Tempat bermainku bernama Tambora
Beryl Masdiary 18 Februari 2012“Gunung Tambora mau meletus! Sudah berstatus siaga 1!”
Aku tenang menanggapi. “Tetapi kita jauh dari gunung, bu... jarak 40 km tidak terlalu berbahaya kecuali debu vulkanik atau aliran lahar ke sungai. Itu pun mash bisa kita hindari.”
Berita di media terlalu berlebihan. Kepulan asap memang terlihat dari jarak sedekat desanya Habib, salah satu Pengajar Muda di SDN Tambora. Tapi langit mash terhitung cerah dan kata orangtua di sekitar, pohon-pohon masih hijau dan tak ada seekor binatang buas pun yang turun gunung. “Itu berarti masih ndak papa” kata Bapak Arifin, salah satu tetua yang bijak dan sudah tinggal di Tambora seumur hidupnya. Tahu-tahu, status gunung naik lagi menjadi waspada. Dandim Bima meneleponku, memastikan warga tidak resah, karena evakuasi belum bisa dilakukan. Kami memiliki jalur darat dan laut yang jika terlambat sedikit saja, akan tetap terkena muntahan lahar. Bupati dan Personil Badan Penanggulangan Bencana Provinsi dan Kabupaten datang meninjau, mendata jumlah warga dan merencanakan langkah evakuasi. Ibu-ibu melarang anaknya main jauh-jauh, khawatir bencana tiba-tiba datang. Semua heran, “kenapa Ibu Riri yang orang jauh, perempuan lagi, tidak takut?” berusaha terdengar wajar, saya bilang, “Semua sudah dipersiapkan, pak. Tetapi Ompu* dan Wai* bilang belum saatnya. Lagipula kalau memang usia saya sampai di sini, mau bilang apa?” Tujuanku Cuma satu, membuat warga, apalagi anak-anak, tenang. Karena kepanikan tidak akan menyelematkan apapun. Baru kemarin aku mendengar, warga yang panik dihasut beberapa orang untuk segera mengungsi, karena status gunung sudah awas. Matinya listrik di siang hari ditambah dengan minimnya informasi terpercaya membuat saudara-saudara kami di daerah Calabai kehilangan beberapa ekor ternaknya, karena tak sempat mengunci kandang.
“Kalau anak-anak Ibu, takut tidak dengan gunung meletus?”
“Ndaaaakk.... hii takuuutt, bue!” sahut anak-anak berebutan
Kenapa mesti takut? Coba ibu tanya satu-satu. “Faisal, kamu takut?” “Ndak!” jawabnya. “Gufran? “Sedikit, bue.” Responnya sambil menggaruk kepala dan tersenyum lebar. “Nah, kalau Anisa?” “Takut, bue. Saya sudah siap-siap ngungsi.” Saya bertanya dengan wajah sungguh-sungguh kepada 16 anak kelas 4 - kelas tertinggi- di depan saya yang duduk melingkar, hari itu hari olahraga senam lantai dan lari sampai kebun Jambu.
“Baik, besok hari sabtu, ada jam pengembangan diri. Seperti biasa.. kita akan bermain sambil belajar!” Kusiapkan materi yang kudapat sewaktu pelatihan. Ah, pas sekali momennya, kupikir. Lewat film buatan animator Indonesia, murid-muridku memahami bagaimana terjadinya gempa, gunung meletus, dan tsunami. Setelah mengetahui dna mengingat baik-baik barang apa saja yang perlu dibawa pada saat gempa datang. Kami bernyanyi bersama, tak kami hiraukan tayangan TV yang mengabarkan status gunung.
“Jika ada gempa cepatlah berlindung
Lindungi kepala, ingat BBMK
Jangan berlari, jangan berisik, jangan mendorong dan jangan kembali.”
Dengan nada potong bebek angsa, lagu itu mengajarkan anak-anakku untuk tertib dan tidak panik. Kami menikmati sekali proses evakuasi jika ada gempa di dalam kelas dan ruangan. Berpegangan tas dan buku-buku di kepala, mereka keluar satu-satu tanpa mendorong. Lihat, para guru juga kompak mengikuti langkah-langkahnya. Ikut berpartisipasi dengan turut menjadi pelindung pada saat berkumpul bersama orang dewasa di lapangan terbuka. Aku tahu murid-muridku bukan penakut, dan seharusnya memang tidak. Beruntung, yang mereka ingat adalah antisipasinya, bukan rasa khawatirnya. Tawa kami terpingkal-pingkal pada saat Rafi dan Indra berperan menjadi kakak adik yang kuat, dan mengangkat Rati sebagai nenek dan Arian sebagai bayi. Aji berseru, “Ibu, nanti saya langsung gendong Sandi keluar! Supaya dia selamat kalau ada gempa. Gufran menambahi, “Jangan lupa bawa susu bayi dan selimut, biar sandi bisa tidur!” Ya, saya mau kash tahu mama caranya kalau ada gempa! Biar mama ga takut lagi!”, lanjut Har. “Kalau saya kakak!”
Riuh sekali mereka hari ini. Tetapi dengan nada semangat dan berani. Sampai dua bulan berikutnya, Gunung Tambora tidak menunjukkan tanda meletus. Sisa gunung yang tinggal separonya masih memutuskan untuk memamerkan kegagahan tubuhnya, mungkin masih lelah karena terbelah hampir 200 tahun lalu. Kami pun masih bisa memandangi hijau pepohonan dan awan yang becengkrama rendah di atas kawahnya. Tambora masih eksotis, dan tidak perlu ditakuti!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda