Hari Pertama Sekolah, Keberatan atau Gampangan (Kehampangan)

Agung Hari Cahyono 29 Juli 2012

Pengalaman hari pertama masuk sekolah mengajar memang sangat berkesan bagiku. Awalnya terasa biasa saja, namun pada saat malam sehari sebelum mengajar, rasa panik bercampur antusias berlebih menjadi suatu kombinasi yang sulit dideskripsikan. Setelah beristirahat cukup gelisah, pagiku pun datang terlalu cepat. Tepat pukul 7 pagi, anak-anak ternyata telah memenuhi pekarangan sekolah, bercerita, jajan atau sekedar bermain.  Saya diberi amanah untuk menjadi wali bagi siswa kelas V yang siswanya berjumlah LIMA PULUH DUA orang siswa. Yaaaaaaaaa, 52 orang. Sudah bisa ditebak kalau ruangan ini tidak muat menampung kami semua, beberapa murid terpaksa duduk bertiga, meja murid pun harus merapat dengan meja saya, terhimpit di sudut kelas bersebrangan dengan papan tulis ruang gerakku kurang dari 30 cm. Meskipun ruangan terlihat penuh sesak, namun tetap  terasa menyenangkan bagiku dan murid-muridku. Semoga saja , Amien.. !!!

Awal pertemuan, kami saling berkenalan, mengakrabkan diri. Di kelas kami menyepakati beberapa aturan : tata tertib kelas, jadwal baju seragam, jadwal piket, dan pemilihan ketua kelas. Kami sama-sama paham kalau kelas tak akan tertib jika kami tak menjalankan aturan yang telah dibuat. Jadwal baju seragam pun saya buat karena mengetahui siswa di sekolahku sering memakai baju seragam mereka tuk bermain, sehingga dapat dijumpai pada hari senin ada siswa yang memakai celana/rok coklat seragam pramuka dengan baju putih, atau sebaliknya. Terkadang ada yang memakai baju bermain ke sekolah.

Dari diskusi kami dikelas, kami pun memiliki agenda tambahan, yakni tabungan kelas dan kebun sayur. Untuk menabung, kami membuat buku tabungan, berbekalkan buku bekas, spidol warna-warni, dan kreatifitas. Mereka sangat antusias memintaku untuk mencatat dan menyimpan uang mereka. Setiap harinya saya pun bertindak bak Teller Bank profesional, mencatat dan tersenyum pada mereka. Dan dengan sigapnya beberapa muridku membantu menertibkan taman-temannya yang saling dorong-dorongan atau mengatur uang yang berhamburan di atas meja. Panas, sesak, namun seru dan bikin ketagihan, sehingga setiap selesai saya selalu tersenyum sembari berkata, “Besok nabung lagi yagh,” hehehehehe. Untuk kebun sayur, ini adalah usulanku agar mereka dapat bertanggung jawab dan sekaligus menjadi cara ampuh mengakrabkan kami.  Untuk membuat kebun ini, mereka kuminta untuk membawa tanah, dan jeniusnya, ternyata tanah itu mereka tambahkan special ingredients

Tersenyum simpul, Wardilah berkata, “Tanahnya subur pak, tadi saya campur tahi kotok

Jenius, inisiatif yang baik, tahi kotok adalah bahasa gaul anak desaku untuk menyebutkan kotoran ayam yang antinya akan bertindak selaku pupuk organik untuk menyuburkan tanah. Untuk kebun sayur kelas V ini, setiap anak memiliki satu polibag dan bibit tanaman. Mereka bertanggung jawab untuk merawat dan menyiram tanamannya. Semoga saja tanaman kami dapat tumbuh subur.

Keajaiban kelasku tak berhenti sampai disini saja. Saat belajar mengenai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), ternyata tak satupun muridku yang mengetahui pulau-pulau besar di Indonesia, sehingga ketika kuperlihatkan peta, tampak wajah bingung, takjub, antusias, bahkan mungkin ada yang berfikir benda ajaib apa ini. Wkwkwkwkw.... dan mungkin hanya akan dijumpai di kelasku saja, saking kreatifnya, muridku menuliskan negara Malaysia dengan 10 versi. Pertanyaanku kali itu, “Sebutkan negara yang berbatasan dengan Pulau Kalimantan?”

Berbekalkan peta Negara Indonesia. Jawaban muridku tepat, namun tak seorang pun yang mampu menuliskannya dengan benar, ada yang menulis Malasya, Malasia, Malaisia, Malesia, hingga Malesnya, hahahahahaha.. mereka memang lucu-lucu. *peace tetangga, maafkan anak-anakku

Yang paling membuatku bingung hingga akhirnya tertawa setiap kali mengingatnya adalah Keberatan dan Gampagan....

Waktu itu hari kedua saya mengajar di kelas V, tiba-tiba Muis, Wira, Roni dan beberapa siswa laki-laki menghampiriku dan berkata, “”Pak saya mau keberatan”.

“Apa,  Keberatan?  Apa yang kulakukan? Mengapa mereka keberatan ?  Apa yang salah ?  Apa yang terjadi?” Pikiranku berkelebat, banyak pertanyaan, panik melanda, keringat dingin berkucuran.

Mereka pun lantas mengulangi perkataannya, kali ini secara kompak, “Pak, kami mau keberatan.”

Keberatan kenapa nak?”, jawabku masih bingung.

Melihat ekspresiku, mereka pun sadar, saya tak paham maksud mereka. Kami mau BAB (Buang Air Besar), pak, kata mereka.

“Keberatan itu BAB pak”, sanggah mereka.

Oalah, keberatan itu BAB toh”, jawabku lega.

Gubrak, huahahahahahaha, kepanikanku pun sirna berganti dengan tawa membahana, satu kelas pun jadi riuh tertawa.

Jika murid laki-laki keberatan, murid perempuan malah ingin gampangan. Yang terpikir dibenak kalian mungkin sama denganku. Kok ingin jadi gampangan, sih. Usut demi usut ternyata gampangan itu sama halnya dengan keberatan, gampangan adalah bahasa sunda halus untuk istilah Buang Air Kecil *Pipis.

Dan saudara-saudara tiap hari murid-muridku permisi untuk keberatan dan  jadi gampangan dalam arti yang baik.

Berinteraksi dengan anak-anak memang membutuhkan kesabaran dan keinginan untuk mendengar. Sebaiknya berusahalah untuk melihat mereka sebagai individu yang unik. Jangan pernah berusaha tuk menjadikan mereka sesuai dengan apa yang ada dibenak kita mengenai yang harus mereka lakukan. Karena setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dan mereka begitu lugu, serta tulus dalam bersikap. Mari kita belajar dan bermain. Kita warnai kelas kita dengan keceriaan dan cita-cita.

Terima kasih untuk tawa yang kalian suguhkan pada bapak setiap paginya..


Cerita Lainnya

Lihat Semua