, seorang “nahkoda” tua tanpa ilmu navigasi, ilmu HSE, tidak pernah mengikuti pelatihan di KOPASSUS, ataupun ilmu kelautan yang lain, dan hanya berbekal pengalaman hidup dari zaman baheula. Dari sinilah dimulai empat jam untuk selamanya ini.

Saya dan PM II Bagus berada di tempat duduk penumpang bagian belakang dekat mesin, sedangkan PM IV Dhimas dan PM II Dedi berada di depan. Beberapa orang dari kami waktu itu sudah mulai tertidur di tengah teriknya matahari, tapi tak lama kemuadian kami terbangun oleh teriakan nahkoda dan bapak-bapak yang lain, agar kami bersiap, karena kami akan memasuki “selat maut” yang memisahhkan antara Pulau Molo dan Pulau Maru yang terkenal dengan gulungan ombak besar dan terpaan angin timur yang kencang. “Apa yang harus kami siapkan pak?” tanya kami sambil melihat beliau, tapi dari tatapan dan dari cengiran senyumannya, menjawab juga dalam hatinya, “Siapkan saja doamu, teriakanmu dan tangisanmu dan Selamat Datang di duniaku !!”.

Tak lama setelah itu, motor laut mulai melaju membelah gelombang dengan kecepatan yang konstan, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Guncangan-guncangan mulai terasa, semakin lama semakin kencang, motor laut mulai “terbang” dan tidak menapak air, selama sepersekian detik, dan itu berkali-kali. Ketika kami tengok ke kiri, ombak-ombak tersebut sudah melebihi tinggi motor laut kami, bahkan mencapai dua kali tinggi motor laut. Motor laut mulai terombang-ambing ke kiri dan ke kanan, bahkan sudah mulai oleng. Penumpang motor laut, satu demi satu, terjatuh dan berguling, bahkan hanya orang yang punya kesaktian khusus yang tidak akan beranjak dari tempat duduk atau berdirinya, karena pasti semuanya bergerak karena guncangan ombak. Motor laut saat itu “bebas air”, yang memiliki makna secara etimologi bahwa, air dengan bebas masuk dari segala arah, sehingga semua penumpang dan semua barang bawaan basah kuyup terkena air laut.

Ketegangan mulai menyelimuti, kaum ibu-ibu mulai berteriak histeris, anak-anak menangis dan bapak-bapak, termasuk kami Pengajar Muda, yang pada awalnya berusaha tegar dan menghibur, mulai dilanda kepanikan, karena itu pengalaman pertama kami berempat, meskipun beda waktu penugasan. Lengkap pula rasa takut mati kami, karena saat itu Bapak Ferry, Kepala Teknis Pembangunan Dermaga Kecamatan Molomaru, yang saat itu berdiri di depan saya, berkata, “Selama bertahun-tahun saya berlayar dan mengendarai kendaraan laut berbentuk apapun, belum pernah saya mengalami yang seperti ini”, ujarnya sambil berusaha menyembunyikan raut wajah ketakutannya.

Tak lama setelah itu, Bagus PM II pun berhasil meraih juara kesatu di motor laut sebagai orang pertama yang memuntahkan semua makanan yang ada di perutnya, yang kemudian disusul oleh beberapa penumpang yang lain.

Tidak terlintas sedikitpun di benak saya untuk berusaha menyelamatkan diri, atau mengaplikasikan pembelajaran survival yang didapatkan pada waktu pelatihan atapun menjadi superhero dengan menyelamatkan penumpang yang lain, karena saya berpikir atlet renang atau bahkan prajurit paling tangguh pun tidak akan bisa menyelamatkan diri dalam kondisi seperti itu, apalagi saya.

Saat itu hanya bisa pasrah sambil tidak berhenti berdoa, kemudian menyerahkan life jacket untuk anak-anak, membagikan jirigen minyak untuk ibu-ibu sebagai pelampung, dan layaknya adegan-adegan film action, dimana sang lakon yang hampir mati, membayangkan ibu atau kekasihnya, berdoa dan kemudian mati dengan gagah, saat itu yang terlintas di pikiran saya, wajah orang tua, adik-adik dan tentunya wajah cantik kekasih saya, Asri. Tapi saat itu, saya tidak akan mungkin mati dengan gagah, bagaimana tidak, melakukan tanggung jawab sebagai Pengajar Muda saja belum saya laksanakan sedikitpun, eh, sekali ada kabar berita,  saya sudah mati, konyol sekali tentunya!!! Lain cerita dengan kondisi Dedi dan Bagus PM  II yang sudah mengabdi selama setahun.

Kembali ke cerita, dua jam kejadian itu berlangsung dengan tetap penuh ketegangan. Barang-barang di motor laut pun sudah mulai berserakan, bahkan sebagian yang ada di bagian depan, terutama sandal dan sepatu terjatuh ke dalam laut. Akhirnya klimaks terjadi, saat dek penumpang yang ada di depan, patah dan ringsek di sebelah kiri, sehingga papan kayu tempat duduk itu, tidak bisa lagi digunakan, beberapa orang pun terpaksa untuk berdiri. Dek yang ada di belakang pun, berguncang dengan hebat dan terlihat akan patah dan terlepas dari semua simpul penyambungnya. Tidak terbayangkan jika itu kemudian patah, dan kemudian air pasti akan masuk ke motor laut kami.

Kaum perempuan terutama ibu-ibu, khususnya Ibu Camat, berteriak histeris sambil menangis, serta berdoa dengan segala macam metode dan bahasa, serta tidak pernah lelah mencengkeram lengan kanan saya. Kondisi di atas motor laut itu sudah kacau dan mencekam. Pengemudi dan kru motor laut, tetap berusaha meyakinkan bahwa tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi, namun tetap saja tidak bisa menyembunyikan ekspresi kepanikannya. Belum lagi, air sudah mulai menggenangi dasar motor laut, dengan ketinggian sudah melebihi mata kaki orang dewasa. Kru motor laut dengan dibantu beberapa penumpang, termasuk saya berinisiatif untuk memotong beberapa jirigen minyak, agar bisa digunakan sebagai gayung untuk menguras air. Kami pun mulai menguras air dari motor laut, menenangkan anak-anak dan kaum perempuan serta berusaha tetap tenang. Keadaan tidak berangsur membaik, selama kurang lebih dua jam setelah klimaks tersebut. Menurut penjelasan kru kapal, keadaan seperti itu akan berkurang ketika motor laut sudah mendekati gugusan pulau kecil, yang oleh penduduk setempat disebut sebagai Pulau Lima.

Salah satu bukti Indonesia kaya akan intelektualitas lokal saya temukan saat itu. Benar saja setelah motor laut mulai menjauh dari Pulau Lima dan menuju gugusan pulau lain dengan hierarki lebih rendah, ombak perlahan mulai mengecil dan angin juga perlahan mulai berhembus tenang, sesuai dengan apa yang dikatakan kru motor laut tadi. Tidak lama setelah itu, pengemudi dan penumpang bersepakat untuk berlabuh dan mengecek kondisi motor laut di salah satu pulau kecil tak berpenghuni, yang disebut Pulau Dua. Motor laut berhasil merapat di Pulau Dua. Tidak ada ungkapan lain selain bersyukur karena berhasil melewati ombak dan angin yang begitu dahsyat tadi. Pulau Dua merupakan pulau yang indah, dengan hamparan pasir putihnya, tapi dalam kondisi seperti itu, hal itu tidak menjadi perhatian kami. Kami hanya memastikan kondisi satu sama lain terutama murid-murid dan keluarga piara, karena mereka menjadi tanggung jawab kami. Setelah memastikan kondisi semua dalam keadaan aman, baru kami mulai memastikan barang bawaan dan kondisi motor laut.

Syukurlah, tidak ada hal lain yang mencemaskan, motor laut masih dalam kondisi layak jalan, tapi tetap saja menurut persepsi pengemudi sebagai pemilik motor laut, dan tidak ada yang bisa kami perdebatkan, kecuali menuruti perkataan beliau, karena hari sudah mulai sore, jam tangan sudah menunjukkan pukul 17.00 WIT, serta tidak mungkin pula kami bermalam di Pulau Dua dalam kondisi yang seperti itu. Saat itu, tidak ada lagi bekal yang bisa kami makan selain beberapa jeruk besar yang di Pulau Jawa biasa disebut Jeruk Bali atau Jeruk Nambangan, tapi setidaknya itu bisa meredakan adrenalin kami yang meluap dan akan keluar melalui lubang hidung. Dan berakhir sudah petualangan wahana permainan laut menegangkan kami.

Perjalanan pun dilanjutkan, tidak ada kendala lagi. Dua jam waktu tempuh mencapai Pulau Larat. Ombak dan angin sudah dalam kondisi yang normal, meskipun hari sudah mulai gelap. Akhirnya, kami tiba di Pulau Larat, pukul 19.00 WIT, dengan kondisi selamat meskipun dalam kondisi yang sudah lagi bukan jetlag tapi motorlautlag, shock dan juga menggigil kedinginan. Syukurlah, Tuhan masih memberikan kami kesempatan hidup lebih lama.

Dan akhirnya, ada seseorang menepuk pundak saya dari belakang, saat saya duduk di tepian dermaga, ternyata Pak Nahkoda yang sakti mandraguna itu. “Tenang saja Pak Billy, katong seng akan buat celaka, orang yang naik katong pung motor laut” katanya dengan santai dan sedikit angkuh.

Saya kemudian bertanya lagi, “Bagaimana bapak bisa tetap tenang dalam keadaan seperti itu, dan bagaimana bapak bisa tahu ke arah mana kita akan pergi tanpa navigasi ?”, jawabnya, “ Dulu, jauh sebelum ini, kami berlayar tanpa tanpa mesin dan kami terbiasa dalam kondisi seperti tadi berhari-hari, bukan lagi berjam-jam dan arah hanya ditunjukkan oleh tujuh arus laut yang berbeda arah di antara gugusan pulau yang kita lewati”. Wow, inilah Indonesia yang bernenek moyangkan para pelaut, ini salah satu buktinya!!! Tidak akan kami lupakan empat jam kami ini, untuk selamanya.

Salam hangat dari Maluku Tenggara Barat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua