Kase soup for the soul

Beryl Masdiary 30 Januari 2012

“Beri.... o beri!”

Aku tersentak. Astaga! Malah melamun. Keasyikan cari kase –sejenis siput- di antara bebatuan pulau satonda malah membuat pikiranku melayang kemana-mana. Ke sini. Ke sana. Ke segala arah.

“Mai, ana. Besar-besar disini. Hati-hati jatuh.”

Ina, yang kalau ditanya berapa umurnya akan menjawab, “60 tahun, barangkali.” yakin-lebih yakin daripada menebak umurnya sendiri- ada banyak kase di balik batu besar, di sebelah selatan dermaga. Hari itu kami piknik (lagi) ke Pulau favorit Pangeran Charles, Satonda. Versi pasukan lengkap. Dengan ama, ina, dan dua kakak angkat serta calon suaminya. Menghadapi gelombang yang masih cukup tinggi di bulan Februari, kami punya quality time yang tak tergantikan. Menangkap dan membakar ikan dengan latar laut dan langit yang sama birunya, makan pisang goreng super besar... dan, ini yang paling aku suka; sup kase. Kuahnya gurih sekali. Walaupun usaha mengambil dagingnya lumayan, harus menggunakan sejenis jarum, tapi Ina suka sekali menyajikan sup kaya protein ini. Karena makannya membutuhkan waktu, biasanya kami sambil mengobrol panjang lebar, kesana kemari. Belakangan ini, topik favorit Ina dan Ama adalah. Ya. Kepulanganku.

Sudah seminggu ini ama mengkhayal sentimental. “Coba kalau beri di Sumbawa, kalau bapak kangen, tinggal bawa saja sampa.  Tengok beri. Tapi ini jauh... beri juga tak tahu lagi kapan ke sini. Coba tinggal lagi setahun ”. “Sepii... sudah rumah ndak ada Beri nanti.” Ina menyambung. “Nanti Bapak cari ikan besar.. potong kecil-kecil.. jadikan dendeng. Lalu bawa pulang. Mana ada ikan laut segar yang besar di Jakarta? Hihihi. Bilang sama mama di Jakarta, di perut Beri sudah ada ” Ina terkekeh. 4 bulan lagi. Setelah masa panen di bulan 3 aku yakin waktu akan lari sprint. Dan aku seperti berlomba dengannya.

Keluargaku besar.. dengan jumlah saudara dan saudaranya saudara di mana-mana. Dengan 10 anak yang sudah beranak lagi, aku seperti datang dalam pohon keluarga yang kokoh di desa tertua di Tambora. Rantingnya banyak yang kecil, berusia 4-5 tahun, membawa hiburan tersendiri. Cabang-cabang besarnya, dengan rupa yang sangat mirip satu sama lain, menopangku dan banyak membantuku melihat pemandangan indah dari atas.  Daun-daunnya sendiri adalah rumah panggung besar dari pohon kalanggo yang berumur ratusan tahun. Akarnya, Ina dan Ama, selalu memastikan aku tidak kelaparan dan bisa tidur nyenyak. Aku belum tahu kapan lagi bisa menjumpai pohon itu setelah 4 bulan ke depan.

Ada pula perahu kecil yang terus melaju di lautan luas serba ada, kecuali listrik untuk kerlap kerlip lampunya di atas sana. Makanan dan logat khas Lombok yang akrab sekali. Nahkoda kapal yang tak banyak bicara dan selalu memastikan aku tidak flu terkena angin dingin itu bernama Pak Gesang, dengan co pilot yang suka tiba-tiba memeluk, dan menjawil dagu karena menganggapku anak sendiri bernama Ibu Haeruni, bersikeras memotong salah satu ayamnya setiap aku naik ke kelas gunung, karena katanya aku harus makan kenyang-kenyang. Adik-adik yang tak bosan minta belajar, dan kamar di saung kecil yang hangat oleh lampu minyak. Selimutku kain bersih, dengan posisi sandal siap pakai. Sunggguh, aku tak minta dilayani. Tetapi mengobrol sore-sore ditemani pepaya yang tinggal cabut dari kebun sekitar buat mereka itu-meminjam istilah Syahrini- sesuatu. Mereka menganggap saya sebagai bagian dari mereka, hanya saja dengan tambahan titel “Ibu Guru”.

Mungkin mereka tak tahu akupun menganggap mereka sebagai keluarga. Aku baru benar-benar paham makna tenun kebangsaan yang disampaikan Pak Anies. Persaudaraan bisa saja tak kenal latar belakang suku. Setahun menetap di tempat baru memberikanku perspektif baru. Orang kota itu sombong... atau orang desa itu udik.... semoga tak akan pernah terlintas di pikiran kami. Anak kota itu manja.. anak desa itu tak tahu aturan, juga bukan koleksi kata-kata kami. Kami punya pemahaman dan pengetahuan baru tentang alasan dibalik suatu tindakan, dan maksud dibalik ucapan. Jembatan ini harus lebih banyak dibangun, agar jurang pemisah semakin sempit dan pengertian semakin luas.

“Tinggal berapa bulan lagi ibu pergi?” Aji dan Sarina, walaupun sudah tahu persis, kembali bertanya sambil melihat kalender bergambar pemandangan pasir putih. Terpaksa kujawab dengan balik bertanya, “Dari bulan Februari sampai bulan Juni, berapa bulan lagi?” “deeee..... sebentar lagi, ro. aih ibu.. coba selamanya, sih.” Mereka menghitung hari. aku tak ingin. Aku ingin hari-hariku masuk hitungan. Menjaga kehangatan yang sudah tercipta, dan melepas kepulanganku dengan garis lekuk sederhana, senyum dan doa yang terucap di masing-masing bibir, bahwa persinggungan yang sebentar ini insya Allah akan menghadirkan perubahan yang lebih baik dan tak lekang waktu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua